Jumat, 23 Januari 2015


“ISLAM ADALAH MOTIVASI TERBESARKU”

“Islam Mengajarkan Aku Menemukanmu”
Karena islam adalah inspirasi terbaik untuk setiap tindakan. Karena islam mengajarkan kita memotivasi diri untuk tidak menyerah dan tetap tawakkal. Karena islam memberikan cinta terbaik yang tidak akan pernah kita terima dari siapapun juga. Karena islam mengajarkan kita untuk tetap ber’azzam setinggi-tingginya. Karena Tuhan akan mendengar setiap do’a hamba-hamba-Nya.
* * *
Entah mengapa senja adalah waktu yang seolah menyihirku. Sepenuhnya. Setiap hari di waktu yang juga sama aku selalu berdiri disini untuk menikmati pesona senja. 5.20. Seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk membeli pengganjal perut, namun aku sudah tak menghiraukan rasa lapar lagi. Toh nanti juga rengekan-rengekan itu akan berhenti dengan sendirinya. Ada saja hal yang menarik untuk direnungi setiap kali senja menjelang. Entah itu rasa kangen kampung halaman yang menggebu, tentang hatiku yang separuh telah hilang bersama dia, atau hanya fikiran-fikiran tentang hal-hal tak penting yang tidak sengaja nimbrung. Semua itu terasa sangat membahagiakan. Langit, selalu memberi pemandangan terindah yang tak bisa aku lukis dengan kata-kata. Penggal-penggal kisahku seolah semuanya lebur dalam pesona yang kian menguning di bawah kaki horisonmu. Terlupakan. Entah dimana akan kulabuhkan kisah ini? Seperti tiada ujungnya saja.
* * *
Langit, Aku telah berjanji untuk tidak memanggil namanya. Kusapa dia dengan langit. Indah bukan? Ibarat dalam sebuah narasi langit adalah objek gambaran yang selalu saja digambarkan dengan semua keindahannya. Begitupun nuansa yang kulukis dalam diary ku sore ini. Tentang langit. Sosok yang telah mencuri separuh hatiku dan membawanya pergi. Aku memilih mencintaimu dalam diam karena aku tak ingin mengganggu khusyuk ibadahmu pada-Nya.
Sempurna kututup diary itu, sudah tak berselera lagi melanjutkan kata-kata. Matahari tampak redup dan ingin segera rehat, sesekali debu diterbangkan angin dengan sangat kencang. Sore yang sedikit membosankan.
* * *
Aku memejamkan mata, mencoba mengingat kisah yang sempurna seperti dalam sebuah narasi. Aku banyak berubah semenjak pertama kali melihatnya. Aku mengagumi sosok itu. Sangat. Sosok yang umurnya bertaut tiga tahun dengan umurku, elegan, dan sumber motivasiku terhitung dari pertama kali aku menjumpainya di kegiatan sosialisasi LDK, Dia seorang aktivis kampus, baik dan sering jadi bahan pembicaraan antara sesama aktivis. Entah apa yang terjadi dengan hatiku, tiba-tiba saja rasa kagum itu berubah dengan sangat pesat, tidak lagi bertahta sebagai rasa kagum namun berubah menjadi sebuah rasa aneh yang membingungkan. Dia tidak lagi kukagumi, namun rasa yang totally different. Aku menyayanginya. Ia, sekali lagi kukatakan aku menyayanginya. Tanpa alasan dan tiba-tiba, aku tak tau apa yang sedang terjadi pada diriku. Membuatku rajin belajar, membuatku rajin beribadah. Oh tuhan, rasa apakah ini?
Aku merasa bersalah karena telah membiarkan hatiku melangkah menuju sampai di titik yang begitu jauh, mencintai seseorang yang terlalu sempurna tanpa ia ketahui. Tuhan jaga hati ini selalu, jangan sampai cinta padanya menodai cintaku pada-MU.
* * *
“Cepat sekali kau sudah pulang Da?” Ana bertanya padaku dengan logat khas Medan.
“Iya Na, rapat hari ini ditunda besok, panitia semuanya banyak yang belum bisa hadir” ucapku
“Jadi kamu gak bertemu si Dia? Ana terus menghujaniku dengan pertanyaan yang tidak begitu penting.
“Si Dia siapa?” Aku pura-pura tak tau.
“ Yang sering kau tulis Langit itu loh” Ana berceloteh masih dengan nada menyelidiki.
“Duh Na, please deh bisa kamu gak ngomong soal langit atau apalah, kepalaku juga lagi pusing Na” Aku meninggikan suara dan melangkah gontai masuk ke dalam kamar.
Aku sempat menoleh sebelum sempurna menutup pintu kamar, Ana hanya manyun dengan raut muka merasa bersalah.
Hah, benar-benar nikmat merebahkan diri di atas kasur empuk, serasa mengusir semua sumpek dan rasa kesal hari ini, Ana mungkin benar, tak bertemu dengan Langit membuatku merasa ada yang hilang hari ini. Aku mengingat potongan percakapan tadi dengan sedikit kesal.
“Rapatnya di tunda besok ya” suara kak Fida mengagetkan kami yang sudah siap duduk manis di ruangan itu.
“Yah kak, kita udah capek datang kok di cancel rapatnya” Novi angkat suara
“ Iya, ada sesuatu hal yang maha penting yang tak bisa kakak jelasin disini Novi” Tukas kak Fida, “ya sudah buat semua coordinator silahkan kabari ke anggota masing-masing kalau rapat ditunda besok, masih dengan jam yang sama yaa, ” imbuhnya lagi.
“ Aku lesu mendengarnya, berarti hari ini, aku tak bisa bertemu Langit, tapi tak apa, dengan begini aku lebih mampu menahan perasaanku. “Oh Tuhan perasaan apakah ini?”
“Aku mengutuk diriku yang terlalu banyak berharap pada hal yang belum tentu terjadi, teringat nasehat ustadzah A’yun ketika aku masih duduk di sekolah MA dulu, “ Jangan sibuk bertanya tentang jodohku seperti apa, tapi perbaiki diri kita maka begitu juga dengan Dia yang disana, akan selalu ada lelaki baik untuk wanita yang selalu memperbaiki diri.” Nasehat yang masih benar-benar melekat di benakku hingga sekarang.
Sedikit menyesal rasanya karena sudah terlalu sensitive dengan perkataan Ana.
* * *
Suatu siang di LDK At- Tarbiyah..
“jadi konsep islam itu mudah dipahami, lihat! Seberapa banyak tokoh islam yang sudah menginspirasi kita. Ambil saja contoh sederhana, nabi kita Muhammad SAW, bagaimana beliau mengajarkan kita untuk saling menyayangi, menyambung silaturahmi dan berkasih sayang. Nah disini dengan silaturahmi kita bisa menyebar dakwah seluas-luasnya.”
Materi singkat pertemuan hari itu ditutup dengan senyum manis pemateri. Siapa lagi yang membuatku bungkam kalau bukan langit. Mau mengajukan pertanyaan saja aku tak bisa mengeluarkan suara. Huh.
* * *
6 bulan, kukira dia akan bertanya banyak. Ternyata….
Waktu melesat begitu cepat, aku memasuki tahun kedua studyku di kampus ini dan Langit sudah berada di semester Akhir, bahkan Mei mendatang dia sudah resmi menyandang gelar Sastra nya. Masih dengan perasaan yang sama. Aku masih mengaguminya. Mengagumi tanpa dia ketahui. Namun perkataan kak Fida, siang setelah tadarrus dakwah bareng kemarin seperti terus mengganjal di fikiranku.
“Dek Mada, ada yang nanyain terus tuh?” tuturnya sambil tersenyum.
“ Nanyain gimana kak?” tanyaku polos.
“ Iya, nanyain tentang kamu.” Kak Fida melanjutkan.
Aku tersenyum kecil, tak tau siapapun itu, paling teman-teman yang akhir-akhir ini baru bergabung sebagai anggota LDK fikirku. Aku lalu pergi begitu saja meninggalkan kak Fida yang masih berkutat dengan laptopnya di selasar masjid.
* * *
Ana merebut remote TV dari tanganku, “ Cari Program TV yang lebih bagus dari ni Da. Bosen juga lihat orang-orang dengan hijab panjang terus.” Celetuknya
“ Terserah deh Na, Aku manyun.
HP ku tiba-tiba bergetar, satu pesan baru dari nomor tak dikenal terpampang disana. Sebuah pesan singkat yang membuatku sangat terkejut.
“Assalamu’alaikum, Apa kabarnya dek Mawaddah?”
Aku terdiam sejenak, mencoba menerka-nerka siapa yang memaggil namaku dengan begitu lengkap. Selama ini yang memanggilku dengan nama lengkap hanya kak Fida.
“Wa’alikumsalam, maaf siapa? Balasku.
Tak ada balasan, hingga saat aku hampir memejamkan mataku, HP ku kembali bergetar.
“ Ini saya, Kak Fatih Dek”.
Jantungku berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya. Langit. Dia yang selama ini kusapa Langit, yang kuharapkan semoga dia tidak pernah tau tentang perasaanku secuil pun. Apakah kak Fida bercerita? Ah, aku tak pernah memberi tahu siapapun kecuali Ana jika aku menyayangi Langit. Ah, benar-benar aku terlalu menyikapinya berlebihan. Mungkin saja dia
hanya ingin bertanya tentang program baru LDK, atau mungkin juga mengundangku ke acara pernikahannya atau apalah. Aku berusaha menyibukkan pikiranku dengan seribu kemungkinan lain yang mungkin terjadi.
“Iya kak”. Jawabanku hanya sesingkat itu, itupun ku type dengan jemari bergetar dan jantung yang masih berdegub. Ternyata feelingku benar, percakapan selanjutnya Dia banyak bertanya tentang perkembangan LDK, bagaimana perasaanku saat diberikan tanggung jawab baru sebagai sekretaris. Ah, membosankan. Ku harap dia akan bertanya dan memberi perhatian lebih. Tapi itu hanya impian konyol ku saja. Aku terlalu lebay dan berharap lebih. Oh Tuhan.
* * *
1 Tahun yang begitu hebat.
Pagi di bulan Mei
Lihatlah ruangan itu sesak oleh orang-orang yang raut wajah bahagianya tak bisa dilukiskan. Terlalu dihujani oleh rasa bangga dan bahagia. Puluhan bahkan ratusan kilatan cahaya memenuhi ruangan, hari ini satu impian telah berada dalam genggaman, satu parade perjuangan telah sempurna selesai. Dan Langit, langit berada disana bersama orang-orang bahagia itu, entahlah ada dimana?
Aku membayangkan dia dengan baju kebesaran berwarna orange hitam, toga wisuda, dia adalah wisudawan terbaik tahun ini, mukanya sangat bahagia. Untuk beberapa saat aku terdiam, tidak, semua mungkin lebih kompleks dari apa yang aku bayangkan.
Aku ikut berjejalan diantara orang-orang yang memegang bunga untuk diberikan kepada yang tercinta. Ah, aku tak punya satu keberanian pun untuk melakukan itu. Aku menarik nafas pelan, pintu utama ruangan masih belum dibuka. Aku mengambil langkah menjauh dan pergi, kuputuskan untuk tidak melihatnya. Aku takut semua tingkahku akan merusak rahasia yang sudah kusimpan setahun ini, menghancurkan semua mimpiku. Tuhan aku sudah terlalu malu untuk terus mengadu tentang hatiku. Biarkan semuanya usai Tuhan, ayolah, aku sudah terlalu lelah untuk bertahan Tuhan.
Hari ini, lengkap sudah satu tahun aku mencintai Langit dalam diam, berharap kisah cintaku seindah kisah cinta Fatimah dan Ali Bin Abi Thalib yang Tuhan pertemukan dengan
sangan romantis. Kisah cinta yang begitu manis. Namun entahlah mengapa aku tidak menyerah saja, menyerah dan melupakannya. Tidak, aku belum sepenuhnya bisa. Tentangmu, aku hanya berperang dengan perasaanku sendiri.
* * *
2 Tahun yang masih hebat…
Selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam. Bagiku semuanya sama saja. Ternyata waktu setahun melesat begitu saja, cepat tanpa terasa. Dan aku masih dalam rasa yang sama. Mencintai orang yang tak pernah mengetahuiku perasaanku. Langit.
Semua masih tentangmu, aku tak tau entah kapan aku bisa melupakanmu. Melegakan sekali saat aku tak sengaja melihat sosokmu di depan fakultas kita tercinta. Kau tak berubah, begitu pula rasaku. Stagnant. Ah, 2 tahun ini tak banyak yang berubah, walaupuna aku sudah berusaha mengubur rasa itu dalam-dalam aku masih belum bisa. Kufikir setelah wisudamu tahun kemarin, aku akan berhenti dan menyerah, tapi ternyata tidak. Aku salah, urusan perasaan ternyata tidak semudah menghapus tulisan pensil, namun sulit, lebih sulit daripada operasi perhitungan Matematika, lebih sulit dijabarkan bahkan melebihi Aljabar sekalipun. Aku masih belum bisa melupakanmu. 2 tahun ini aku berada dalam peperangan dengan perasaanku sendiri dan aku selalu saja kalah. Sepertinya kamu adalah actor utama dalam narasi-narasiku. Narasiku sendiri maksudnya. Ah biarlah, kukira diam adalah cara terbaik mencintaimu.
* * *
Tahun terakhir study yang hebat, Tuhan adalah pemberi scenario terbaik.
Suatu pagi di pertengahan Mei
Hari ini, aku telah menunaikan satu mimpiku, di 22 tahun usiaku, kugenggam engkau wahai potongan impianku. Menjadi seorang sarjana sastra. Lega dan bahagia sekali rasanya, terimakasih untuk ayah bunda, kalian adalah malaikat terhebat dalam hidupku, dan seseorang yang tak bisa aku sebutkan namanya, nama yang selalu membuat hatiku bergetar hebat, nama yang telah menghadirkan aku kehidupan baru, nama yang aku tak bisa lukiskan karena ia seperti sya’ir, nama yang mampu membuat semua tulangku membeku. Untukmu salam ta’zim
dan hormatku. Terima kasih untuk semuanya ya. Engkau adalah kenangan terindah di penggal kehidupanku parade kali ini. Terima kasih untuk kejutanmu, terima kasih. Semoga Allah selalu membersamai langkah kita. Aku mencintaimu karena-Nya. Dan akhirnya tuhan memberi jawaban terbaik do’aku.
Pagi itu, tepat setelah aku keluar dari ruangan wisuda
“ Congratulation dek Mawaddah.” Suara yang sangat kukenal
Aku menoleh, reflex diam begitu saja. Bingung harus menanggapinya bagaimana.
“ Makasih kak Fatih.” Ucapku dengan nada kaku
“ Oh.. jadi ini yang mau kamu perkenalkan pada ayah.” Lelaki disampingnya tersenyum padaku.
Entah apa maksudnya aku tak tau. Aku berlagak begok. Mungkin saja dia selama ini menganggapku teman baik, aku berusaha berfikir sepositif mungkin.
“ Aku ingin memperkenalkan dek Mawaddah pada orang tuaku.” Kata-kata yang membuatku membeku.
“A- Aku kak? Aku masih seperti linglung.
“ Dia tersenyum. Kakak sudah istikhoroh lebih dari 3 kali”. Ucapannya seolah bernada meyakinkanku.
Ah, seperti inikah rasanya bahagia, hatiku ingin memekik girang. Aku ingin melompat dan berteriak. Kebahagiaan yang tak mampu kubendung. Hari itu, hari hebat yang telah merubah semua kehidupanku. Terimakasih tuhan, kau selalu saja berbaik hati.
* * *
Bagiku ini adalah senja terindah
Hari ini semua telah sempurna, mengeja senja dibalik langit yang kian membiru. Ah bukan biru tepatnya, tetapi kuning tersepuh. Saat aku memilih mengakhirinya, cinta itu akhirnya berbicara. Dia yang kukagumi, akhirnya memintaku pada ayah tepat di hari wisudaku. Aku telah mengeja setiap keajaiban Tuhan, Tuhan telah membahagiakan aku. Aku akan mengambil keputusan terbesar dalam hidupku. Akhirnya aku mengerti kalau Tuhan selalu menghargai siapapun yang mau bersabar menjaga hatinya. Aku mengerti apa yang pernah
ustadzah A’yun bilang, selalu ada lelaki baik untuk perempuan yang mau terus memperbaiki diri. Allah selalu punya rencana yang tak pernah di duga.
* * *
Pagi yang ajaib di akhir Mei. Bener-benar ajaib.
“ Selamat ya Da, semoga bisa membangun keluarga yang SAMARA.” Mimpimu tentang langit akhirnya menjadi nyata. Ana memelukku erat sekali.
“ Tuhan tidak pernah ingkar janji Na, kita hanya perlu memperbaiki diri dan menjaga hati, jangan menginginkan hal-hal yang aneh.” Ucapku sambil tersenyum dan menepuk pundaknya.
“ Aku juga ingin punya suami soleh kayak kak Fatih.” Ana manyun.
Aku tersenyum, “Jangan takut kehabisan stock sayang, yang lebih dari kak Fatih pun banyak, selagi kamu mau terus berhijrah kearah kebaikan.” Ucapku lembut.
Ana tak pernah berubah. Masih saja suka menggodaku. Tapi kali ini aku malah bersyukur dia bisa berada disini dan menggodaku. Toh kita sudah punya ikatan halal kok.
Ana pamit pulang setelah meletakkan kado yang sangat besar diatas meja. Tak hentinya dia berbicara pada kak Fatih untuk menjagaku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah konyol Ana.
Kak Fatih tersenyum saat menoleh ke arahku. Ah dia manis sekali. Tak pernah berubah.
* * *
Senja, masih di akhir Mei
Sore itu, kak Fatih mengajakku menikmati senja di kota kecil bernama Jepara. Iya, kota ini sekarang juga kotaku. Dia menggenggam tanganku erat. Semilir angin seolah berdendeng merdu menyanyikan lagu terindah untuk kami.
“ Kamu pernah tau jika kakak selalu bertanya kabarmu pada Fida?” Ucapnya mengawali percakapan.
Aku terdiam. Teringat kata-kata kak Fida ketika itu, jika ada seseorang yang selalu menanyakan aku.
“ Tidak.” Aku menggeleng.
“ Sepertinya kakak sudah jatuh cinta padamu sejak lama, tapi kakak tidak mau bilang karena kakak tau jika Tuhan ada dalam setiap istikhoroh kakak.” Ucapan yang membuat aku tersajnung.
Aku tersenyum lebar. “ Saya juga punya perasaan yang sama kak.” Ucapku kaku.
“Fida selalu memberi tahu kakak kalau kamu muslimah yang benar-benar pemalu.”
Lagi-lagi kata-kata kak Fatih membuatku tersipu malu.
“ Aku menyanyangimu karena Allah dek Mawaddah.”
“Aku juga kak. Aku menatap matanya. Berbinar dan bahagia. Kuharap cinta ini benar-benar seperti kisah cinta Fatimah dan Ali Bin Abi Thalib.
Sore yang menjadi jawaban terindah untuk aku dan kak Fatih. Terima kasih untuk kado terindah ini Tuhan. Aku memandang langit yang kian menguning di ujung horizon. Sujud syukurku padamu wahai pemberi anugerah terbaik. Sore yang benar-benar penuh sejarah.
* * *
Mencintai dalam diam. Itulah cara terbaik untuk mencintai.
Yakinlah jika suatu saat nanti jika memang engkaulah yang terbaik untukku, Allah akan mempertemukan kita kembali.
Kini biarkanlah ada jarak diantara kita.
Karena dengan itu, merupakan usahaku untuk menjaga hatimu dan hatiku.
Izinkan aku mencintaimu dalam diamku, berbicara padamu dalam tahajjud dan istikhorohku.
Jika kelak cinta ini tak berbicara di dunia nyata, mungkin Tuhan akan menjawabnya di lain kesempatan. Aku akan selalu mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar