Minggu, 26 Januari 2014

THALITA, Sebuah Novel

A Novel By Stephani Zen
THALITA       
 
THANKS!   
Jesus Christ, my Lord and Savior, to whom I lay my whole love, life, and faith.  Oma Greetje Jeane Koamesah-Rondo.  Librando Laman Zen dan Ronalita Thelma Koamesah, the best parents ever!  Adikku, William Ronaldo Yozen.  Keluarga besar Zen dan Koamesah di mana pun berada.  My bestiests: Dessy Amanda dan Sandra Wanti.  Windy Intan dan Livia Garnadi. Dunia tak seceria ini tanpa kalian, girls!  Jovi, Licu, Meli, Fanie, Raymon, Rendy, Yudhi.  Editorku, Mbak Donna Widjajanto. Ilustratorku yang luar biasa, Maryna Roesdy.  My favorite band ever and eveeerrrr: DAUGHTRY. Lebih baik nggak ada lampu deh daripada nggak ada lagu kalian saat aku menulis, hehe.  Teman-teman blogger dan semua visitor http://smoothzensations.blogspot.com.  Dan kalian semua yang sudah baca karya-karyaku, terima kasih ya! Seperti biasa, ditunggu komennya di blog, friendster, dan e-mail.  
God bless us, Steph             
     
Untuk anak muda Indonesia Please, stay away from drugs 
Narkoba hanya akan mengambil hal-hal yang kausayangi: Masa mudamu, Keluargamu, Teman-temanmu, Kewarasanmu, Bahkan, hidupmu.                      
 
SATU    
THALITA menanggalkan pakaiannya dan berjalan ke bawah shower. Tangannya meraba keran shower, dan membukanya hingga maksimal.  “Adooooowwwwww!!!” jerit Thalita sekuat tenaga begitu air shower mengguyur tubuhnya. Dingin kayak es! Ini pasti diimpor dari Kutub Utara! gerutunya dalam hati.  “Tha? Kamu kenapa?”  Thalita mendengar suara mamanya di balik pintu, tapi dia nggak sanggup menjawab karena masih menggigil kedinginan.  “Oh iyaa… Mama lupa bilang water heater-nya lagi rusak, jadi terpaksa pagi ini kamu mandi air dingin ya! Lumayan, biar seger, kan?”  Walaupun dibatasi pintu, Thalita bisa membayangkan seulas senyum yang mengembang di bibir mamanya.  “Huh! Seger apanya? Bikin aku jadi es lilin sih iya!” Thalita mengomel panjang- pendek. Tangannya cepat-cepat menutup keran shower yang masih memuntahkan air dingin. Ia lalu meraih handuk, dan dengan cepat membungkus tubuhnya. Pilihan untuk meneruskan mandi jelas sama dengan cari mati.  Tapi bayangan bahwa ia harus nggak mandi di hari pertamanya jadi murid SMA membuat Thalita bergidik. Gimana kalau ia nanti bau kecut, dan teman-teman barunya bakal terus mengingatnya sebagai “Miss Bau Badan” sepanjang sisa masa SMA mereka? Tak usah deh ya!  Thalita lalu menguatkan nyali untuk berada kembali di bawah air shower yang dingin itu. Ternyata setelah beberapa saat, tubuhnya terbiasa juga dengan suhu air dari shower yang dingin itu. Ternyata setelah beberapa saat, tubuhnya terbiasa dengan suhu air dari shower. Thalita bahkan berani memutuskan untuk keramas.  Sambil membusakan sampo di rambutnya, Thalita merenung. Ini hari pertamanya jadi murid SMA, tapi ia sama sekali tak bersemangat. Ia malas, dan itu nggak ada hubungannya dengan fakta bahwa ia harus bangun pagi lagi setelah sebulan lebih bisa molor sampai siang karena sedang liburan. Ia teringat kejadian tiga minggu lalu… 
* * * 
Andra baru saja mematikan mesin motornya di depan rumah Thalita, saat terdengar suara menggelegar mengagetkan mereka berdua.  “Thalita! Masuk!”  Papa muncul di pagar dengan berkacak pinggang, ia menatap Thalita geram. Dan tatapannya pada Andra… Thalita sampai mengkeret melihatnya! Mungkin kalau Papa punya kemampuan seperti Sylar di serial Heroes, yaitu bisa menggerakkan benda dengan hanya menatapnya, Andra pasti bukan hanya sudah melayang-layang di udara sekarang, tapi pasti juga sudah dilemparkan ke seberang jalan sana!  “Pa…,” Thalita berusaha membujuk papanya. Hari sudah malam, dan ia nggak ingin para tetangga berhamburan keluar dari rumah masing-masing karena mendengar ada ribut-ribut.  “Papa bilang masuk ke dalam rumah! Sekarang!” kali ini Papa mendesis berbahaya.  Thalita nggak berkutik, mau nggak mau ia menuruti perintah Papa. Saat ia baru mencapai pintu depan, ia mendengar Papa menghardik Andra.  “Kamu! Saya sudah peringatkan kamu, jangan dekati anak saya lagi! Pergi kamu!”  Tidak terdengar suara Andra membantah, hanya terdengar deru motornya yang menjauh pergi. Thalita merasa hatinya perih.  Papa berjalan mendekati Thalita, dan setengah menyeret tangan anak gadisnya itu untuk masuk ke rumah.  “Duduk!” perintah Papa saat mereka sampai di ruang tamu.  Thalita menurut, ia duduk di salah satu sofa di ruang tamu itu, dan menghela napas dalam- dalam.  “Papa nggak tahu harus bilang apa lagi supaya kamu menuruti kata-kata Papa.”  Thalita diam.  “Anak itu berbahaya, Tha! Kenapa kamu masih mau dekat-dekat dia?”  “Namanya Andra, Pa,” kata Thalita pahit.  “Andra kek, Andro kek, Andri kek, Papa nggak peduli! Papa cuma mau kamu nggak dekat- dekat dia lagi! Kamu kan tahu, dia itu pengguna narkoba!”  Thalita sudah mendengar kalimat itu berkali-kali keluar dari mulut Papa, tapi setiap kali mendengarnya tetap saja ia merasa pedih.  Ya, Andra memang pemakai narkoba, Thalita tahu itu. Sudah hampir setahun Andra terjerumus dalam dunia narkotika, dan itu hanya beberapa bulan setelah mereka mulai pacaran. Tapi, biarpun berita tentang Andra pemakai narkoba entah bagaimana caranya berhasil mencapai telinga Papa, dan berakibat keluarnya larangan bagi Thalita untuk pacaran dengan cowok itu, Thalita jalan terus sama Andra. Ada banyak sifat dan sikap cowok itu yang membuatnya jatuh hati. Andra perhatian, pengertian, romantis… kekurangannya hanya satu, ia tak bisa menjauhkan dirinya dari narkoba. Dan Thalita tahu, Andra jadi seperti itu karena dia tak bisa menerima kenyataan ortunya telah bercerai. Narkoba hanya pelariannya.  Thalita bukannya nggak pernah berusaha melepaskan Andra dari dunia hitam itu. Dia sudah berusaha sebisanya, dengan berbagai cara. Mulai dari membujuk Andra baik-baik, memohon
padanya, bahkan beberapa kali mengancam bakal minta putus kalau Andra tetap memakai narkoba, tapi semuanya selalu berakhir dengan situasi yang sama: Andra minta maaf dan berjanji nggak akan jadi junkies lagi, tapi ujung-ujungnya selalu ingkar. Semua proses memohon-minta maaf-janji-pengingkaran itu berulang terus seperti lingkaran setan, dan Thalita masih nggak bisa lepas dari Andra. Dia terlalu sayang sama cowok itu, dan dia takut… jangan- jangan jika dia meninggalkan Andra, cowok itu bakal semakin terpuruk. Sudah broken home, junkies, pacarnya malah meninggalkan dia pula. Thalita nggak mau kayak gitu. Dia mau jadi orang yang membantu Andra keluar dari dunia gelapnya.  Tapi gimana caranya, Thalita nggak tahu.  “Tha, ayolah… kamu tahu Papa ngomong begini demi kebaikan kamu juga. Papa nggak mau nantinya kamu malah terseret pakai narkoba juga…”  “Pa, aku janji aku nggak bakal seperti itu…”  “Sekarang kamu bisa janji, tapi nanti?” Papa menghela napas dalam-dalam, dan mengembuskannya dengan putus asa. “Lingkungan pergaulan seseorang sangat memengaruhi bagaimana pribadi orang tersebut dibentuk, Tha. Kalau kamu bergaul sama pencuri, kamu akan jadi pencuri. Kamu bergaul dengan orang-orang pintar dan sukses, kamu akan terpacu jadi pintar dan sukses juga. Kamu bergaul, apalagi pacaran, dengan junkies, nantinya kamu akan terseret juga…”  Thalita menunduk. Dalam hati ia membenarkan kata-kata Papa. Semuanya. Tapi Papa nggak berada di posisinya, kan? Papa nggak menyayangi Andra, kan? Papa nggak mengenal cowok itu, dan nggak tahu bahwa Andra sebenarnya hancur lebur di dalam, dan akan jadi lebih hancur lagi jika Thalita tinggalkan.  “Baiklah, kamu sendiri yang memaksa Papa melakukan ini. Kamu nggak boleh masuk SMA yang sama dengan anak itu.”  Mulut Thalita menganga lebar, nggak percaya pada apa yang didengarnya.  “Nggak boleh satu sekolah sama Andra? Maksudnya… Papa nggak ngizinin aku masuk ke SMA Harapan?” tanya Thalita tergagap.  SMA Harapan adalah sekolah tempat Thalita dan Andra mendaftar bersama setelah mereka dinyatakan lulus SMP. Mereka sudah sepakat untuk tetap satu sekolah, dan masing-masing bahkan sudah melunasi uang pendaftaran, tapi sekarang tiba-tiba saja Papa bilang Thalita nggak boleh masuk sekolah itu?  “Ya!” seru Papa. “Kamu akan Papa daftarkan di SMA lain. Dan kali ini Papa sungguh- sungguh! Kalau kamu masih tetap menemui anak itu, Papa akan kirim kamu sekolah ke luar negeri!”  Thalita melotot ngeri. “Tapi, Pa… aku kan sudah bayar semua uang pendaftarannya… sudah beli seragamnya… buku-bukunya…”  Papa menyipitkan matanya menatap Thalita, dan Thalita tahu, itu isyarat baginya untuk diam. Pembelaannya memang terlalu lemah.
 “Pa, Papa nggak bisa kayak gini… Aku… aku nggak bisa kayak gini. Aku nggak bisa gitu aja ninggalin Andra, Pa. Aku harus bantu dia untuk lepas dari narkoba…”  “Kenapa itu harus jadi tanggung jawab kamu? Andra bukan anak kecil lagi, dan dia punya keluarga!”  Thalita merasakan matanya memanas, dan tiba-tiba saja air mata sudah mengalir di pipinya. “Nggak, Andra nggak bisa, Pa… Papa tahu, dia jadi pemakai karena apa? Karena orangtuanya cerai! Dia nggak bisa menerima itu, dan akhirnya jatuh pada narkoba. Gimana kalau aku ninggalin dia juga, Pa? Aku takut Andra nanti bakal makin rusak…”  Papa terdiam selama beberapa saat, dan Thalita mulai berani berharap bahwa setelah mendengar kata-katanya tadi Papa akan melunak. Selama ini Thalita menyimpan cerita mengapa Andra sampai jatuh ke dunia narkoba itu untuk dirinya sendiri. Baru kali ini ia menceritakannya pada Papa, dengan harapan Papa mengerti alasannya untuk tetap bersama Andra.  “Itu tetap bukan urusan kamu. Papa bukannya mau jadi orang jahat, tapi kamu anak Papa. Apa kamu kira Papa bakal tega seandainya kamu jatuh juga ke dunia yang sama? Narkoba itu luar biasa bahayanya. Kamu bisa terkena AIDS karena memakai jarum suntik bergiliran, bisa ketergantungan… masa depan kamu akan rusak, dan kamu... kamu bisa saja mati karena narkoba, Tha. Papa nggak bisa membiarkan kamu mengalami semua itu…”  Kali ini Thalita nggak menangkap nada geram dan murka dalam suara Papa. Ia justru dapat merasakan kasih sayang dan kekhawatiran dalam setiap kata yang diucapkan Papa tadi. Papa benar, tapi bagaimana ia bisa meninggalkan Andra?  “Papa mohon, kali ini kamu nurut, ya? Sekali ini saja. Kalau kamu nggak mau melakukannya untuk Papa, lakukanlah untuk dirimu sendiri. Ingat masa depanmu, Tha…”  Thalita nggak bisa berkata apa-apa lagi. 
* * * 
Itulah yang terjadi tiga minggu lalu. Dan hanya sehari berselang setelah pembicaraannya dengan Papa, Thalita minta putus dari Andra. Andra marah banget waktu itu, tapi meski sulit, Tahlia meneguhkan hati. Ini demi masa depannya. Ia tidak bertanggung jawab atas masa depan Andra. Kalau Andra sendiri nggak peduli lagi dengan masa depannya, dan tetap memilih untuk jadi junkies, apa lagi yang harus Thalita perjuangkan?  Ada hari-hari sulit yang harus dilalui Thalita setelah putus dari Andra, dan ternyata masa recovery-nya nggak berjalan segampang yang ia kira. Susah banget menahan jari- jarinya untuk nggak mengetik SMS untuk Andra. Sukar mengendalikan otaknya untuk nggak memikirkan Andra. Tapi Thalita tahu, ia harus berusaha. Ia hanya bakal mau pacaran lagi sama Andra kalau cowok itu sudah “bersih”, itu yang dikatakannya pada
Andra saat minta putus. Setelah itu, Thalita terus-menerus berdoa dan berharap dirinya cukup berharga untuk membuat Andra meninggalkan obat-obatan berbahaya itu. Tapi sampai saat ini pun, kelihatannya Andra nggak berusaha untuk melakukan itu. Cowok itu lebih menyayangi narkotika daripada Thalita…  “Tha? Thalitaaaa?”  Thalita yang sedang membilas busa samponya terlonjak mendengar Mama memanggilnya dari balik pintu kamar mandi. Tangannya bergerak memutar kenop shower, mematikan pancuran airnya agar ia bisa lebih jelas mendengar suara Mama.  “Ya, Ma?”  “Kamu kok mandinya lama banget sih? Ayo cepetan, ini udah mau jam enam! Kamu belum sarapan dan siap-siap, lagi. Nnanti kamu telat!”  “Iya, Ma. Sebentar.”  Thalita menyelesaikan acara mandinya, dan bergegas keluar dari kamar mandi. Saat sudah berpakaian dan menatap dirinya di depan cermin, Thalita kembali tak bersemangat.  Hari ini adalah hari di saat ia benar-benar akan memulai lembaran baru tanpa Andra. Ia akan jadi murid baru di SMA Persada Bangsa, sekolah yang berbeda dengan sekolah yang dimasuki Andra… 
* * * 
Thalita memandangi papan nama sekolah barunya, SMA Persada Bangsa. Sebenarnya sekolah itu sekolah yang bagus, tapi Thalita benar-benar nggak berselera untuk memulai hari pertamanya di sana.  Dengan perasaan enggan luar biasa, Thalita turun dari mobil. Dia berjalan melintasi lapangan parkir yang masih sepi karena jam masih menunjukkan pukul 06.20. Tapi langkahnya terhenti di tengah lapangan karena sebuah motor yang melaju kencang entah dari mana tiba-tiba nyaris menabraknya. Thalita menahan napas melihat ban sepeda motor itu berhenti hanya beberapa senti dari kakinya.  Takut-takut, Thalita melirik pengendara motor itu. Dia nggak bisa melihat wajah si pengendara motor karena tertutup helm teropong, tapi yang jelas orang itu cowok, karena Thalita bisa melihat celana seragamnya.  Mendadak, pengendara motor itu membuka kaca helm teropongnya dan menatap Thalita tajam, hingga Thalita bisa melihat mata dan sebagian hidung cowok itu. Mata dan hidung yang asing, dan jelas Thalita nggak mengenalinya. Tapi, siapa pun yang ada di atas motor itu cuma menatap Thalita sesaat dan langsung memacu motornya lagi.
 Thalita dongkol banget dicuekin begitu. Kayaknya dia lebih memilih dimaki-maki karena nyeberang sembarangan daripada dicuekin gitu deh! Kenapa hari pertama sekolah begini dia sudah ketemu orang yang menyebalkan sih? 
* * * 
“Stefira Tedjo?”  “Ada!”  “Steven Andreas Halim?”  “Ada, Pak!”  “Sugeng James McArthur?”  “HAHAHAHAHA…” Tawa keras langsung meledak di seluruh penjuru kelas Thalita. Semua murid terbahak-bahak mendengar nama yang baru saja dipanggil oleh Pak Adam, wali kelas mereka yang baru.  “Hei, anak-anak, ayo diam semuanya! Masa nama orang ditertawakan? Tidak sopan itu! Ayo, Bapak ulangi lagi ya! Sugeng James McArthur, ada atau tidak?”  Dan melongolah seisi kelas ketika seorang cowok indo dengan badan tinggi tegap mengangkat tangan. Para cewek yang dari tadi kasak-kusuk sendiri waktu melihat cowok itu masuk kelas, sekarang bengong kayak orang habis ngelihat hantu. Si cowok, yang sedetik lalu jadi bahan tertawaan itu, sama sekali nggak bereaksi. Tampangnya cool, poni rambutnya yang shaggy jatuh menutupi sebelah matanya.  “Wah, Bapak manggilnya siapa nih?” tanya Pak Adam bingung. Rupanya guru satu itu sadar juga bahwa cowok sekeren itu bener-bener aneh menyandang nama Sugeng.  “Suka-suka Bapak deh. Tapi saya sih lebih suka dipanggil Sugeng. Ini kan Indonesia, Pak. Nggak usah deh pake nama yang kebarat-baratan. Saya mau pake nama yang dikasih eyang kakung saja aja. Gimana, Pak?” tawar cowok keren itu pada Pak Adam.  Seisi kelas kembali bengong. Cowok indo gitu kok logat Indonesia-nya lancar banget?! Ada sedikit medhok Jawa-nya, pula! Kalau orang hanya mendengar suaranyam, pasti mereka nggak akan percaya kalau diberitahu pemilik suara itu tampangnya nggak Indonesia sama sekali.  Dan mungkin saking kagetnya juga, Pak Adam cuma manggut-manggut sambil nyengir kuda. Dia heran aja, di zaman Internet kayak gini, ternyata masih ada murid yang bangga sama namanya yang “agak ndeso”.  “Ya sudah, Bapak lanjutkan. Tatyana Alita Wilson?”
 Seorang cewek cantik berwajah mirip Rianti Cartwright mengangkat tangan, dan Thalita cuma bisa melongo memandangi cewek itu. Dia sama sekali nggak menyangka kelas barunya bakal dipenuhi cewek-cowok dengan tampang di atas rata-rata.  Duh, kebanting deh tampang gue, rutuknya dalam hati.  “Thalita Wina Sucipto?”  Thalita nggak bereaksi, dia masih bengong menatap Thalita.  “Thalita Wina Sucipto, ada atau tidak?”  Nita, teman sebangku Thalita, menyikut cewek itu keras-keras.  “Apa?” tanya Thalita keki.  “Lo dipanggil Pak Adam tuh!” jari Nita menuding ke depan kelas. Thalita langsung mengangkat tangannya, malu.  “Ehh… saya, Pak.”  Pak Adam mengangguk, lalu melanjutkan mengabsen murid kelas itu satu per satu.  Ya ampun, baru kali ini gue bengong ngeliatin sesama cewek! Ck, nggak bener nih, batin Thalita sambil geleng-geleng kepala. 
* * * 
“Tha, ke kantik yuk… Laper banget gue!” keluh Nita sambil mengusap-usap perutnya. Bel istirahat baru aja berdentang, tapi Nita udah siap dengan dompetnya di depan pintu kelas. Keliatannya dia bener-bener kelaperan dan nggak tahan ingin ke kantin.  Thalita mengangguk, lalu mengambil dompetnya dari dalam tas. Tapi begitu dia menoleh ke arah Nita lagi, dia benar-benar shock. Di sana, kira-kira lima langkah dari Nita, ada cowok entah dari mana datangnya yang tampangnya bener-bener menyilaukan mata! Menang jauh deh dari Sugeng, yang baru dua jam lalu Thalita tahu dari salah satu teman sekelasnya yang lain, adalah blasteran Jawa-Inggris. Cowok ini benar-benar ganteng, apalagi dengan hidung mancungnya itu.  “Sori, lo lihat Lita nggak?” tanyanya pada Thalita.  Emang dasar Thalita lagi bengong, dia nggak nyadar lagi diajak ngobrol.  “Halooo… lo lihat Lita nggak?” cowok itu mengulang pertanyaannya.  Kali ini Thalita sadar, dan langsung gelagapan sendiri. “Ehh… Lita siapa ya? Sori, soalnya gue murid baru di sini, jadi belum pada hafal nama anak-anak sekelas…”  “Lita, mmm… Alita Wilson… Tatyana, maksud gue,” jelas cowok itu.  Thalita langsung merasa seperti ban kempis. Memang pantas kalau cowok seganteng ini mencari Tatyana yang supercantik itu.  “Oh, Tatyana? Nggg… nggak lihat tuh! Mungkin ke kantin… Kenapa memangnya?”
 “Oh. Nggak papa sih. Thanks.” Cowok itu hampir keluar dari kelas, waktu dia berbalik dan tersenyum pada Thalita. “Lain kali kalo nyeberang lapangan parkir hati- hati, oke?”  Cowok itu berbalik lagi, dan kali ini langsung meninggalkan kelas. Thalita cuma bisa bengong begitu menyadari cowok itulah pengendara motor yang nyaris menabraknya tadi pagi! Thalita masih inget tatapannya!  Nita menghampiri Thalita dengan langkah lemas. “Aduh, Tha, busettt… siapa sih tu cowok? Ganteng banget! Kayak malaikat…,” katanya dalam desahan terpesona.  “Gue juga nggak tau, Nit.” Thalita mengedikkan bahu. “Kita kan sama-sama murid pindahan di sini.”  “Fiuuuhh… nggak menyesal gue masuk sekolah ini!” kata Nita lagi, tapi kali ini dengan berapi-api. “Sayang, dia nggak sekelas sama kita ya…”  “Bukannya untung kalau dia nggak sekelas sama kita? Gue malah khawatir kalau ada makhluk seganteng itu di kelas ini, lo bakal nggak naik kelas gara-gara ngeliatin cowok itu terus dan nggak konsen sama pelajaran!”  Nita meringis. “Haha! Bener juga lo! Biar ganteng, tapi kalo sampai bikin gue nggak naik kelas kan parah juga.”  “Makanya, itu namanya tenang tapi menghanyutkan. Hehehe…”  Mereka berdua tertawa, lalu berjalan bersama menuju kantin. 
* * * 
Jam pelajaran berikutnya, Thalita sibuk mengorek keterangan dari Uwi, yang duduk di bangku depannya, tentang cowok yang nyaris menabraknya tadi pagi itu.  “Wi… kenal apa nggak?”  Uwi, yang kelihatannya punya semua info dan gosip paling lengkap di sekolah ini, langsung menoleh.  “Tunggu, Tha, gue lagi mikir nih, soalnya di sekolah ini kan banyak yang ganteng! Coba lo kasih ciri-ciri lebih spesifik deh. Atau mungkin… gue nggak kenal karena dia dulunya bukan anak SMP sini…”  SMA Persada Bangsa memang salah satu sekolah yang lengkap dari SD sampai SMA. Kebetulan Uwi dulu SMP-nya di sekolah ini juga, makanya Thalita berusaha mengorek info dari dia.  “Masa sih? Tapi dia nyari Tatyana lho… Tatyana kan dulu anak SMP sini, masa sih dia murid baru tapi udah kenal Tatyana?”
 “Wajar lah… Tatyana kan ngetop se-DKI dari ujung ke ujung! Mungkin aja cowok itu salah satu fansnya, yang bela-belain masuk ke SMA ini cuma karena mau pedekate sama Tatyana.”  Thalita manyun, tapi dia terus merengek pada Uwi supaya bisa dapat info tentang cowok ganteng yang membuatnya penasaran itu.  “Apaan sih?” Nita yang tadinya sibuk menyalin daftar kegiatan buat MOS besok dari papan tulis mulai ikutan nimbrung, padahal tadi dia adem-adem aja.  “Ah, gue tau! Pasti yang lo maksud Darren!” seru Uwi tiba-tiba.  “Darren? Darren siapa?” tanya Nita heran.  “Itu… yang dilihat Thalita waktu istirahat tadi,” bocor Uwi.  “Hah? Cowok super-duper-ganteng yang masuk ke kelas pas istirahat tadi itu, Tha?” tanya Nita bersemangat, matanya berbinar.  Thalita mengangguk.  “Oya, gue lupa bilang, Darren itu kakaknya Tatyana,” tambah Uwi.  “Hah?” Thalita melongo. “Kakak? Kakak… kandung?” tanyanya heran.  “Iya.”  “Kok bisa seangkatan sih? Darren kelas sepuluh juga, kan? Dia nggak naik kelas, ya? Yah… sayang, cakep-cakep bolot…” Nita berspekulasi. “Oh, bukan… bukan…” Uwi langsung memotong, sebelum Nita makin ngaco. “Tatyana sama Darren itu kan cuma dua bersaudara, beda umurnya cuma setahun. Tatyana dulu pernah cerita, waktu Darren mau masuk TK, dia nggak mau ditinggal di rumah sendirian. Akhirnya, sama ortunya mereka disekolahkan bareng-bareng, jadi bisa seangkatan, gitu. Darren kalo manggil Tatyana itu Lita, nama panggilannya kalau di rumah…”  “Ooh… gitu,” gumam Thalita. Sekarang ia tahu siapa nama cowok ganteng yang nyaris menabraknya tadi pagi: Darren. 
* * * 
Seminggu kemudian, setelah MOS selesai.  “Buka bukunya halaman tiga dan baca, setelah itu kalian kerjakan soal di halaman enam, nanti dikumpulkan setelah pelajaran,” kata Pak Lukas.  Thalita mendengus jengkel. Hari pertama pelajaran, sudah mulai soal-soal latihan! Dia mengerling Tatyana yang duduk di sebelahnya. Cewek cantik itu kelihatannya nyantai aja, bahkan udah mulai ngerjain soal.  “Kenapa, Tha?” tegur Tatyana, yang merasa diperhatikan Thalita.
 Thalita cuma bisa mesem aja kayak orang bego. Sekarang ini mereka sedang pelajaran agama, dan kelas mereka digabung dengan anak-anak dari kelas X-6. Berhubung di kelas agamanya ini cuma dia, Tatyana, Verina dan Nita cewek yang dari kelas X-5, dan Nita lagi nggak masuk, akhirnya Thalita duduk sama Tatyana. Soalnya, Verina duduk sama cowoknya. Udah gitu, sisa sepuluh orang lain yang di kelas agama itu adalah para cowok, sebagian besar dari kelas X-6 yang nggak Thalita kenal. Nggak mungkin dong Thalita duduk sama mereka? Apalagi, salah satu di antara para cowok itu adalah Darren! Entah kenapa Thalita masih agak-agak salting kalau ada di dekat cowok itu.  “Nggak apa-apa kok, Na,” jawab Thalita sok santai.  “Oh, gitu. Ya udah, mulai kerjain aja soal-soalnya. Waktunya mepet lho.”  “Oke,” jawaban itu meluncur keluar begitu saja dari mulut Thalita, tapi setelah itu dia masih nggak tahu harus menuliskan apa di lembar-lembar kertas kosong yang seharusnya terisi jawaban soal. Dia malah memandangi Darren yang duduk di baris paling depan.  Wah, cowok itu ternyata cakep banget. Makin dilihat makin ganteng!  Ah, mikirin apa gue ini? Thalita mengomeli dirinya sendiri dalam hati. Gue kan nggak naksir dia! Nggak! Gue masih sayang Andra…  “Thalita? Ngelamun ya? Lo ngeliatin apa sih?” tegur Tatyana lagi, dan kali ini dia mengikuti arah pandangan Thalita. “Lo ngeliatin Darren?”  “Hah? Oh, eh… apa? Nggak, nggak kok…” Thalita langsung pura-pura membaca buku paketnya.  “Lo tadi ngeliatin Darren?” ulang Tatyana.  “Hah? Siapa…?” Thalita sok bego.  “Darren, abang gue,” terang Tatyana detail.  “Abang lo? Abang lo yang mana?” Thalita masih berlagak pilon. “Gue nggak tau abang lo sekolah di sini juga…”  “Hmm… kalo nggak tau, ntar deh gue kenalin…” Tatyana tersenyum dan meneruskan mengerjakan soal-soal latihannya. Thalita cuma bisa bengong, menyadari jawabannya tadi salah total.  Gini deh kalau menjawab sesuatu tanpa pikir panjang dulu. Duuuhh… bego! 
* * * 
Bel tanda sekolah usai berbunyi satu jam kemudian. Thalita langsung panik sendiri. Sebenernya dia mau-mau aja dikenalin sama Darren, tapi dia takut aja misalnya nanti
Tatyana kelepasan ngomong bahwa sepanjang pelajaran tadi Thalita ngeliatin Darren terus, kan malunya nggak nahanin!  Ditambah lagi sikap salting Thalita yang suka nongol tanpa permisi setiap dia ada di dekat Darren. Nah lho, cewek mana pun pasti nggak mau kelihatan tolol di depan cowok, kan? Apalagi kalau cowoknya punya tampang di atas rata-rata!  Thalita memang nggak naksir Darren, tapi itu nggak berarti ia mau kehilangan muka di hadapan cowok itu!  “Ayo, Tha, gue kenalin sama Darren!” kata Tatyana sambil memasukkan bukunya ke tas.  “Ehh, Na, gue…” Thalita mendadak jadi gagap.  “Kenapa? Eh… lo kok pucat? Sakit, ya?” Tatyana keliatan cemas.  Di kepala Thalita mendadak muncul bohlam terang. Sakit? What a good idea!  “Iya… iya nih… Perut gue… nggak tau kenapa, sakit banget…” Thalita pura-pura meringis menahan sakit.  “Ya ampun! Ayo gue antar ke UKS!”  “Nggak, nggak usah…”  “Yah… lo nggak jadi gue kenalin sama Darren dong?”  “Mmm… lain kali aja ya, kenalannya? Nggak papa, kan? Gue udah nggak tahan mau ke WC nih. Bye!”  Tanpa menunggu jawaban Tatyana, Thalita langsung ngacir ke WC. Dia baru berhenti begitu sampai di salah satu bilik WC dan menutup pintunya rapat-rapat. Baru kali ini dia lebih memilih ngumpet di WC daripada dikenalin sama cowok ganteng! Benar-benar memalukan dan bodoh! 
* * * 
“Hwahahaha… hahahaha…” tawa Jennie terdengar nyaring di telepon. Anak satu ini memang paling nggak bisa kalem.  “Jen, udah dong! Masa ketawa terus sih dari tadi?”  “Habisnya… lo lucu banget sih! Masa dikenalin sama cowok keren nggak mau? Lebih milih ngacir ke WC, lagi! Hahaha…”  “Iya iya… gue tau kok gue bego banget, tapi suer tadi gue ngeri banget mau dikenalin. Gimana kalo Tatyana kelepasan bilang ke Darren tentang gue yang ngeliatin cowok itu terus, hayo? Kan gue lebih malu lagi!”  “Iya, hahaha… iya deh gue nggak ketawa lagi… hahahaha…” Jennie benar-benar nggak konsisten dengan kata-katanya.
 “Terus, besok gue mesti gimana, dong?” Thalita memutuskan untuk minta saran sohibnya sejak SMP itu.  “Hmm… gimana ya… Kalau menurut gue sih sebaiknya lo nggak nolak lagi kalau mau dikenalin sama Darren. Kan lo bilang dia cakep, keren, lagi! Kalau misalnya Tatyana sampai kelepasan soal lo yang ngeliatin Darren terus, ya udah cuek aja! Siapa tau nanti malah Darren jadi care sama lo karena dia tau lo ada perhatian sama dia.”  Thalita melongo. Jennie ini gimana sih? Ngomong sih gampang, tapi prakteknya itu lho! Dan please deh, dia nggak naksir Darren!  “Lagi pula, Tha, siapa tau juga… mungkin Darren bisa gantiin Andra…”  Diam selama beberapa saat.  “Jen, gue nggak mau ngomong soal Andra lagi,” kata Thalita akhirnya.  “Mmm… sori ya, Tha… Gue nggak ada maksud untuk…” Jennie sadar dia barusan salah bicara.  “Nggak papa. Udah dulu ya, gue mau mandi dulu. Bye.”  Thalita menutup telepon dengan perasaan pahit. Ia memang nggak menolak dikenalkan sama Darren. Apalagi Darren kan ganteng. Tapi… kok kayaknya Thalita belum bisa melupakan Andra, sekeras apa pun dia berusaha. Cowok yang satu itu masih tetap saja bercokol dalam hatinya. 
* * * 
“Tha, udah sembuh sakit perutnya?” tanya Tatyana keesokan harinya begitu Thalita menginjakkan kaki di kelas.  “Oh, eh… udah, Na! Gue udah sehat kok.”  “Wah… jadi gagal deh ya, kemarin? Padahal gue pengin banget ngenalin lo ke Darren. Dia kan lagi jomblo…” Tatyana tersenyum.  “Jomblo? Tapi... tapi kenapa dikenalinnya ke gue? Eh… maksud gue, di sekolah ini kan banyak cewek lain…”  “Habis lo lucu sih!” Tatyana nyengir. “Kalau gue ngobrol sama lo, pasti bawaannya pengin ketawa terus. Dan lo anaknya asyik, enak diajak ngobrol.”  “Eh… gitu, ya?”  “Iya, bener lho! Tapi kesannya gue jadi maksa lo, ya? Sori ya, Tha…”  “Nggak papa kok, nyantai aja. Tapi… kayaknya lo semangat banget nyariin cewek buat Darren. Emangnya kenapa?”  “Oh, itu…” Tatyana mengembuskan napas pelan-pelan. “Gini, gue ceritain something, tapi lo janji ya jangan cerita ke siapa-siapa?”
 Thalita melongo dengan suksesnya. Coba, dia kan baru kenal sama Tatyana, dan mereka bahkan nggak dekat, tapi Tatyana udah mau menceritakan “something” ke dia yang nggak boleh diketahui siapa-siapa?  “Mmm… oke. Gue nggak akan cerita ke siapa-siapa.”  Tatyana mengangguk, dan entah kenapa wajahnya terlihat sedikit murung.  “Darren sama gue cuma beda satu tahun, dan kami akrab banget dari kecil, ke mana-mana nggak pernah pisah. Sampai waktu ortu kami cerai…”  Seperti orangtua Andra, batin Thalita tak percaya.  Tatyana terdiam sebentar, lalu melanjutkan ceritanya. “Well, ortu kami cerai karena nyokap kami selingkuh.”  Keheningan menyusul setelah Tatyana mengucapkan itu. Yang terdengar hanya suara beberapa langkah kaki di koridor sekolah.  “Selingkuh?” ulang Thalita hati-hati. Dia nggak menyangka cerita Tatyana bisa begitu pribadi. Yah, ortu yang cerai karena salah satunya selingkuh jelas bukan topik yang bakal kamu ceritakan ke orang yang baru dikenal, kan? Tapi Tatyana kayaknya sama sekali nggak ragu untuk cerita ke Thalita.  “Iya. Sama mantan pacarnya. Malu-maluin, ya?” Tatyana berusaha tertawa, tapi tawanya terdengar kering di telinga Thalita. “Yah… gue sama Darren akhirnya ikut Bokap, sampai sekarang. Sejak itu Darren nggak pernah suka sama cewek lagi. Dia juga jadi pendiam. Padahal sebelumnya dia friendly banget sama semua orang. Sampai setahun lalu, dia suka sama satu cewek. Cewek itu… dia cewek nakal, Tha…”  “Cewek nakal?” Thalita syok. Jangan sampai “nakal” yang itu! Thalita membatin.  “Iya. Dia suka ngerokok, minum, clubbing, punya tato… nggak bener banget pokoknya. Dia juga… junkies…”  Junkies…  Kata itu bergaung di telinga Thalita, dan untuk kesekian kalinya dia merasa ada yang merobek sesuatu dalam dirinya. Selalu begitu setiap dia mendengar kata itu disebut.  “Terus?” Thalita berusaha fokus kembali ke cerita Tatyana.  “Darren sayang banget sama cewek itu. Dia pernah nembak cewek itu, tapi cewek itu nolak Darren, di depan banyak orang! Sambil ketawa-ketawa… dan bilang Darren itu nggak gentle karena nggak berani nyoba drugs, nggak berarti apa-apa buat dia…”  Drugs…  “Ya ampun, jahat banget!”  “Memang jahat banget tuh cewek! Untung sekarang Darren udah lumayan bisa ngelupain cewek itu, tapi ya… sampai sekarang dia belum mau punya cewek. Gue rasa dia takut ditolak lagi…”
 “Oh, gitu… Terus, gue bisa bantuin apa nih?” Thalita tanpa sadar menawarkan bantuan.  Tatyana menatap Thalita penuh harap. “Lo… mau bantuin?”  Thalita mengangguk, masih nggak sadar.  Tatyana sumringah. “Lo mau coba deketin Darren nggak?”  “Hah?”  “Kalau sama lo, gue dukung deh! Nggak tau kenapa, tapi gue ngerasa aja lo bakal cocok sama Darren… Dan walaupun kita baru kenal, gue ngerasa bisa percaya sama lo. Lo cewek yang baik, lucu…”  “Tapi…” Thalita memutar otak secepat yang dia mampu, baru nyadar sudah mengucapkan kata-kata yang salah tadi. “Kalau… kalau Darren-nya nggak mau sama gue, gimana? Lagian… gue baru kenal dia seminggu, Na. Gue nggak berani…”  “Aduh, nyantai aja! Dia orangnya baik kok! Ayolah, Tha… please…” ` Thalita terdiam.  “Gue nggak minta lo jadian sama Darren kok. Gue cuma pengin lo dekat aja sama Darren. Jadi temen baiklah, atau temen curhat. Kalau pada akhirnya kalian bisa jadian atau nggak, gue nyerahin semuanya ke elo. Gue cuma pengin lo tau kalau lo dapat support total dari gue.”  Thalita menghela napas, ada keraguan dalam dirinya. Apakah Tatyana sebenarnya punya maksud tersembunyi di balik semua ini? Karena rasanya… ganjil aja. Mereka kan baru kenal, tapi Tatyana bisa langsung menceritakan semua itu pada Thalita. Namun, Thalita berusaha positive thinking, dia nggak mau berburuk sangka sama orang lain. Nggak baik.  Dan, apakah dengan menyanggupi permintaan Tatyana ini, dia nggak akan mengkhianati Andra? Memang sih, secara status mereka sudah putus, dan Thalita juga nggak jadian sama Darren. Tapi kan tetap saja… Thalita dan Andra baru sebulan putus, rasanya terlalu dini…  Sayang, Thalita nggak tega melihat tatapan Tatyana yang kelihatannya mengharap banget itu.  “Iya deh, gue coba…”  “Bener? Elo mau? Horeeee…!!!” Seperti anak SD yang mendengar bel pulang sekolah, Tatyana langsung memeluk Thalita dengan gembira.  Gue melakukan ini hanya untuk menolong Tatyana, bukan karena gua suka sama Darren, Thalita berbicara dalam hati. Gue nggak mengkhianati Andra, batinnya, menenangkan kegalauannya sendiri.   
  
DUA   
“Bu, ada novel baru nggak?”  Bu Any, pustakawati SMA Persada Bangsa, mengangguk. “Ada dua, di rak sebelah sana. Kamu cari aja, baru dateng kemarin kok…”  “Penulis lokal atau luar?”  “Dua-duanya. Tapi karena masih buku baru, kalo mau pinjem cuma boleh dua hari.”  “Oke. Nggak papa,” Jawab Thalita sambil nyengir lebar. Dia sih cinta banget baca novel. Satu novel tebal bisa habis dibacanya dalam satu jam, jadi jangka waktu dua hari jelas bukan masalah.  Sambil menunggu Bu Any mencatat buku pinjamannya, Thalita mengedarkan pandangan ke sekeliling perpus. Kali ini dia bersyukur ortunya memaksanya masuk SMA Persada Bangsa. Gimana nggak? Perpus sekolah ini keren banget! Komplet, koleksi bukunya selalu up to date, bersih, sejuk karena AC yang selalu menyala, dan yang lebih penting, bisa baca buku gratis. Pokoknya benar-benar surga buat penggila buku seperti Thalita deh!  Pandangan Thalita terhenti pada reading corner, salah satu sudut perpus yang sudah disulap menjadi tempat untuk baca-baca, dan dia langsung melongo. Ada Darren di situ!  Thalita teringat janjinya pada Tatyana, dan langsung merasa bersalah. Sudah dua minggu sejak janji itu, tapi Thalita belum melakukan apa pun untuk memenuhinya. Dia bahkan berusaha menghindar setiap ketemu Darren. Tapi sekarang cowok itu ada di pojok sana, cuma beberapa langkah dari tempatnya berdiri, lagi baca koran dengan santainya.  “Thalita?” Bu Any menepuk-nepuk tangan Thalita, yang nggak sadar udah dipanggil sedari tadi.  “Eh… oh iya, Bu. Kenapa?”  “Ini, bukunya sudah selesai dicatat.”  “Oh iya, makasih ya, Bu.”  “Iya.” Bu Any lalu menyibukkan diri lagi dengan pekerjaannya, sementara Thalita melihat jam dinding di perpus dan tahu bel baru akan berbunyi lima belas menit lagi.
 Just do it, Thalita! Thalita berusaha menyemangati dirinya sendiri. Now or never!  Akhirnya Thalita nekat juga berjalan ke arah reading corner, dan sok berani duduk di sebelah Darren. Ternyata cowok itu sedang baca koran terbitan hari itu, rubrik otomotif, dan Thalita masih nggak menemukan alasan untuk ngomong sama dia. Lalu pandangan Thalita tertuju ke koran rubrik olahraga yang ada di pangkuan Darren, tentang Piala Asia yang sudah mulai memasuki babak semifinal.  Yeah, gue prihatin sama Piala Asia, kata Thalita dalam hati. Bukannya Asia lebih besar dari Eropa? Tapi kenapa Euro selalu jauh lebih seru daripada Asian Cup?  “Lo mau pinjam?”  Thalita mengangkat kepalanya dari headline IRAK KE SEMIFINAL!, dan melongo menatap orang yang baru saja mengajaknya bicara.  “Lo… ngomong sama gue?” tanya Thalita nggak percaya.  “Ya ampun,” Darren mengeluh, “gue nggak tahu lo ini lemot, telmi, atau apa, tapi kenapa sih lo selalu nggak nyadar tiap kali gue ngomong sama lo?”  “Oh, sori…,” kata Thalita malu.  “Nggak usah sori segala. Lo kan nggak bikin salah apa-apa sama gue. Nih, mau pinjam, kan?” Darren menawarkan koran olahraga yang tadi ada di pangkuannya itu.  “Kok…?” kening Thalita berkerut. Memangnya siapa yang mau pinjam koran?  “Habisnya dari tadi lo ngelirik ke koran ini terus sih,” potong Darren.  “Oh, iya… iya. Makasih, ya.” Thalita nyengir salting. Ternyata Darren tau sedari tadi Thalita melirik koran olahraga di pangkuan cowok itu!  Thalita mengambil koran dari tangan Darren dan berpura-pura mulai membaca, tapi dia sama sekali nggak bisa menangkap apa isi berita yang dibacanya.  “Lo suka sepak bola juga, ya?” tanya Darren lagi. Thalita menoleh heran ke arah Darren dengan kening berkerut. “Eit, jangan tanya lagi apa gue ngomong sama lo apa nggak!” Darren memperingatkan.  Thalita tertawa. “Iya, suka.”  Thalita nggak bohong, dia memang termasuk di antara segelintir cewek yang suka sepak bola.  “Suka liga apa?” tanya Darren.  “Inggris.”  “Kok cewek suka bola sih?”  “Emangnya kenapa? Nggak boleh?”  “Ya aneh aja… soalnya cewek kan biasanya lebih seneng shopping, terus ngikutin trend, ke salon, ya gitu deh. Jarang aja ada cewek gibol. Ato lo… suka bola cuma karena pengin lihat pemain-pemainnya yang cakep itu, ya?”
 “Eh, sembarangan ya!” omel Thalita tanpa sadar. “Memangnya cuma cowok apa yang ngerti soal offside, penalti, en segala macemnya itu? Gue juga ngerti! Memang sih, Liga Inggris pemainnya cakep-cakep, tapi kalo menang tampang doang, nggak bakal deh ada klub yang mau ngontrak.”  “Nah, David Beckham itu? Dia kan dikontrak gara-gara tampangnya?”  “Tapi Beckham kan mainnya juga bagus! Kebetulan aja dia punya tampang oke!” Di luar kemauannya, Thalita jadi semangat sendiri. Dia memang paling nggak bisa tahan kalau ada orang yang sudah mulai membahas sepak bola.  “Dan istri yang selebriti, juga selingkuhan yang asisten pribadinya sendiri, serta tetangga seorang Tom Cruise, hahaha…” Darren tertawa.  “Kok lo jadi sentimen gitu? Sirik ya…?”  Darren menggeleng. “Ah, gue biasa aja kok. Tapi asyik juga ya ngomong bola sama lo, bisa nyambung. Padahal kita kan nggak saling kenal.”  Thalita terdiam, sadar gara-gara topik bola tadi dia sudah SKSD. “Gue… gue kenal lo kok! Lo kakaknya Tatyana, kan?”  “Itu namanya tahu, bukannya kenal.” Darren tertawa geli. “Kalo kenal itu kayak gini lho.”  Darren mengulurkan tangannya, yang dibalas Thalita dengan ragu-ragu.  “Gue Darren.”  “Mmm… Thalita.”  “Nice name. Asal orangnya nggak suka ngelamun sendiri aja kalau diajak ngobrol, hehe… Lain kali ngobrolin bola lagi ya, udah jam masuk nih. Bye!”  Darren pergi, sementara Thalita kaget sendiri melihat jam di perpus yang memang sudah menunjukkan selesainya jam istirahat.  Aneh, bukannya waktu terasa berjalan sangat cepat hanya kalau kita melakukan hal yang benar-benar kita sukai? Kenapa waktu juga berjalan begitu cepat saat Thalita ngobrol sama Darren?  Apa itu berarti… ngobrol bareng Darren bakal masuk daftar “sesuatu yang sangat disukai”-nya?  Thalita menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seolah ada lalat yang terbang mengitari kepalanya, dan dia sedang berusaha mengusir lalat itu. Nggak, pikirnya. Itu karena gue suka bola, dan kebetulan Darren juga, jadi kami ngobrolnya nyambung. Itu sama sekali bukan karena gue menikmati ngobrol sama Darren.  Thalita menghela napas, lalu bangkit dari situ dan berjalan menuju kelasnya. 
* * * 
“Lo mau nggak jadi cewek gue?”  “Hah? Apa?”  “Lo mau nggak jadi cewek gue?” ulang Darren.  Thalita nyaris cegukan. “Lo bercanda, ya?” tanyanya nggak percaya. Mana mungkin Darren nembak dia, mereka kan kemarin baru pertama kalinya ngobrol!  “Serius lah… Seribu rius, malah!”  “Tapi kan…”  “Kenapa? Lo udah punya cowok?”  Thalita menggeleng. “Kok tiba-tiba lo nembak gue sih?”  “Memangnya kalo mau nembak harus pakai pemberitahuan dulu sebelumnya?”  “Eh, bukan gitu…” kalimat Thalita terpotong. Darren tiba-tiba aja berjalan mendekat, dan semakin dekat. Thalita sampai bisa mencium bau aftershave-nya yang harum. Pelan-pelan Thalita menutup mata. Darren semakin dekat…  Tapi tiba-tiba hujan turun sangat deras, dan sekujur tubuh Thalita basah kuyup, padahal dia ada di teras rumah. Bukan cuma itu, Darren juga menghilang entah ke mana!  “Arrrrrrggggghhhhhh…!!!” jerit Thalita keras-keras. Bersamaan dengan itu matanya terbuka lebar, dan terdengar suara orang cengengesan.  “Makanya, kalau molor jangan kayak kebo! Dibangunin bukannya bangun, malah ngigo! „Lo bercanda, ya? … Tapi kan… Kok tiba-tiba lo nembak gue sih?‟ Mimpi ditembak sama siapa lo?” Acha, adik Thalita satu-satunya, tertawa terbahak-bahak. Di tangannya ada sebuah ember merah besar yang masih meneteskan air ke lantai kamar.  “Gila lo! Lo guyur gue pakai air seember?!” tanya Thalita nggak percaya.  “Huahahaha! Nggak seember penuh kok, cuma setengahnya…” Acha semakin terbahak melihat Thalita mengomel panjang-pendek. “Udah waktunya bangun, tau! Ada yang nyari lo tuh di bawah.”  “Hah? Siapa?”  “Udah, lo lihat aja sendiri sana! Cepetan! Dia udah nunggu dari tadi! Lo sih, molornya nggak tanggung-tanggung!”  Thalita bingung sendiri, memangnya siapa yang datang? Masa… Darren? 
* * * 
Ya Tuhan… Kenapa dia?  “Aku ganggu, ya?” tanya cowok di depan Thalita itu. Thalita masih melongo dan nggak sanggup ngomong apa-apa saking kagetnya begitu tahu cowok itu masih berani muncul di rumahnya setelah semua yang sudah terjadi.
 “Ngapain kamu ke sini?” desis Thalita marah. Dalam hati dia sedikit bersyukur karena saat ini siang bolong, jadi ortunya masih pada di kantor. Kalau mereka ada di rumah, Thalita jamin cowok itu bakal langsung ditendang keluar begitu menampakkan batang hidungnya di sini. Kemarahan Papa tempo hari sudah jadi bukti nyata bahwa kehadiran Andra sama sekali nggak diinginkan di rumah ini.  “Ada yang mau aku omongin sama kamu, Tha. Soal keputusanmu waktu itu. Kamu salah, nggak seharusnya kamu…”  “Keputusan yang salah tentang apa? Sejauh ini aku ngerasa semua keputusan yang aku ambil tentang kamu bener semua kok.”  Andra menghela napas dan menatap Ibon, anjing peliharaan Thalita yang sedang berbaring malas-malasan di depan garasi. “Soal kamu nggak mau ketemu aku lagi.”  “Nah, dari semuanya, aku rasa itu yang paling benar,” kata Thalita tegas.  Andra mengalihkan pandangannya dari Ibon ke Thalita, dan Thalita cuma bisa bengong begitu menyadari betapa kurusnya cowok itu sekarang.  Kalau mau jujur, sebetulnya Thalita sedih banget waktu ortunya melarangnya untuk ketemu Andra lagi. Tapi di luar semua itu, dia tahu ortunya merencanakan yang terbaik. Mereka hanya nggak ingin Thalita terjerumus di dunia yang sama dengan Andra. Dan sekarang, saat Thalita sudah setengah jalan dengan keputusannya untuk menjauhi Andra, dia nggak mau semua usahanya jadi sia-sia. Dia harus tegas pada Andra, meski sulit dan sakit rasanya.  “Kenapa?” tanya Andra pelan.  “Aku nggak bisa percaya sama kamu lagi, Ndra…”  “Soal apa? Drugs itu? Thalita, aku…”  “Udah ya, Ndra, jangan dilanjutin. Aku nggak tau harus gimana sama kamu. Dari dulu kamu selalu janji bakal berhenti pakai drugs, selalu janji kamu nggak akan ngecewain aku lagi, tapi kenyataannya…? Kamu ingkar janji terus. Dan aku nggak mau ambil risiko aku bakal terjerumus ke dunia yang sama…”  Susah payah Thalita menahan, tapi air matanya tak mau menurut. Ia menangis tersedu-sedu.  “Kamu malu punya pacar kayak aku?”  Thalita mendongak, tersenyum pahit. “Ya.”  “Tha, please…”  Thalita nggak menggubris permohonan Andra. Ia melanjutkan kata-katanya. “Aku malu punya pacar kayak kamu, yang nggak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Kamu lihat dong, Ndra, seperti apa kamu sekarang… Kamu nggak seperti Andra yang aku kenal dulu…”
 Andra duduk di kursi dan mengatupkan kedua tangan ke wajahnya. Thalita sudah berusaha membuang muka, tapi dia masih tetap bisa melihat lipatan siku Andra yang penuh bekas suntikan. Dia bergidik ngeri.  “Tha… aku minta maaf…”  “Buat apa? Toh, kamu juga nggak bisa ninggalin drugs-mu itu biarpun aku sudah memohon ke kamu berkali-kali, kan? Kamu cuma bisa janji, tanpa menepati janjimu itu. Aku nggak bisa, Ndra. Ortuku sudah tau semua tentang kamu, mereka nggak setuju kita pacaran. Mereka bahkan nggak mau aku masuk SMA tempat kamu sekolah. Aku nggak boleh dekat-dekat kamu lagi. Dan aku tau, mereka sudah mengambil keputusan yang benar untukku…”  “Tapi… aku masih sayang sama kamu, Tha!”  “Sayang?? Haha…” Thalita berusaha tertawa sesinis mungkin, padahal dalam hatinya sakit setengah mati. “Kalau kamu bener sayang sama aku, kamu nggak akan tega nyakitin aku! Kamu akan penuhi permintaanku untuk berhenti nge-drugs!”  “Drugs itu cuma karena aku kecewa…” Andra tiba-tiba mencengkeram bahu Thalita dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Mau nggak mau pandangan Thalita terpaku pada bekas-bekas suntikan di lipatan siku Andra lagi. Dia memejamkan mata.  “Kecewa sama siapa? Ortumu? Kamu kan dulu punya aku! Aku bisa bantuin kamu! Kamu minta pertolongan ke tempat yang salah, Ndra… Kamu bahkan nggak mau berusaha demi kebaikanmu sendiri! Apa lagi yang harus aku perjuangkan, Ndra? Apa?!” Thalita menggigit bibir dengan getir. “Sori, tapi aku nggak mau ngomong sama kamu lagi.”  Cepat-cepat Thalita melepaskan tangan Andra dari bahunya, lalu berlari ke kamar dan mengunci pintu. Dia menjatuhkan diri ke atas ranjang, dan menangis sejadi- jadinya. 
* * * 
“Tha…” Jennie membuka pintu kamar Thalita perlahan. Thalita mengangkat kepalanya dari bantal dan langsung menghambur memeluk Jennie.  “Jen, Andra…”  “Iya, gue tau. Udah ya, jangan nangis lagi…” Jennie membelai rambut Thalita lembut. Tadi setelah Andra pulang, Thalita memang menelepon Jennie sambil menangis, dan sobatnya itu muncul di rumahnya kurang dari setengah jam kemudian.  “Kenapa dia muncul lagi? Padahal gue udah mulai bisa ngelupain dia… Dia seharusnya tau kan kalo gue nggak mau ketemu dia lagi?”  “Mungkin dia masih sayang sama lo…”
 “Itu yang dia bilang, tapi tolong deh… Sayang? Kalau dia sayang sama gue, dia pasti mau menepati semua janjinya! Tapi nyatanya? Dia lebih sayang sama semua drugs-nya itu! Lebih sayang daripada sama dirinya sendiri! Dia nggak tau kalau dia lagi bunuh diri pelan-pelan, Jen…” Thalita sesenggukan selama beberapa detik. Jennie masih terus memeluknya. “Gue masih sayang sama dia… Sayang banget… Tapi gue tau, gue nggak akan bisa bertahan lagi…” Air mata Thalita jatuh lagi.  “Memang nggak semua yang baik itu menyenangkan ya, Tha? Tapi gue rasa, memang lebih baik lo kehilangan Andra, daripada lo ada dalam lingkup pergaulan yang berbahaya.”  Thalita mengangguk dalam tangisnya.  “Lho, lho, ada apa ini?”  Thalita terlonjak kaget mendengar suara itu. Ia mendongak dan melihat Papa berdiri di ambang pintu kamarnya.  “Kamu kenapa, Tha?” Papa berjalan masuk dengan wajah khawatir. Thalita cepat- cepat menghapus air mata yang mengalir di pipinya, tapi jelas dia tak bisa menyembunyikan juga mata sembap dan hidung merahnya dari Papa.  Karena nggak berhasil mendapatkan jawaban dari anaknya, papa Thalita menanyai Jennie.  “Jen, Thalita kenapa?”  Jennie terlihat ragu, tapi dia nggak bisa menghindar. “Ngg… anu, Oom, tadi Andra ke sini…”  Papa Thalita melotot. “Ngapain dia ke sini? Kamu yang nyuruh dia datang, Tha?”  Thalita menggeleng cepat. “Nggak, Pa… Aku juga nggak tau kenapa dia berani datang ke sini lagi, padahal aku udah ngelarang dia…”  “Anak itu…” Papa duduk di tepi ranjang Thalita, dan menghela napas dalam- dalam. “Dia masih mengganggu kamu?”  “Yah, dia masih suka nelepon, tapi nggak pernah aku angkat. SMS-nya juga nggak pernah aku balas…” Thalita teringat beberapa SMS dan telepon Andra yang diabaikannya sejak mereka putus. Mungkin karena itulah Andra nekat datang ke rumah, karena cara lain yang dilakukannya untuk mengajak Thalita bicara ternyata gagal. Thalita yakin, Andra juga pasti sudah memperhitungkan untuk datang siang hari, ketika Papa nggak ada, agar dia nggak diusir.  “Bagus, apa yang kamu lakukan sudah benar. Kamu harus berani menunjukkan ketegasan bahwa kamu nggak mau berurusan sama dia lagi.”  “Iya, Pa, aku tau… Aku juga tadi udah minta dia untuk nggak datang ke sini lagi.”  Papa mengangguk. “Kamu pasti mengerti kan, kalau apa yang Papa lakukan ini untuk kebaikanmu? Tha, dan kamu juga, Jennie,” Papa Thalita mengalihkan
pandangannya pada Jennie, yang menatap balik dengan ingin tahu, “narkoba itu berbahaya. Sekali kalian menyentuhnya, masa depan kalian akan hancur. Memang, ada segelintir orang yang berhasil melepaskan diri dari jeratan narkoba. Sembuh dan bersih setelah direhabilitasi. Tapi prosesnya sendiri pun bukan proses yang mudah…”  Papa Thalita terdiam sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan, “Ada teman Papa, anaknya kena narkoba… Papanya benar-benar kecewa. Anaknya nggak hanya jadi pemakai, tapi diam-diam juga sudah jadi pengedar, dan itu membawa dia melakukan banyak hal jahat lainnya. Dia mulai berani minta uang secara paksa dari ibunya, untuk beli narkoba. Kalau nggak dikasih, dia mencuri. Uang kuliahnya juga dia embat untuk beli narkoba. Kuliahnya jangan ditanya, jelas berantakan. Anaknya jadi pembangkang, dan orangtuanya sudah nggak kuat lagi menangani dia. Akhirnya anak itu dikirim ke salah satu panti rehabilitasi…”  Kening Thalita berkerut. Papa nggak pernah cerita tentang ini sebelumnya.  “Waktu di panti rehab, anak itu demam tinggi. Awalnya para pengurus panti mengira itu demam biasa, tapi setelah darahnya diperiksa, baru diketahui bahwa anak itu menderita HIV positif. Dan HIV-nya sudah berkembang menjadi AIDS… Setelah itu barulah anak itu mengaku, dia suka pakai jarum suntik bergantian dengan teman- teman sesama junkies-nya, dan dia juga menganut seks bebas…”  Thalita bergidik ngeri, sementara ia bisa mendengar Jennie di sebelahnya bersusah payah menelah ludah.  “Anak itu meninggal, hanya beberapa bulan setelahnya. Dan ia meninggal dengan sangat kesakitan. Papa ngeri sekali waktu melihat jenazahnya di rumah duka. Dia hanya tinggal tulang dan kulit. Bahkan saat tubuh itu sudah nggak memiliki jiwa sekalipun, wajahnya masih terlihat menderita. Papa nggak mau kamu sampai mengalami nasib seperti itu, Tha… Papa nggak akan pernah sanggup melihat kamu dalam keadaan seperti itu…”  Thalita mengelus lengan Papa dengan lembut. Pantas Papa begitu keras melarangnya untuk berdekatan dengan Andra selama ini. Ternyata Papa pernah melihat sendiri bagaimana hancurnya orang yang terjerat narkoba, dan Papa hanya nggak mau Thalita sampai bernasib seperti itu… 
* * * 
“Lit, temen lo yang namanya Thalita itu lucu,” kata Darren sambil lalu waktu dia dan Tatyana nonton TV bareng di ruang keluarga.  “Wah… ada apa nih? Kok tiba-tiba lo care sama temen gue? Naksir?” goda Tatyana.
 “Care apanya? Gue kan cuma bilang dia itu lucu! Kalau gue bilang Aming itu lucu, masa gue naksir Aming? Nggak, kan?” Darren langsung cerewet.  “Lho, biasanya kan lo paling cuek sama temen-temen gue, Ren. Ingat namanya aja nggak! Nah ini, nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba lo ngomentarin temen gue. Itu kan pasti ada apa-apanya!” Tatyana cekikikan.  “Nggak usah sotoy deh,” gerutu Darren.  Tatyana menahan tawanya. “Tapi kan Thalita lucu, manis, imut… Udah, kalo naksir sih ngaku aja!” Tatyana tersenyum penuh kemenangan. Sejak awal dia sudah tau Thalita jenis cewek yang bakal bisa membuat cowok secuek kakaknya ini pun bereaksi.  “Imut sih imut, tapi kalo udah ngomong bola, duh… nggak ada imutnya sama sekali! Semangat banget. Jangan-jangan cita-citanya itu pengin jadi komentator bola.”  “Nah, tambah bagus tuh! Berarti dia cocok kan sama lo? Daripada lo jomblo mulu, nanti bisa menggundang gosip lho!”  “Itu kan hasil kerjaan biang gosip kayak lo sama temen-temen lo itu!”  “Yeee… sori ya! Gue nggak segitu kurang topiknya sampai harus ngegosipin lo! Makanya, lo cari pacar dong!”  “Udah nggak usah bawel! Sendirinya juga jomblo, kok malah ngurusin orang lain?” kata Darren sambil berlalu ke kamarnya.  Tatyana cemberut.                  
  
TIGA   
Di kelas agama, lagi-lagi Thalita menatap Darren sembunyi-sembunyi. Bener, cowok itu memang ganteng. Dia juga orangnya enak diajak ngobrol (biarpun Thalita cuma pernah ngobrol sama Darren sekali!). Dan yang paling penting, kalau Thalita mau lebih dekat sama Darren, jalannya udah terbuka lebar, karena dia dapat support 100% dari Tatyana.  Yang jadi masalah sekarang cuma perasaan Thalita. Dia masih suka kepikiran Andra, apalagi setelah cowok itu nekat datang ke rumahnya kemarin. Dan seganteng apa pun Darren, entah kenapa belum ada deg-degan yang menyerbu hati Thalita kalau kebetulan dia menatap cowok itu. Hanya ada salting-salting nggak penting.  Thalita jadi merasa bersalah karena ingat janjinya pada Tatyana. Dia sendiri bingung, kenapa dulu bisa-bisanya janji sama Tatyana untuk berusaha mendekati Darren. Rasanya waktu itu dia asal janji aja, nggak memikirkan konsekuensi dari janjinya. Ini kan masalah hati. Nggak gampang untuk suka sama seseorang begitu aja. Dan mungkin waktu itu juga dia kebawa suasana karena mendengar cerita tentang Darren dikecewakan cewek yang disukainya setengah mati.  Lamunan Thalita buyar karena lengannya disikut Nita.  “Lagi ngapain sih?” tanya Nita pengin tau.  “Ah, nggak ngapa-ngapain kok. Gue cuma ngantuk…” Thalita sok mengucek matanya dan menguap. Dia memang nggak niat untuk curhat dulu sama Nita, takut Nita nantinya kelepasan cerita sama anak-anak lain soal Thalita yang diminta Tatyana untuk ngedeketin kakaknya itu. Coba bayangin, gimana kalau Darren sampai tahu? Pasti dia bakal marah! Kan kesannya dia “nggak laku” banget!  “Eh, keliatannya Pak Lukas mau bagi kelompok tugas deh,” kata Nita lagi.  “Tugas apa?”  “Nggak tau. Dengerin aja, ntar juga kan dikasih tau.”  Thalita langsung memperhatikan Pak Lukas yang berdiri di depan kelas.  “Anak-anak, kalian masing-masing akan Bapak bagi dalam kelompok. Masing- masing kelompok akan membuat makalah dengan tema…,” Pak Lukas menulis di papan tulis, “Miskin: Dosa atau Tidak di Mata Tuhan?. Nanti juga akan ada presentasi untuk setiap kelompok. Satu kelompok terdiri atas dua orang, jadi kita akan punya tujuh kelompok.”
 “Nit, kita sekelompok yuk?” tawar Thalita.  Nita mengangguk riang.  “Nah, Bapak yang akan membagi kelompoknya,” kata Pak Lukas.  Thalita langsung lemas. Kalau Pak Lukas yang membagi kelompoknya, ada kemungkinan dia nggak bisa sekelompok sama Nita dong? Yah, nggak apalah, masih ada kemungkinan bisa sekelompok sama Tatyana atau Verina.  “Oke, kelompok pertama… Andika dengan Verina.”  Verina langsung cengengesan, senang karena bisa sekelompok sama cowoknya sendiri. Thalita menduga kedua orang itu bakal banyakan mojok dan pacaran dibanding mengerjakan tugas.  “Ronny dengan Freddy.” Dua cowok anak X-6 yang nggak Thalita kenal baik.  “Tatyana dengan…” para cowok yang belum dapat pasangan, kecuali Darren, langsung memasang telinga mereka baik-baik, “…Sugeng.”  Para cowok itu langsung merosot lemas di bangku mereka masing-masing. Harapan mereka pupus hanya setelah beberapa detik mekar. Kalau Tatyana sekelompok sama Sugeng yang tampangnya di atas rata-rata itu, mereka jelas nggak punya kesempatan untuk deket-deket sama Tatyana!  “Farrel dengan Nita.”  Nita kontan melotot. Dia sama sekali nggak menyangka bakal dipasangkan dengan Farrell, cowok dingin bak freezer kulkas dari kelas X-6 itu.  “Sioe Liong dengan Alvin.”  “Ya, Pak,” jawab dua orang itu serempak.  “Rudy, kamu sama Gio.”  Rudy langsung merengut, dan itu sangat bisa dimaklumi. Gio adalah jenis cowok yang mmm… berada di “persimpangan”. Di kartu pelajarnya jelas-jelas tertulis dia itu cowok, tapi tingkah lakunya lebih feminin daripada cewek asli! Cowok-cowok lain yang mendengar Rudy harus sekelompok sama Gio langsung ngakak. Gio-nya sendiri malah mengedip-ngedip genit. Rudy langsung pasang tampang seolah dia lebih baik disuruh ngepel dan menyikat seluruh WC sekolah daripada sekelompok dengan Gio.  “Berarti, Thalita…”  Thalita memandang ke sekeliling kelas agamanya, berusaha mencari tau dengan siapa dia bakal sekelompok. Kalau ini kelompok terakhir, berarti cuma satu orang selain dia yang belum dapat kelompok juga, dan pastinya bakal jadi partnernya.  “Dengan Darren, ya?”  Thalita mengerjap dua kali, tepat saat tatapannya berhenti di Darren, yang menoleh ke arahnya dan nyengir. Dia… bakal sekelompok sama cowok itu? Entah kenapa, tapi sepertinya Dewi Fortuna sangat merestui rencana Tatyana.

* * *  
Malamnya, Thalita menelepon Jennie. Biasa, untuk lapor kejadian hari ini.  “Jadi lo sekelompok sama dia?” tanya Jennie setelah Thalita selesai “wajib lapor”. “Gila, kebetulan banget!”  “Iya, Jen, gue sendiri juga bingung kok bisa-bisanya dari banyak murid di kelas agama itu, gue sekelompok sama Darren,” kata Thalita.  “Ya itu namanya jodoh lah. Hihihi…” Jennie cekikikan.  “Jen! Apaan sih?” Thalita sewot. Kenapa sih Jennie ini nggak pernah berhenti menggodanya? Dia kan nggak naksir Darren!  Thalita memang sudah cerita pada Jennie semua rencana Tatyana, juga perkembangan yang terjadi setiap hari. Maklum aja, Thalita kan udah memutuskan untuk tutup mulut sama Nita, tapi dia masih butuh teman curhat, dan siapa lagi yang bisa jadi temen curhatnya kalau bukan Jennie?  “Tha, gue mau pakai telepon!” kata Acha yang mendadak nongol di pintu kamar Thalita dengan gaya bossy.  “Pakai telepon yang di ruang tamu, kenapa?” tanya Thalita jengkel. “Gue kan lagi telepon Jennie!”  “Ogah! Telepon yang di ruang tamu kan bukan wireless! Gue mau pakai yang wireless!”  “Lo ganggu banget sih?” Thalita mendelik. “Emang mau telepon siapa? Pasti Dina, kan? Mau ngegosip, kan? Telepon itu mahal, nggak boleh dipake ngegosip, tau!” omel Thalita.  “Nah, lo juga telepon Jennie buat ngegosip, kan?” balas Acha nggak mau kalah. Thalita langsung menggeram jengkel. Adiknya yang satu ini memang magnet pertengkaran! Kalau udah ada di dekat Acha yang supernyolot, Thalita bawaannya pengin marah terus deh!  “Tunggu bentar!” kata Thalita sebal, lalu melanjutkan bicara di telepon. “Jen, ntar gue telepon lagi deh ya. Ini ada anak tengil gangguin mulu, bisa nggak asyik kita ngobrolnya! Padahal gue masih mau gosipin Darren…”  Jennie tertawa. “Nggak papa, gosipnya bisa lanjut ntar kok. Dadah…”  Thalita memutuskan sambungan teleponnya, lalu menyerahkan wireless ke Acha dengan tampang kusut.  “Thank you,” kata Acha penuh kemenangan. “Oh ya, Darren siapa sih? Gebetan baru lo?”  “Cerewet!” gerutu Thalita.
 “Pasti orangnya pendek, gemuk, jorok, kacamataan, ketombean, terus…” Acha cengengesan sendiri.  “Bawel! Keluar sana!” bentak Thalita lagi. Setelah Acha keluar, dia menghela napas dalam-dalam.  Grrr!!! Dosa apa gue sampai bisa punya adik nggak ketulungan bawelnya gitu? batin Thalita kesal. 
* * * 
“Hai!” Darren duduk di kursi yang berada persis di sebelah Thalita, bikin cewek itu terkaget-kaget. “Jadi, kita sekelompok nih?”  “Eh… iya.”  “Gue harus ngerjain apa aja?”  “Heh?” Thalita mengernyit.  “Itu lho… buat tugas kelompok itu, gue harus ngerjain apa aja?”  “Oh…” Thalita manggut-manggut, lalu mengeluarkan notes kecil dari dalam tasnya, dan merobek selembar kertas yang sudah penuh tulisan untuk Darren. “Ini, gue udah bikin daftar bahan makalah yang harus lo cari di Internet. Ntar kalo udah dapet, kasih ke gue aja, biar gue yang nyusun makalahnya.”  Darren mengambil kertas itu, lalu menelitinya sebentar.  “Oke, kayaknya udah lumayan lengkap nih,” katanya setelah selesai membaca apa saja yang ditulis Thalita di kertas itu. “Kapan paling telat gue harus ngasih semua bahan ini ke elo?”  “Deadline-nya Senin dua minggu lagi. Jadi paling nggak Jumat ini gue harus udah punya bahannya, biar gue bisa baca-baca dan hari Senin-nya Pak Lukas bisa ngecek draft makalah kita.”  “Wah? Jumat? Jumat ini gue nggak masuk…”  “Lho? Kenapa?” tanya Thalita bingung. Mana ada sih orang yang sudah merencanakan bakal nggak masuk hari apa? Kecuali Darren emang sengaja mau bolos, mungkin.  “Jumat ini gue ada pertandingan persahabatan sama SMA Pancasila, dan pertandingannya itu pagi, jadi gue nggak masuk sekolah.”  “Eh… iya ya? Terus gimana dong?” Thalita jadi bingung sendiri. Dia lupa Darren itu kiper tim sepak bola sekolah, dan Jumat ini tim mereka ada pertandingan persahabatan.  Saat itu hari Selasa, dan Thalita nggak enak kalau minta Darren menyerahkan bahan makalah maju satu hari ke hari Kamis. Menjelang pertandingan gini pasti jadwal
latihan Darren padat banget, dan sepulang latihan cowok itu pasti dalam kondisi energi terkuras. Kalau Sabtu-Minggu sekolah mereka libur, jadi nggak mungkin ketemu juga. Padahal Pak Lukas udah bilang hari Senin depan beliau mau mengecek draft makalah dari kelompok yang sudah dibentuknya. Gimana Thalita bisa membuat draft-nya kalau Darren baru memberikan bahan hari Senin?  “Gini aja deh,” kata Darren tiba-tiba. “Sabtu pagi gue ke rumah lo, gimana? Ntar gue bawain deh draft-nya. Nanti gue juga sekalian bawa laptop, jadi bisa bantu lo kerja juga.”  Thalita melongo. Apa cowok ini barusan bilang dia mau ke rumah Thalita hari Sabtu?  “Wah, lo bengong lagi, ya?” tanya Darren geli. “Gue nggak tau udah berapa kali lo bengong tiap kali gue ajak ngomong.”  Wajah Thalita langsung merona. Kenapa sih cowok di hadapannya itu nggak menyadari dialah yang salah karena punya potensi untuk membuat separuh cewek penghuni planet Bumi ini bengong setiap ngobrol sama dia?  “Mmhh… gue…”  Darren manggut-manggut, padahal Thalita belum menyelesaikan kalimatnya.  “Ya, ya, gue tau gue ini lancang banget. Kita kan baru kenal, tapi gue udah asal ngomong aja mau ke rumah lo. Yah… walaupun sebenernya tujuan gue adalah untuk ngerjain tugas, gue bisa ngerti kalau lo nggak suka…”  “Aduuhhh, bukan gitu, Ren…”  Thalita memutar otak, membayangkan kemungkinan-kemungkinan apa aja yang bakal terjadi kalau Darren sampai mampir ke rumahnya:  1. Acha, adiknya yang tengil itu, pasti nggak akan membiarkan Thalita dan Darren mengerjakan tugas dalam situasi aman dan tenteram. Thalita jamin, adiknya itu bakal tebar pesona sepanjang waktu di depan Darren. Gimana bisa ngerjain tugas kalau ada makhluk centil berseliweran di depanmu?  2. Tatyana bakal berpikir rencananya menjodohkan Darren dan Thalita sudah berhasil, padahal Thalita belum punya perasaan apa-apa pada cowok itu, selain perasaan bingung sendiri kenapa dia nggak bisa dengan mudah jatuh cinta pada cowok se-perfect Darren.  Di luar kedua alasan itu, Thalita juga agak hmm… takut kalau Darren benar-benar mau ke rumahnya. Gimana kalau nanti dia akhirnya suka beneran sama cowok itu? Dia akan merasa sangat bersalah sama Andra kalau sampai itu terjadi. Dia kan sudah janji akan menerima Andra kembali jika cowok itu sudah “bersih”, tapi bagaimana ketika Andra bersih, Thalita justru sudah jatuh hati pada Darren? Semua usaha Andra akan sia-sia…
 Nggak, itu nggak boleh terjadi, pikir Thalita. Gue nggak mau mengecewakan Andra nantinya…  Baru membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu, Thalita sudah pusing. Ditambah lagi, dia melihat Tatyana di kejauhan, dan pikirannya semakin semrawut gara-gara ingat janji konyol yang dibuatnya dulu.  Tapi melihat Tatyana juga membuat Thalita ingat sesuatu…  “Eh, Ren, gini aja… kalo lo nggak masuk hari Jumat, flashdisk yang ada data-data makalah itu lo titipin aja ke Tatyana, gimana? Ntar biar dia yang ngasih ke gue di sekolah, jadi lo kan nggak perlu repot-repot ke rumah gue…”  Nah! pikir Thalita girang. Kenapa gue nggak kepikiran ide ini dari tadi sih? Tatyana sama Darren kan serumah. Kalau Darren nggak masuk hari Jumat, dia tinggal nitipin aja flashdisk-nya ke Tatyana yang bakal ketemu gue di sekolah! Dia nggak perlu ke rumah gue, horeeee!  Berlawanan dengan Thalita yang lega setengah mati karena menemukan alasan supaya Darren nggak perlu ke rumahnya, cowok itu malah mengernyit.  “Yah, terserah deh, kalau itu memang mau lo,” katanya sambil mengedikkan bahu dan beranjak dari bangku yang didudukinya.  Thalita masih senyam-senyum sendiri, nggak merasa sudah melewatkan chance of a life time dengan membiarkan cowok seganteng Darren main ke rumahnya. Kesempatan yang, kalau diberikan pada seluruh cewek SMA Persada Bangsa lainnya, pasti nggak bakal disia-siakan begitu saja. 
* * * 
Tatyana manyun setelah Darren selesai menceritakan semua kejadian tadi siang. Dia sama sekali nggak ngerti kenapa Thalita justru terkesan “menjaga jarak”. Padahal, abangnya yang cuek bebek justru udah tanpa sadar maju duluan! Memang sih, Darren kayaknya nyantai aja, tapi dia jelas kelihatan bingung karena tampaknya Thalita nggak pengin banget dia datang ke rumah cewek itu, walaupun tujuannya untuk mengerjakan tugas kelompok, bukannya ngapel atau ngajak kencan!  Gimana sih Thalita ini?! pikir Tatyana kesal. Ada kesempatan buat pedekate gini, tapi dia malah ngacir. Gue harus melakukan sesuatu biar Darren tetap ke rumah Thalita!  “Gue juga mau bolos aja ah hari Jumat!” seru Tatyana tiba-tiba.  Darren mendelik. “Maksud lo apa?”
 “Ya biar lo tetap bisa ke rumah Thalita! Emangnya siapa yang bilang gue mau dititipin flashdisk? Maaf ya, tapi tas gue udah penuh. Nggak ada ruang tambahan yang bisa dipakai untuk memuat flashdisk lo!”  “Lo kenapa sih?” tanya Darren, semakin bingung. “Gue nggak ngerti kenapa lo jadi… ngambek gini. Flashdisk gue itu beratnya satu ons pun nggak ada! Dan ukurannya cuma segini!” Darren menekuk jempol dan telunjuknya untuk menunjukkan ukuran flashdisk-nya, yang nggak lebih dari lima senti.  “Pokoknya gue nggak mau dititipin! Lagian, gue juga pengin bolos karena mau nonton lo tanding lawan SMA Pancasila. Emangnya nggak boleh?” Tatyana berdiri dan berkacak pinggang.  Ini anak kenapa sih? pikir Darren bingung. Jangan-jangan lagi PMS dia! Selalu deh, kalau dia lagi PMS, gue yang kena getahnya!  “See? Pokoknya lo harus tetep ke rumah Thalita! Dan… dan…” Tatyana berhenti sebentar untuk merancang kalimatnya. Dia nggak mau Darren curiga bahwa dia sebenarnya berniat mencomblangi kakaknya itu dengan Thalita. “Dan… masa lo cuma kebagian nyari bahan makalah aja sih, padahal Thalita yang ngerjain semuanya? Itu nggak adil, tau! Kalau gue jadi Thalita, gue sih nggak mau harus nyusun makalah, sementara ada cowok pemalas yang cuma kebagian tugas buka-buka website dan copy- paste di sana-sini!”  Alis Darren terangkat, saking bingungnya melihat Tatyana mengomel panjang- lebar.  “Ya ampun, Lit, Thalita sendiri yang bilang tugas gue tuh buat nyari bahan aja, soalnya dia yang bakal nyusun makalahnya. Kenapa malah lo yang sewot gini sih? Lagian, kalau Thalita yang nggak mau gue ke rumahnya, masa gue harus maksa?”  Tatyana nggak menjawab lagi. Dia malah meninggalkan Darren di ruang tamu, dan masuk ke kamarnya sambil menggerutu tentang sesuatu yang kedengarannya tentang dia-nggak-mau-tau-pokoknya-Darren-harus-ke-rumah-Thalita-hari-Sabtu.  Darren cuma bisa menghela napas. Tingkah adiknya hari ini benar-benar aneh, tapi cewek itu jelas bakal terus menjuteki Darren kalau permintaannya nggak dituruti. 
* * * 
Rabu pagi itu, Thalita kaget setengah mati karena melihat Darren duduk di bangkunya saat dia masuk ke kelas. Darren tersenyum begitu melihat Thalita di ambang pintu.  “Darren… ada apa?” tanya Thalita kikuk. Thalita merasakan seisi kelas X-5 memelototi mereka berdua. Memang nggak biasanya Darren mendatangi kelas cewek
yang pengin ditemuinya. Biasanya sih justru cewek-cewek yang pada ngejogrok di depan kelas X-6, menunggu Darren datang. Gosip baru nih! Fresh from the oven!  “Mm… gue ke sini karena mau nanya alamat rumah lo.”  “Heh?” Thalita bengong.  “Soalnya… Lita, mmm… maksud gue Tatyana, mau bolos juga hari Jumat nanti buat nonton pertandingan sepak bola. Jadi gue nggak bisa nitipin flashdisk gue ke dia. Dan sampai sekarang gue juga belum dapat bahan. Jadi mau nggak mau hari Sabtu gue harus ke rumah lo…”  Mata Thalita membola, dan dia langsung mencari-cari sosok Tatyana di dalam kelas. Waktu matanya berhasil menemukan Tatyana, cewek itu malah sengaja nggak mau menatap ke arah Thalita. Thalita yakin, mau bolos dan nonton pertandingan sepak bola itu pasti cuma alasan yang dibuat-buat Tatyana biar Darren bisa ke rumah Thalita. Rupanya cewek itu kekeuh banget sama rencananya.  “Mmm… Tha, kalau lo masih keberatan, gue bisa kok ke rumah lo cuma buat nganter flashdisk aja dan langsung pulang. Yah… biarpun gue masih merasa nggak adil banget kalau gue cuma harus nyari bahan sementara lo yang kerja keras nyusun makalahnya…”  Thalita menghela napas. Dia tau, sekonyol apa pun janji yang dibuatnya ke Tatyana dulu, dia harus berusaha menepatinya. Janji itu kan ibarat utang, harus dibayar. Dan walaupun ia masih merasa ragu kalau teringat Andra, ia tahu kemungkinan Andra bersih dari narkoba masih sangat kecil. Mungkin hal itu masih akan lama terjadi. Mungkin Thalita juga nggak akan dengan mudah suka sama Darren. Lagi pula, ini kan hanya tugas sekolah, bukannya acara kencan. Kenapa harus dibikin ribet sih?  “Nggak papa kok, Ren… Dan lo bener, kayaknya gue memang harus ngasih lo kerjaan lebih banyak lagi. Jadi jangan lupa bawa laptop, ya!” Thalita nyengir, walaupun masih agak kikuk.  Darren tersenyum kecil. “Beres, Bos!” 
* * * 
Santi berdiri di depan pintu kamar Andra dengan perasaan kacau-balau. Ia ragu antara harus mengetuk pintu kamar kakaknya itu atau nggak. Akhirnya dia memutuskan memilih yang pertama. Suara Andra menjawab dari dalam, menyuruhnya masuk.  “Kak…,” Santi terbata setelah berdiri di depan kakaknya yang lagi tiduran di atas ranjang sambil membaca komik.  “Hmm?”  “Tadi Papa telepon, katanya besok kita makan siang bareng.”
 “Oh,” sahut Andra pendek. “Mama ikut?”  Santi menggeleng pelan.  “Terus, kita cuma berempat kalau ditambah Papa sama Rio?” Andra menyebutkan nama adik bungsu mereka yang sekarang tinggal bareng Papa setelah Papa dan Mama bercerai.  Ortu Andra bercerai kira-kira setahun yang lalu, dan sejak itu adik bungsunya tinggal bersama Papa. Umur Rio masih sebelas tahun, dan Papa tahu pasti bahwa menempatkan Rio serumah dengan Andra akan membuat anak bungsunya itu ada dalam posisi yang sangat riskan. Siapa yang bisa menjamin Andra nggak akan memengaruhi Rio untuk “mencicipi” narkoba juga?  Tadinya Papa juga ingin Santi tinggal bersamanya, tapi Santi lebih memilih tinggal dengan Mama dan Andra. Akhirnya Papa mengizinkan, walau dengan berat hati.  “Sama Tante Retno dan Ayu juga,” jawab Santi takut-takut. Ia sebenarnya lebih senang kalo nggak usah menyebutkan dua nama itu di depan kakaknya. Tapi karena Andra sendiri yang tanya, yah… apa boleh buat.  “Kalau mereka ikut, gue nggak ikut.” Andra kembali asyik dengan komiknya.  Santi menghela napas, mengerti. Tante Retno adalah istri baru Papa, sementara Ayu adalah anak wanita itu dari pernikahan terdahulunya. Usia Ayu sepantaran dengan Andra, dan dia sayang banget sama Rio, meskipun Rio bukan adik kandungnya. Santi sendiri cukup akrab dengan Ayu, tapi kelihatannya Andra nggak mau ambil pusing dengan saudara tiri mereka itu. Malah, Andra sangat benci pada Tante Retno dan Ayu. Dia selalu berusaha menghindar setiap kali diminta bertemu dua orang itu.  “Kenapa sih, Kakak benci banget sama Tante Retno dan Ayu?” tanya Santi akhirnya. “Mereka kan nggak salah apa-apa sama kita, Kak…”  “Suka-suka gue dong. Kalau lo suka sama mereka, itu hak lo. Tapi gue nggak suka, karena mereka munafik! Mana ada ibu tiri yang baik di dunia ini? Bullshit!”  “Tapi Tante Retno baik,” sanggah Santi. “Aku bisa lihat kebaikan Tante Retno itu tulus…”  “Ah… nggak usah mulai ceramah deh lo! Pokoknya gue nggak suka sama perempuan brengsek itu!”  Sekali lagi Santi menghela napas. Harusnya dia ingat, percuma saja bicara sama kakaknya yang keras kepala itu. Nggak ada gunanya! Sekali Andra menilai buruk seseorang, pendapatnya itu nggak akan pernah berubah.  “Besok gue antar lo ke rumah Papa, tapi gue langsung pulang. Kalau Papa tanya, bilang aja gue nggak tahan makan semeja sama orang munafik!”
 Santi nggak menjawab, dia berbalik dan beranjak keluar dari kamar Andra. Besok dia bakal mengarang alasan yang lebih halus kalau Papa bertanya. Menyampaikan alasan yang dibilang Andra tadi hanya akan merusak suasana saja.  Di kamarnya, Andra membanting semua barang yang bisa digapai tangannya. Cih! Kalau ada orang yang penasaran bagaimana rasanya neraka, mereka boleh mencoba hidup dalam posisinya sekarang! 
* * * 
“Siapa sih yang mau datang? Kok lo rajin amat?” tanya Acha, keheranan melihat Thalita yang sibuk membersihkan meja dan sofa di ruang tamu, plus menata stoples- stoples kue di atas meja.  “Temen gue, mau kerja kelompok.”  “Cowok, ya?”  “Bukan urusan lo,” jawab Thalita setengah menggerutu. Dia memang nggak suka kalau ada yang mengajaknya bicara saat dia sedang mengerjakan sesuatu, apalagi kalau yang mengajaknya bicara itu orang cerewet macam Acha.  “Cieee… sewot dia! Kalau gitu bener, pasti cowok! Atau… yang mau datang sebenernya… Andra?”  Thalita mendongak sedikit mendengar nama itu. Hatinya terasa perih, tapi ia nggak mau menunjukkan hal itu di depan Acha, dan langsung mengubah ekspresinya menjadi sebal lagi.  Acha mengambil biskuit dari salah satu toples yang baru ditata Thalita di atas meja tamu, membuat meja yang tadinya sudah bersih mengilap itu jadi penuh remah-remah biskuit lagi.  “Aduuuuhhhh! Jadi kotor lagi, kan?! Sana, pergi sana! Udah dibersihin susah-susah, juga!” Thalita berusaha menarik tangan Acha supaya menjauh dari ruang tamu, tapi kayaknya bokong adiknya sudah terlanjur lengket di sofa.  “Jahat amat!” gerutu Acha, sambil akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamarnya.  “Eh, tunggu! Panggilin Mbak Nah dong!” perintah Thalita sebelum Acha meninggalkan ruang tamu. Mbak Nah adalah pembantu keluarga mereka.  “Buat apa?”  “Gue mau minta dia beliin Coca-Cola buat temen gue di supermarket depan. Cepet panggilin!”  Acha geleng-geleng kepala. Kalau kakaknya sampai serepot ini bersih-bersih dan menyiapkan suguhan, pasti yang mau datang bukan teman biasa deh!

* * * 
Darren muncul di depan rumah Thalita dengan mengendarai motor Tiger-nya setengah jam kemudian. Dia kelihatan fresh dengan T-shirt hijau tua dan celana jins selututnya. Tas laptopnya terselempang di bahu.  Acha, yang kebetulan membukakan pintu untuk Darren, langsung terbengong- bengong melihat cowok itu. Dia nggak habis pikir kenapa cowok seganteng itu malah datang ke rumah untuk mencari Thalita yang cuek dan seumur-umur cuma pernah pacaran sama satu cowok, bukannya Acha yang girlie dan modis abis. Dunia pasti udah kebalik!  Pantas aja Thalita getol banget tadi bersih-bersih ruang tamu, ternyata ada malaikat mau datang! gerutu Acha dalam hati.  Thalita sudah mengatur meja tamu sedemikian rupa hingga ada tempat untuk Darren meletakkan laptop dan posisi duduknya bisa pewe. Dia bahkan udah jaga-jaga dengan cable roll, kalau-kalau baterai laptop Darren habis. Sebenarnya Thalita sempat heran juga kenapa dia mau melakukan semua itu, padahal beberapa hari sebelum ini dia malah mencari-cari alasan supaya Darren nggak perlu datang ke rumahnya. Tapi Thalita akhirnya menyimpulkan semua yang dia lakukan cuma karena dia nggak mau rumahnya kelihatan berantakan dan memalukan di depan Darren. Bukan karena dia kepengin cowok itu merasa betah dan semakin sering ke rumahnya.  “Eh, gimana kemarin pertandingannya? Menang, kan?” tanya Thalita, basa-basi untuk memulai obrolan.  “Iya dong, gawang gue kan nggak kebobolan sama sekali. Kita menang 3-0!” sahut Darren puas, senyumnya mengembang lebar.  Darren lalu duduk di sofa, dan menyalakan laptop yang diletakkan di atas meja, sementara Thalita ke belakang untuk mengambil minuman.  “Nih, bahan-bahan yang udah gue dapat,” kata Darren setelah Thalita kembali ke ruang tamu sambil membawa dua gelas besar Coca-Cola.  Thalita melirik monitor laptop Darren (yang ternyata sama dengan laptop keluaran terbaru yang dilihatnya di computer exhibition bulan lalu dan membuatnya ngiler!). Kemudian Thalita melihat deretan bahan makalah tentang data-data kemiskinan di Indonesia yang sudah dikopi Darren ke MS Word, lengkap dengan referensi website- nya.  “Cukup nggak kira-kira?”
 “Wah, ini sih lengkap banget!” gumam Thalita kagum setelah membaca sepintas bahan-bahan yang dikumpulkan Darren. Gila, pikir Thalita, ni cowok kerjanya rapi banget. Mana referensi bahannya bagus-bagus! Nggak biasanya cowok kerja serapi ini!  “Oya? Padahal gue baru nyari tadi pagi, sebelum gue datang ke sini.”  Thalita melirik Darren dengan tatapan nggak percaya. “Lo baru nyari tadi pagi?”  “He-eh. Habisnya kemarin-kemarin konsen ke pertandingan, jadi baru sempat nyari bahannya tadi pagi deh…” Darren menguap, kelihatannya dia memang bangun pagi- pagi untuk mencari bahan makalah ini.  “Gue coba baca dari awal ya, lo makan kue dulu deh.” Thalita menyodorkan stoples-stoples biskuit yang sudah disediakannya pada Darren. Cowok itu langsung mengambil satu chocolate chip biskuit dan mengunyahnya.  Thalita membaca lagi bahan-bahan makalah yang dikumpulkan Darren, dan merasa semakin kagum. Ternyata Darren nggak asal comot bahan dari Internet dan menyimpannya di MS Word, tapi dia bener-bener dapat bahan yang qualified untuk makalah pelajaran Agama ini. Rupaya Darren nggak cuma ganteng, enak diajak ngobrol dan baik, tapi juga smart!  Tapi… (tiba-tiba radar waspada Thalita bereaksi), apa ini bukan bagian dari rencana Tatyana, ya? Maksudnya, Tatyana kan mau mencomblangi dia sama Darren, tapi dia tau Thalita belum ada “rasa”. Mungkinkah… Tatyana yang sebenarnya mencari semua bahan ini, dan menyuruh Darren mengaku-aku, cuma supaya Thalita terkesan dan akhirnya perasaan suka Thalita pada Darren bisa tumbuh?  Ah, nggak mungkin, batin Thalita lagi, mengusit pikiran yang terlintas di benaknya barusan. Masa sih Tatyana segila itu? Kayaknya dia cukup easygoing, nggak maksa- maksa amat, biarpun Thalita jelas udah melewati deadline seandainya perjanjian mereka ada expired date-nya.  “Tha, lo udah punya cowok belum?” tanya Darren tiba-tiba, membuyarkan praduga Thalita tentang Tatyana.  “Hah? Apa?”  “Lo udah punya cowok belum?”  Thalita diam, menatap Darren lurus-lurus. Kenapa cowok ini tiba-tiba nanya begitu? Jangan-jangan… Darren suka sama gue? pikir Thalita panik. Tanpa gue melakukan apa-apa, dia udah suka sama gue dengan sendirinya! Dan sekarang dia pengin tau apa gue udah punya pacar atau belum! Omigod! Nggak, nggak… ini nggak boleh terjadi!  “Mmm… kenapa lo tanya gitu?” Thalita balik nanya. Memang ini salah satu “senjata” kaum cewek kalau dapat pertanyaan yang sulit dijawab: tanya aja balik!  “Yah… nggak papa sih, pengin tau aja. Sori kalau lo tersinggung, gue nggak ada maksud apa-apa kok.” Darren terlihat agak salah tingkah. Untuk menutupi
kesaltingannya, dia mengambil sepotong biskuit lagi dari dalam stoples, dan mengunyahnya perlahan-lahan.  “Nggak, gue lagi jomblo,”bibir Thalita menjawab tanpa terkendali. Dan muka Thalita langsung memerah begitu sadar bibirnya sudah lepas kontrol.  “Oh. Udah lama?”  “Dua bulan,” jawab Thalita, sementara tangannya memain-mainkan space bar di laptop Darren. Dia nggak tau apa pertanyaan-pertanyaan Darren kali ini termasuk dalam sesuatu yang dibayangkannya sebagai “akal-akalan Tatyana” atau bukan.  “Pacarannya udah lama?”  “Setahun.”  Darren manggut-manggut, dan Thalita merutuki dirinya sendiri dalam hati. Kok jadi sesi tanya-jawab gini sih?! Dan kenapa mulut gue nggak bisa diem?!  “Kalau boleh gue tau… kenapa lo putus sama mantan cowok lo ini?”  Seperti ada yang mengiris bagian dalam diri Thalita saat Darren menanyakan itu. Mengingat Andra selalu membuat Thalita merasa terbelah dua dalam keadaan hidup- hidup. Sakit dan kecewa, karena ia ternyata nggak dianggap lebih berharga daripada narkotika. Rasa sakit dan perihnya selalu terasa setiap kali ada yang mengungkit Andra…  “Oh… sori, sori… gue lancang. Nggak seharusnya gue nanya-nanya tentang masalah pribadi lo.” Darren seperti baru sadar dari hipnotis, dan langsung sok fokus pada layar laptop. “Ada yang kurang nggak bahan makalahnya?”  Thalita seperti baru sadar dari hipnotis juga. “Mm… nggak ada. Udah lengkap kok. Bisa gue susun ntar malam. Kalo ada yang kurang, nanti gue cari sendiri deh di Internet.”  Thalita sudah menarik garis batas, dan memutuskan Darren harus tetap berdiri di belakang garis itu. Ia nggak mau sampai terlalu dekat dengan Darren, dan ujung- ujungnya nggak akan bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Ia nggak mau nanti harus mengecewakan Andra jika cowok itu telah berusaha lepas dari narkobanya.  Dan mereka akhirnya sama sekali nggak saling bicara, sampai Darren pamit pulang setengah jam kemudian. Katanya sih mau main sepak bola bareng temen-temen setimnya di sekolah. Tapi Thalita yakin, alasan sebenarnya pasti karena punggung Darren udah pegal duduk diam di sebelahnya tanpa berani berkutik lagi.  Ini benar-benar siang yang aneh.    
  
EMPAT   
Setelah kejadian Sabtu siang itu, Thalita jadi agak salting tiap kali ketemu Darren. Dia nggak tau harus bereaksi gimana sama cowok itu. Selain itu, Thalita juga bingung sendiri karena dia nggak kunjung naksir Darren. Padahal, susah kan pedekate sama cowok yang sebenernya nggak kamu taksir, biarpun dia gantengnya setengah mati? Semua bakal lebih gampang kalau aja perasaan Thalita mau diajak kompromi. Kalau dia udah naksir, nggak perlu pakai dipaksa Tatyana, dia pasti udah gencar maju duluan.  Tapi, selalu ada Andra di antara mereka. Dialah penghalang utamanya. Thalita membentengi dirinya dengan nama Andra, hingga cowok seganteng Darren pun nggak sanggup menembus benteng itu.  Dan ternyata Tatyana bisa melihat semua itu, walau penilaiannya tak sepenuhnya benar. Dia mengira Thalita pasti sedang ada di titik jenuh untuk menepati janjinya. Tatyana memutuskan untuk turun tangan kali ini. Dia sama sekali nggak menduga ada orang lain di masa lalu Thalita yang jadi pengganjal rencananya.  “Tha, bisa ngomong bentar nggak?” Tatyana mencegat Thalita yang mau ke kantin bareng Nita. “Bentaaarrr… aja,” tambah Tatyana setelah melihat tampang Thalita yang rada enggan membatalkan niatnya ke kantin.  Thalita mengangguk, dan Nita dengan sadar diri pergi sendirian ke kantin, biarpun dalam hati dia penasaran setengah mati kenapa akhir-akhir ini Tatyana dan Thalita seperti punya rahasia berdua. Mana Thalita tutup mulut, lagi! Kalau dipikir-pikir, Nita jadi kesal sendiri!  “Gue mau ngomong soal permintaan gue yang dulu itu,” kata Tatyana setelah Nita pergi dan kelas mereka kosong.  Wah, gawat! batin Thalita kecut. Tatyana pasti mau ngaih janji, padahal suer… gue kayaknya mati rasa kalau sama Darren! Kayak cowok homo yang nggak demen biarpun di depannya disodori Sandra Dewi!  “Sori, Na, gue…,” Thalita berusaha menjelaskan.  “Iya, gue ngerti kok, makanya gue ngajak lo ngomong sekarang,”potong Tatyana lirih.
 Thalita mengerjap, seperti baru mendengar Tatyana bakal mencabut serpihan kayu yang masuk dalam jarinya.  “Mm… maksud lo?”  “Gue mau membatalkan kesepakatan kita yang dulu itu. Yang tentang gue minta lo untuk ngedeketin Darren.”  Sekarang kayaknya Tatyana udah benar-benar mencabut serpihan kayu itu.  “Yang bener, Na?” tanya Thalita, nggak percaya problemnya sama Darren bisa selesai segampang ini. Ia nggak akan perlu memaksakan dirinya mendekati Darren. Ia nggak perlu bermain-main dengan kemungkinan untuk mengkhianati Andra…  “Iya. Karena gue lihat, lo agak tertekan sama semua itu. Sori, ya, Tha… Padahal gue sama sekali nggak ada maksud. Lo tau kan, gue minta tolong sama lo karena gue suka banget temenan sama lo, dan gue ngerasa lo bakal cocok sama Darren. Tapi… yah, ternyata feeling gue nggak selalu benar…”  Thalita berjalan mendekati Tatyana, dan mengusap bahu cewek itu. “Harusnya gue yang minta maaf, gue nggak bener-bener berusaha…”  “Nggak, nggak, lo nggak salah. Gue yang bego banget. Bisa-bisanya gue minta hal konyol kayak gitu ke lo dulu. Harusnya kan gue tau cinta nggak bisa dipaksain, ya? Gue sama aja menjajah hak asasi lo dengan nyuruh lo pedekate sama abang gue, cuma karena gue kepengin lihat Darren suka sama cewek lagi. Gue egois… udah mengorbankan lo demi menolong Darren…”  “Nggak sedramatis itu kali, Na.” Thalita nyengir. “Gue kan nggak diikat dan dibakar untuk dikorbankan seperti yang lo bilang itu. Gue cuma… entahlah, gue sndiri nggak tau kenapa gue nggak bisa suka sama Darren. Cuma yah… seperti yang gue bilang tadi, perasaan gue belum „kena‟. Nggak tau deh, mungkin saraf otak gue ada yang rusak gara-gara patah hati sama cowok gue dulu.”  Thalita tercenung setelah mengatakan itu. Jangan-jangan yang dibilangnya benar, bahwa ada saraf di otaknya yang rusak karena disakiti Andra, sehingga membuatnya mati rasa pada cowok, bahkan pada yang se-charming Darren sekalipun. Mungkin saraf rusak itu jugalah yang selalu menimbulkan rasa bersalah dalam dirinya setiap kali ia memikirkan ia harus dekat dengan Darren, demi menepati janjinya pada Tatyana.  “Lo memang cewek yang baik banget, Tha… Sayang lo nggak bisa jadi ama abang gue. Padahal gue bakal seneng banget kalau lo bisa jadi kakak ipar gue someday.”  Thalita cengengesan, campuran antara perasaan lega (karena dia sekarang nggak punya janji sama Tatyana yang harus ditepati) dan rasa geli mendengar Tatyana yang membayangkan mereka bakal jadi ipar someday.  Maaf, ya, Na, gue nggak bisa memenuhi permintaan lo. Hati gue masih belum siap untuk menerima cowok baru lagi. Gue masih sayang banget sama Andra.

* * * 
Entah karena Andra panjang umur setelah namanya disebut-sebut Thalita atau apa, tapi dia muncul di SMA Persada Bangsa sore harinya! Thalita benar-benar shock melihat cowok itu, seperti melihat hantu! Dan dia nggak mau repot-repot untuk menanyakan dari mana Andra bisa tau alamat dan jam bubaran sekolahnya sekarang. Mantannya itu kan punya banyak teman di luar sana yang bisa dimintai mencarikan segala informasi dengan bayaran satu-dua linting ganja. Bukan jenis imbalan yang susah, kalau untuk Andra yang punya banyak kenalan bede.  “Ngapain kamu di sini? Aku kan sudah bilang, aku nggak mau ketemu kamu lagi! Pulang sana!” kata Thalita seketus mungkin. Padahal, dalam hati dia kangen banget sama Andra. Perasaan selama setahun jelas nggak bisa dihilangkan cuma dalam dua bulan, kan? Bahkan setelah ada cowok se-charming Darren yang sempat berusaha menyusup di antara mereka. Atau cowok yang coba Tatyana susupkan, tepatnya.  Andra tersenyum lemah, sementara beberapa murid yang berseliweran di dekat mereka menatap heran pada cowok yang sekarang sangat kurus itu. Thalita bergidik ngeri, dia nggak pernah membayangkan dari hari ke hari ternyata Andra semakin kurus. Semua drugs itu sudah menggerogotinya…  “Aku bakal tetap di sini sampai kamu mau dengerin aku.”  Thalita menghela napas. Sebagian dirinya sebenernya nggak tega mengusir cowok itu. Ia ingin punya waktu lebih lama untuk menatap Andra. Ia ingin bisa menahannya tetap di sini…  “Asal kamu janji setelah ini kamu nggak akan datang ke sini lagi, atau nyari aku ke mana pun lagi,” akhirnya Thalita menjawab. Ini jawaban yang cukup adil bagi akal sehat dan gejolak hatinya.  “Tergantung,” jawab Andra sambil tersenyum paksa. “Tergantung jawabanmu.”  “Jawabanku? Rasanya dari tadi kamu belum nanyain apa-apa deh sama aku.”  Thalita menelan ludah dengan susah payah. Dia bener-bener kangen sama Andra, tapi dia juga nggak sanggup kalau harus kembali lagi menjalani hari-hari bareng cowok itu dan mulai melukai dirinya sendiri lagi. Hatinya masih belum sembuh benar. Dan Andra nggak baik untuknya… Thalita teringat cerita Papa tentang anak temannya yang memakai narkoba. Jika masih bergaul dengan Andra, Thalita bisa terjerumus juga. Ia bisa terancam jerat hukum, berisiko tinggi terkena AIDS, dan terlibat pergaulan bebas. Ia juga bisa mati… Mati dengan menderita…  “Aku pengin kita balikan. Tha, kamu mau nggak balik sama aku?”
 Thalita melotot. Kenapa Andra bisa minta hal seperti itu lagi? Padahal waktu mereka ketemu terakhir kalinya, Thalita udah jelas-jelas bilang dia nggak mau balik sama Andra, kecuali cowok itu mau benar-benar melepaskan drugs-nya!  Mungkin… apa mungkin dia sudah lepas dari drugs-nya? Thalita berusaha membangun tumpukan kecil harapan dalam hatinya. Kalau itu benar, Thalita bakal dengan senang hati balik sama Andra. Dia kan masih sayang banget sama cowok itu.  “Andra, dengerin aku, aku… aku…” Thalita nggak tau harus ngomong apa. Dadanya seperti mau meledak saking kacau-balaunya perasaan dalam hatinya sekarang.  “Tha, please… aku masih sayang banget sama kamu. Aku nggak bisa kehilangan kamu…”  Thalita menutup mata, berusaha menahan tetes air mata yang hampir jatuh. Gila, ini kan di sekolah, dia nggak boleh nangis di sini! Tapi omongan Andra barusan… Sumpah, selama dua tahun lebih Thalita mengenal Andra, dia tau mantannya itu bukan cowok yang suka menggombal. Tapi sekarang, Andra sampai bisa bilang seperti itu di depan Thalita, itu pasti bukan hal yang gampang…  “Kamu… kamu sudah bersih?” tanya Thalita takut-takut. Jelas yang Thalita maksud adalah soal drugs-nya.  Andra terpaku, lalu menggeleng kecut. “Kalau kamu bantuin aku, Tha… aku janji…”  Thalita seperti cangkang telur yang dilempar ke atas, melambung tinggi, tapi jatuh kembali ke bumi. Pecah. Hancur berantakan. Kenapa Andra masih nekat kembali, padahal dia tahu syarat utama Thalita belum dia penuhi?  “Sori, Ndra… kalau gitu aku nggak bisa…”  “Kenapa?”  Kenapa? Ya, kenapa? Gue kan masih sayang banget sama dia, dan kalau dia mau berusaha… Thalita membatin pahit. Tuhan, tolong beri aku alasan… Aku nggak sanggup sakit hati lagi…  “Aku… udah punya pacar, Ndra…”  Kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Thalita sebelum sempat benar-benar dipikirkan akibatnya.  “Kamu bohong!” teriak Andra kencang setelah sebelumnya sempat terpaku beberapa detik. Untunglah sekarang sudah nggak ada murid-murid berseliweran di dekat mereka, biarpun Thalita melihat beberapa orang di ujung sana menoleh ingin tahu karena mendengar teriakan Andra.
 “Aku nggak bohong!” balas Thalita ketus. Dia sudah terlanjur basah, nggak bisa mundur lagi. Kalau cuma dengan cara ini Andra mau menjauhinya, berarti dia nggak boleh ragu-ragu.  “Seperti apa orangnya?” tanya Andra pahit.  “Buat apa kamu tanya-tanya? Kamu kan udah bukan siapa-siapaku lagi!” Thalita masih mempertahankan keketusannya. Dia dan Andra jelas nggak punya masa depan lagi, kenapa harus membangun harapan semu?  “Huh, kamu nggak akan nemuin cowok yang lebih baik dari aku, Tha!”  “Siapa bilang? Cowokku yangsekarang jauh lebih baik segalanya dari kamu!”  Andra mendengus, meremehkan. “Dia cuma pelarianmu, kan? Aku tahu, kamu pasti masih sayang sama aku! Tapi gara-gara ortumu, temen-temenmu, dan semua orang bilang aku ini berbahaya, makanya kamu mutusin aku, ya kan?” Andra menatap Thalita tajam. Thalita cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Dari dulu dia nggak pernah bisa membalas kalau Andra menatapnya seperti itu.  “Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu! Memangnya kamu tahu apa tentang cowokku? Kamu nggak tahu apa-apa soal dia! Asal kamu tahu aja ya, aku… aku sudah nggak sayang sama kamu lagi!”  Senyap. Yang terdengar hanya deru kendaraan bermotor di lapangan parkir, dan di jalan besar depan SMA Persada Bangsa.  Setelah mendengar itu, Andra melangkah keluar gerbang sekolah, dan Thalita merosot lemas di halaman parkir sekolahnya. Kalau saja Andra nggak pernah terjerat drugs, mungkin kejadiannya nggak akan seperti ini. Mungkin Thalita nggak perlu punya cerita cinta yang sebegitu ribet di usianya yang belum lagi tujuh belas tahun. 
* * *  
“Gue nggak bisa bilang Thalita salah, Ndra,” kata Darius bingung. Dia sudah putus asa menasihati Andra. Darius salah satu teman Andra yang mantan junkies, tapi sekarang sudah tobat dan bersih total selama enam bulan lebih tinggal di panti rehabilitasi.  “Nah, kalo gitu menurut lo, gue yang salah?”  “Yah… mestinya lo dulu nerima tawaran gue buat rehab. Thalita dulu sampai memohon-mohon juga kan sama lo? Tapi lo nggak mau, berarti itu salah lo sendiri dong!”  Lama-lama Darius sebal juga. Andra ini, dia kan udah jelas-jelas tahu gimana caranya menebus kesalahan, kenapa malah nggak dilakukan sih? Malah dia duduk nelangsa di sini, merengek-rengek kayak cewek. Tinggal masuk rehab, sembuh, dan Thalita bakal mau balik sama dia lagi, apa susahnya?! omel Darius dalam hati.
 “Iya, tapi gue kan udah minta maaf sama Thalita! Gue bahkan udah minta dia balik sama gue!”  “Emangnya lo kira, Thalita butuh permintaan maaf dari lo? Yang dia butuh itu, lo tobat! Percaya sama gue, Ndra, bersih itu rasanya enak banget. Lo nggak punya beban. Orang-orang yang dulu ngejauhin lo mulai mau deket sama lo lagi, lo nggak dianggap penyakit menular lagi, nggak dikucilkan…,” cerita Darius dengan pandangan mata menerawang.  Andra nggak mendengarkan, dia malah mengeluarkan bong dari dalam lemarinya.  “Mau?” tawarnya pada Darius.  Darius berdecak gusar dan menggeleng cepat. “Lo emang nggak bisa dibilangin ya!” serunya marah. “Gue mau pulang!”  Darius keluar dari kamar Andra, bergegas pulang sebelum dia terpaksa jatuh dua kali dalam lubang yang sama. Kalau itu sampai terjadi, perjuangannya selama ini di panti rehab nggak bakal ada artinya. Semua tangis dan kekecewaan ortunya juga bakal sia-sia.  Di dalam kamarnya, Andra memikirkan lagi semua ucapan Thalita. Senyum Thalita, permohonan-permohonannya supaya Andra mau masuk rehab, caranya tertawa, setiap kejadian waktu mereka jalan bareng, dan tiap tetes air mata cewek itu yang harus tumpah gara-gara Andra.  Tapi tubuhnya tak bisa melawan. Setiap pembuluh darahnya menuntut, dan dia menyerah. Bubuk-bubuk putih itu mulai merasuki tubuhnya tanpa kendali… 
* * * 
Thalita masuk ke kamar dan menjatuhkan diri di ranjang. Sepanjang perjalanan pulang tadi dia nggak bisa berhenti menangis, sampai pandangannya kabur dan berkali-kali dia nyaris menabrak mobil di depannya, atau keluar dari jalur jalan yang seharusnya. Beberapa kali juga dia diklakson habis-habisan oleh mobil-mobil di belakangnya yang emosi karena mobil Thalita nggak juga jalan walaupun traffic light sudah berubah dari merah menjadi hijau. Bagaimana caranya dia bisa sampai di rumah dengan jiwa masih dalam raganya, Thalita sendiri nggak tahu. Kalau orang melihat caranya menyetir tadi, dia seharusnya nggak selamat.  Kenapa sih, pikir Thalita, kenapa gue nggak mati aja tadi di jalan? Kalau gue mati, gue nggak perlu sakit hati mikirin ini semua… Kenapa juga Andra harus datang lagi? Apa nggak cukup dia nyakitin hati gue? Gue masih sayang banget sama dia, tapi gue nggak mau ambil risiko dengan balikan. Hubungan kami pasti bakal suram, dan dia pasti bakal nyakitin gue seperti dulu lagi…
 Tangis Thalita semakin membanjir karena ingat wajah pucat Andra begitu Thalita bilang dia sudah punya pacar lagi. Mantannya itu kelihatan… entahlah, seperti kehilangan semangat hidup, padahal Thalita kan bohong. Dia belum punya pacar lagi, bahkan gebetan pun nggak punya. Hatinya sudah terlalu banyak dipenuhi nama Andra, tak ada ruang lagi untuk nama lain. Bagaimana mungkin dia bisa punya pacar lagi?  Dan tiba-tiba Thalita terpikir sesuatu yang tadi sama sekali nggak dipikirkannya. Bagaimana kalau Andra sakit hati karena Thalita udah punya pacar baru, dan dia… berbuat sesuatu yang bodoh?  Ah, nggak mungkin, pikir Thalita getir. Andra bukan orang kayak gitu…  Dan mungkin Thalita seharusnya melakukan ini sejak dulu, karena Andra toh lebih sayang drugs-nya daripada Thalita. Bukankah seharusnya sekarang dia bersyukur karena bisa benar-benar lepas dari cowok itu?  Thalita menyusut air matanya. Dia nggak boleh begini terus. Dia sudah melepaskan diri dari Andra, dan sekarang dia HARUS melepaskan diri dari bayang-bayang cowok itu juga. 
 And when you slammed the front door shut  A lot of others opened up  So did my eyes so I could see  That you never were the best for me 
 Well, I never saw it coming  I should‟ve started running  A long, long time ago 
 And I never thought I‟d doubt you  I‟m better off without you  More than you, more than you know    I‟m slowly getting closure  i guess it‟s really over  I‟m finally getting better 
 And now I‟m picking up the pieces  I‟m spending all of these years  Putting my heart back together 
 „Come the day I thought I‟d never get through,  I got over you  (Over You – DAUGHTRY)                                  
  
 LIMA   
“Dimakan dong makanannya, Ndra.”  Andra mengaduk-aduk makanan dalam piring yang ada di hadapannya dengan nggak bersemangat. “Kenyang, Pa…”  “Lho, dari tadi kamu kan belum makan apa-apa?” tegur Tante Retno lembut. Entah kenapa wanita ini, meskipun Andra selalu menjahatinya, dia malah menyayangi Andra seperti anaknya sendiri.  Andra melirik wanita itu dengan galak, membuat Tante Retno jadi bungkam dan nggak berani ngomong apa-apa lagi.  Weekend ini Andra memang diminta Papa menginap di rumah beliau yang baru. Sebenarnya Andra nggak mau, apa lagi alasannya kalau bukan karena di sana ada Tante Retno dan Ayu, dua manusia yang paling dibencinya di muka bumi ini. Tapi entah kenapa Papa memaksa, bikin Andra jadi bingung sendiri.  Memangnya Papa nggak takut kalau selama gue nginep di sana, gue bakal memengaruhi Rio buat nyicipin narkoba? pikir Andra jengah. Yah, memang sih Andra amat sangat nggak mungkin melakukan itu, soalnya dia kan sayang banget sama Rio. Gila aja kalau dia sampai tega mencekoki adiknya sendiri dengan narkoba.  Kalau Ayu… Well, sebenarnya pikiran Andra untuk mencekoki Ayu narkoba itu ingin juga dicobanya. Hitung-hitung membalaskan kekesalannya karena Ayu dan ibunya berani merangsek masuk dalam kehidupan keluarga Andra.  “Ayu mana?” tanya Papa ke Tante Retno, berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik lain karena menyadari suasana dingin yang menyergap setelah Andra menatap Tante Retno penuh kebencian. Itu juga membuyarkan lamunan jahat Andra tentang niatnya berusaha mencekoki Ayu dengan narkoba.  “Tadi sih di atas, Mas. Katanya sih tadi sore udah makan waktu main di rumah temannya. Apa mau saya panggilkan?”  “Nggak usah, mungkin dia memang sudah kenyang.”  “Biar Andra yang panggil, Pa,” kata Andra menawarkan diri. Mungkin sehabis memanggil Ayu nanti dia bisa langsung menyelinap ke kamarnya dan nggak perlu ikut makan malam lagi. Dia sudah muak sama Tante Retno dan semua kepalsuannya!
 Atau mungkin dia bisa mulai mengiming-imingi Ayu dengan narkoba juga? Hmm…  “Tapi, Ndra…,” Tante Retno berusaha mencegah. Dia tahu Andra benci sekali padanya dan Ayu. Aneh kalau sekarang Andra mau memanggilkan Ayu, kalau dia memang nggak punya maksud tersembunyi.  “Nggak apa-apa, Tante. Tante di sini aja, nikmati makanannya, dan semua yang sudah Tante curi dari keluarga saya!” kata Andra ketus, lalu segera berjalan cepat menuju tangga.  Hampir saja Papa menyusul untuk memarahi Andra, tapi ditahan oleh Tante Retno. 
* * * 
“Bah, lo masih make rupanya?” tanya Agus kasar.  Andra menatap laki-laki berewokan di depannya itu dengan tatapan kosong. “Ada stok nggak, Bang?”  “Lo ada duitnya berapa?”  Andra menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan, uang jajannya untuk bulan itu.  “Yakin nih, cuma segini?” tanya Agus meremehkan.  “Ya adanya cuma itu, gimana dong?”  “Babe lo kan tajir, Ndra!”  Andra mendengus. “Babe, Babe… kalo Papa tahu gue minta duit untuk nyabu, gue bakal langsung dijeblosin ke tempat rehab! Bisa gila gue di sana!”  Agus tertawa ngakak. “Lha, temen lo itu, siapa namanya? Itu… yang udah tobat itu?!” tanya Agus sambil berusaha mengingat-ingat.  “Darius, Bos!” sahut Bejo, salah satu anak buah Agus.  “Ah, ya! Darius! Nama aja macho, tapi kelakuan bencong! Dia udah keluar dari panti rehab belon?”  “Udah. Udah tobat,” sahut Andra.  “Dia nggak gila, kan?”  Andra menggeleng.  “Berarti panti rehab itu kagak bikin orang jadi gila, Ndra! Bego lo!” Agus ngakak semakin keras.  Andra menuang isi bir yang ada di atas meja ke dalam salah satu gelas dan menghabiskannya sekali tenggak.
 “Udah deh, Bang! Hari ini gue nggak punya banyak waktu. Gue nginep di rumah Papa sampai besok. Kalo hari ini gue pulang telat, Papa pasti curiga. Jadi mending cepetan kasih barangnya deh!”  “Wah… takut lo sama babe lo?” tanya Agus geli.  Andra nggak menjawab pertanyaan itu.  “Terus, kabar cewek lo gimana? Yang katanya ngebujuk lo biar bisa berhenti make itu?”  Andra menenggak bir lagi, kali ini langsung dari botolnya. “Gue udah putus sama dia.”  “Nah, akhirnya lo berani juga mutusin cewek tukang ngatur macem dia!” puji Agus senang. Dia memang sebal banget sama mantan cewek Andra yang tukang ngatur itu. Gara-gara cewek itu, Andra jadi jarang beli barang. Pemasukan Agus kan jadi berkurang!  “Orang gue yang diputusin!” gerutu Andra keki.  Agus melotot. “Hah? Dasar tolol lo! Kenapa lo kagak mutusin dia duluan, hah?”  “Gue tuh sayang sama dia, Bang. Kalo bukan karena badan gue nagih sabu terus, gue pasti udah nurutin kata-kata cewek gue itu!” protes Andra kesal.  “Mantan cewek lo, tau! Bukan cewek lo lagi!”  “Terserah deh!” Andra mengusap bir yang menetes di dagunya dengan punggung tangan. “Mana barangnya?”  “Bejo, ambilin barang buat Andra!” perintah Agus.  Bejo keluar dari ruangan itu, dan sesaat kemudian datang kembali sambil membawa beberapa paket ukuran medium yang diserahkannya ke Agus, tapi dengan ekspresi menahan tawa yang teramat sangat.  Andra mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Agus, tapi ternyata tampang Agus nggak jauh beda. Andra memperhatikan wajah para bodyguard lain di ruangan itu, dan ekspresi mereka semua juga setali tiga uang.  “Abang ngetawain apa sih?” tanya Andra penasaran.  “Ya ngetawain lo! Ngetawain apa lagi?! Hahaha…”  “Kenapa gue diketawain? Tampang gue ada yang aneh?”  “Bukan tampang lo, tapi nasib lo! Kesian amat lo ditinggal cewek cuma gara-gara barang ini!” Agus melemparkan paket-paket yang tadi diambilkan Bejo ke arah Andra dan tawanya meledak. Begitu juga semua bodyguard di ruangan itu. Yang tadinya cuma mesem-mesem, sekarang udah ngakak abis-abisan. Andra berusaha cuek dan keluar dari ruangan itu dengan tampang biasa, tapi hatinya perih.
 Sungguh, kalau dia sanggup, dia kepengin banget meninggalkan semua ini dan kembali pada Thalita, tapi dia nggak bisa. Tubuhnya menderita jika tak menghirup semua bubuk putih itu. Sakitnya tak tertahankan. 
* * * 
Thalita menutup presentasi makalahnya dengan senyum mengembang. Semua pertanyaan dari Pak Lukas, atau dari teman-teman di kelas pelajaran Agama itu bisa dijawabnya dengan jawaban yang tepat. Darren yang partner sekelompoknya juga tersenyum puas. Jawaban-jawaban yang diberikannya nggak kalah bagus. Dia menguasai banget materi untuk presentasi kali ini, dan Thalita jadi kagum sama cowok itu.  Thalita memang sudah nggak terbeban lagi untuk menepati janjinya pada Tatyana, karena janji itu sudah di-cancel. Dan entah kenapa, setelah itu dia malah merasa jadi lebih enjoy berada di dekat Darren. Rasanya semua tekanan yang mengimpitnya selama ini udah hilang, dan dia jadi nggak harus melakukan “manuver-manuver” untuk pedekate sama Darren cuma karena terbeban janjinya pada Tatyana itu.  Sepertinya semua jadi terasa lebih mudah sekarang, termasuk kerja sama dalam makalah itu dengan Darren. Dan Thalita baru sadar, setelah semua perasaan terbebannya itu hilang, ngobrol-ngobrol sama Darren ternyata bener-bener fun. Cowok itu enak diajak ngobrol apa aja, terutama soal sepak bola. Tiap Senin pagi, mereka berdua pasti udah heboh membahas pertandingan sepak bola liga-liga top Eropa weekend sebelumnya. Kadang-kadang debat kusir kalau tim jagoan mereka bukan tim yang sama. Singkatnya, pembatalan “perjanjian” itu malah membuat Thalita bisa akrab dengan Darren, dan kali ini akrab yang bener-bener akrab, bukan karena terpaksa.  Padahal nih, gara-gara melihat idola mereka bisa segitu gampangnya akrab sama cewek “biasa-biasa aja” macam Thalita (apalagi saat ngobrolin sepak bola), separuh cewek SMA Persada Bangsa jadi rela begadang dan terkantuk-kantuk di depan TV tiap Sabtu dan Minggu subuh, nonton pertandingan sepak bola yang sama sekali nggak mereka mengerti. Dan itu cuma supaya mereka bisa sok nyinggung-nyinggung tentang bola juga di depan Darren hari Senin-nya!  Darren lempeng aja menghadapi semua tingkah gila cewek-cewek itu, karena dia tahu mereka itu sebenarnya nggak ngerti bola, dan melakukan hal gila macam itu cuma untuk menarik perhatiannya. Cuma, Darren agak surprised juga karena nggak nyangka dia bisa membuat segitu banyak cewek rela punya “mata panda” di hari Senin pagi akibat mantengin bola subuh harinya. Kok bisa ya? pikir Darren heran.
 Tapi gimanapun akrabnya Thalita sama Darren, masih ada serangan rasa bersalah yang menghampiri Thalita jika sedang terlibat obrolan yang menyenangkan dengan cowok itu. Seperti ada sosok Andra yang hadir tiba-tiba, memaksa Thalita untuk nggak melupakannya. Dan setiap kali itu terjadi, Thalita bisa merasakan ia langsung menarik diri dari obrolannya dengan Darren. Entah dengan cara memutus pembicaraan dengan segala macam alasan, atau jadi menjawab seadanya jika ditanya. Pagar pembatas bernama Andra itu terlalu kuat mengelilinginya.  “Nah, Darren, Thalita, kalian boleh duduk,” kata Pak Lukas sambil bertepuk tangan. Presentasi mereka memang dapat giliran paling akhir, dan sekarang sudah hampir waktunya bel pulang.  Darren dan Thalita berjalan ke bangku masing-masing. Tatyana sempat mengedip pada Thalita sebelum cewek itu duduk, yang dibalas Thalita dengan cengiran nggak jelas. Presentasi kelompok Tatyana dan Sugeng tadi diwarnai oleh tatapan mupeng cowok-cowok saat giliran Tatyana, dan tatapan terpesona cewek-cewek saat giliran Sugeng. (Dalam hal ini cewek-cewek itu ya cuma Nita, karena Tatyana ada di depan kelas, Thalita nggak lagi tertarik sama cowok, dan Verina sibuk sendiri sama pacarnya.)  “Nilai presentasi dan makalah kalian semua akan Bapak umumkan minggu depan,” Pak Lukas mengumumkan. “Secara keseluruhan, kerja kalian sudah bagus sekali, dan ternyata cukup kompak biarpun ada kelompok yang kelasnya berbeda. Yah, mungkin ke depannya Bapak bakal memberikan banyak tugas kelompok begini.”  Bel pulang berdentang, memutus pidato Pak Lukas.  “Nah, kita sambung minggu depan, ya.” Pak Lukas rupanya cukup tau diri untuk nggak meneruskan pidatonya. Lagi pula, dia nggak segitu butanya sampai nggak bisa melihat beberapa muridnya yang sudah berdiri sambil menenteng tas masing-masing. Yang ada dia bakal dicaci maki kalau masih terus nekat meneruskan pidatonya.  “Hei, makasih ya!”  Darren tiba-tiba sudah berdiri di depan meja Thalita, membuat Thalita yang lagi sibuk membereskan barang-barangnya mendongak sesaat.  “Buat apa?”  “Ya karena lo udah bikin susunan makalah yang bagus banget. Gue seneng dapat partner kayak lo.” Darren tersenyum lebar, sementara Thalita melihat seisi kelas yang ternyata hanya tinggal mereka berdua. Rupanya yang lain-lain sudah pada cabut duluan.  “Oh… itu juga kan karena lo bisa dapetin bahan makalah yang bagus. Kalau nggak ya gue nggak bisa bikin makalah yang oke juga. Harusnya gue yang bilang thanks  ke lo…”  “Hmm… gue punya ide nih, itu juga kalau lo nggak keberatan sih…”
 “Apa dulu?”  “Gue pengin nraktir lo. Yah… ngopi, ngeteh, atau nongkrong gitu. Anggap aja buat ngerayain kerja sama pertama kita yang sukses, gimana?”  Thalita terpana. Dia memang akrab sama Darren akhir-akhir ini, tapi tetap dalam batas teman ngobrol aja, itu juga cuma di sekolah. Tapi sekarang… kok Darren ngajak kencan?  “Jangan tersinggung atau apa, Tha, tapi gue bener-bener cuma pengin nraktir lo terus ngobrol-ngobrol gitu aja. Tadi pagi kita belum selesai ngebahas Roma lawan Inter Milan semalam, kan? Lebih enak ngobrol di kafe, lagi, daripada di sekolah…”  Thalita tercenung. Rasa bersalah yang sangat dikenalnya, yang selalu muncul jika ia dekat dengan Darren, sedang menikamnya lagi. Bayangan Andra yang mungkin sedang berjuang melawan narkobanya (walaupun kemungkinan itu sangat kecil, mengingat pengakuan Andra saat terakhir Thalita bertemu dengannya), sementara Thalita enak-enakan hang-out sama Darren, menghantamnya begitu hebat.  “Wah, kayaknya lo keberatan, ya? Ya udah nggak papa. Sori gue udah bikin lo bingung. See you tomorrow.” Darren beranjak dari tempatnya berdiri.  “Eh… tunggu!” panggil Thalita. Mendadak, kali ini saja, ia ingin mengabaikan bayangan Andra dalam benaknya. Sekali ini saja ia ingin bebas dari serangan rasa bersalah itu. Dia kan bukannya mau kencan sama Darren, tapi cuma mau ngobrol- ngobrol aja. Lagi pula benar kata Darren, debat kusir mereka tadi pagi soal Roma vs. Inter Milan belum selesai! “See you tonight deh. Coffee Bean PIM, seven o‟clock, gimana?”  Alis Darren terangkat, sebelum akhirnya dia nyengir lebar. “Sounds great.” 
* * * 
Thalita pucat pasi. Gelas Jasmine Milk Tea yang ada dalam genggamannya nyaris meluncur turun ke lantai Coffee Bean, kalau aja nggak ditahan Darren.  “Lo kenapa, Tha?” tanya Darren cemas.  “Gue… ada mantan gue…” Thalita menunduk, bulu kuduknya berdiri, dan dia sama sekali nggak berani menatap ke arah Andra dan Darius yang baru saja melangkah memasuki Coffee Bean. Thalita juga nggak tau apa cowok itu udah melihatnya ada di sini.  “Mantan lo? Mantan lo yang mana…?” Darren mengedarkan pandangannya ke seluruh Coffee Bean, dan entah kenapa bisa dengan tepat menebak sosok Andra. “Cowok pakai kaus putih yang baru masuk itu?”  Thalita mengangguk, gemetar. “Kita… kita pergi aja dari sini, ya?”  “Oke.”
 Darren berdiri dan menggamit tangan Thalita, yang dengan panik melirik ke arah tempat Andra duduk. Cowok itu kelihatannya lagi sibuk ngobrol sama Darius. Mungkin Thalita dan Darren bisa keluar dari situ tanpa sepengetahuan Andra…  Semakin dekat ke sofa Andra duduk, Thalita semakin mempercepat langkahnya. Kenapa dari sekian banyak tempat dan waktu, dia bisa ketemu sama Andra di sini? Kenapa?  Beberapa langkah lagi sudah pintu keluar, Thalita menunduk semakin dalam. Kalau saja dia bisa mengubah wajahnya jadi wajah orang lain walau cuma beberapa detik…  “Thalita?”  Suara itu seperti ribuan jarum yang menusuk punggungnya. Andra ternyata masih bisa mengenalinya, bahkan walaupun Thalita sudah menunduk sampai-sampai nggak bisa melihat jalan di depannya.  “Mmm… hai, Ndra,” sapa Thalita, mengerling Andra sedikit. Cowok itu kelihatan seperti baru ditonjok jatuh.  “Hai! Thalita! Apa kabar?” sapa Darius yang baru menyadari siapa yang disapa Andra.  Thalita bengong sesaat melihat Darius. Cowok itu kelihatan beda banget dengan yang terakhir Thalita lihat. Darius agak gemuk sekarang, dan sepertinya penuh semangat hidup, beda sekali dengan Andra yang berdiri di sebelahnya. Andra tambah kurus, matanya cekung, dan tulang pipinya menonjol. Thalita nggak bisa menahan diri untuk nggak melirik lipatan siku Andra. Masih banyak bekas suntikan di sana. Ia bergidik ngeri.  “Hai, Dar,” sapa Thalita seadanya. “Long time no see…”  “Siapa dia?” tanya Andra tanpa basa-basi. Tatapannya tertuju pada tangan Darren yang menggenggam tangan Thalita penuh perlindungan.  “Ini…” Thalita terbata, tapi nggak menarik lepas tangannya. Genggaman Darren terasa aman, dan dia takut kalau-kalau dia bakal jatuh lemas seandainya dia berdiri di hadapan Andra tanpa menggenggam tangan Darren. “Ini… ini Darren, pacar gue.”  Andra benar-benar kelihatan seperti orang yang baru divonis hukuman mati. Sementara Darren menoleh ke arah Thalita dengan tatapan bingung, tapi pada detik berikutnya dia kelihatan mengerti drama apa yang sedang dimainkan Thalita.  Thalita merasa berdiri di tepi tebing, siap menerjunkan diri ke jurang yang terhampar di hadapannya. Apa yang baru saja ia katakan? Kenapa kata-kata itu terucap begitu saja? Apa itu dorongan emosinya, yang merasa marah karena melihat kondisi Andra masih sama parahnya seperti ketika mereka putus? Apakah itu pengaruh rasa kecewanya, karena ia sama sekali tak melihat ada usaha yang dilakukan Andra untuk
bisa melepaskan diri dari drugs? Ya, ia marah dan kecewa, dan kali ini ia ingin Andra merasakan hal yang sama. Biar dia tahu bagaimana rasanya!  “Ren, kenalin, ini Andra. Ndra, ini Darren,” kata Thalita, berusaha menekan intonasi suaranya sedatar mungkin.  Darren mengulurkan tangannya untuk bersalaman, tapi Andra tetep diam, sampai akhirnya Darren menarik tangannya lagi. Thalita tercekat, Darius juga.  “Maafin aku, Tha… Maafin aku…”  Dan Andra berlalu pergi dari situ, meninggalkan Thalita, Darius, dan Darren yang terlongong tanpa tahu harus berbuat apa. 
* * * 
“Maaf ya,” kata Thalita pada Darren dalam perjalanan menuju parkir basement PIM2. Setelah kejadian tadi, Thalita memutuskan untuk langsung pulang. Dia sama sekali nggak berselera untuk jalan-jalan atau mencari tempat nongkrong lain. “Gue jadi terpaksa mengaku-aku lo pacar gue…”  “Nggak papa. Gue cuma kaget kok tadi…”  Thalita mendongak menatap Darren, merasa sangat berterima kasih. Cowok ini benar-benar baik, bahkan dia nggak keberatan pura-pura jadi pacar Thalita, biarpun selama ini Thalita merasa komitmennya untuk jaga jarak dari Darren sering membuat cowok itu tersinggung.  Entah kenapa, tiba-tiba Thalita merasa dia harus cerita ke seseorang tentang perasaannya yang kacau-balau pada Andra. Dia nggak akan bisa memendam semua ini sendiri lagi. Dia butuh tempat untuk berbagi.  “Mantan gue yang tadi itu, namanya Andra. Gue putus sama dia karena gue nggak tahan terus-terusan melihat dia jadi junkies…,” jelas Thalita lirih.  Alis Darren terangkat sedikit. Selain itu, dia sama sekali nggak menunjukkan tanda- tanda kekagetan lainnya.  “Gue udah berkali-kali memohon sama dia supaya dia berhenti ngobat, tapi dia cuma janji mulu, nggak pernah menepati janjinya itu. Jadi waktu kenaikan kelas kemarin, gue mengambil keputusan, gue harus putus dari dia. Gue nggak tahan… Selain itu, ortu gue juga melarang gue dekat sama Andra lagi…”  Air mata Thalita menitik, dan dia cepat-cepat mengusapnya. Sungguh memalukan, di depan cowok seganteng Darren, dia malah menangis. Cengeng!  “Andra berulang kali minta balik sama gue, tapi gue tau gue nggak akan sanggup disakiti sekali lagi. Gue beberapa kali nolak dia, tapi dia kekeuh. Sampai akhirnya terakhir kali dia minta balik, gue bilang ke dia gue udah punya pacar baru, dan nggak
mungkin balik sama dia lagi… Itu alasan gue aja, karena gue mikir kalau Andra tahu gue udah punya gandengan, dia nggak akan minta gue balik sama dia lagi. Dia kelihatan marah banget waktu itu… Dan tadi waktu kami ketemu lagi, kebetulan gue lagi sama lo… Gue marah, kecewa karena gue lihat kondisi dia belum berubah. Gue tau pasti, dia masih ngobat, dan gue kepingin supaya sekali ini aja, dia bisa merasakan kekecewaan seperti yang gue rasakan. Gue nggak tau kenapa gue bisa ngomong sengaco itu, tanpa bilang-bilang ke lo sebelumnya… It was just… I don‟t know… sepertinya perkataan itu meluncur gitu aja dari bibir gue, tanpa bisa gue kendalikan…”  “It‟s okay, Tha. Kita juga nggak tahu bakalan ketemu sama mantan lo itu di sini, kan?”  Thalita mengangguk. “Tapi tetep aja gue ngerasa nggak enak sama lo… Lo harus berada di situasi yang nggak nyaman gara-gara gue… Apalagi sekarang, lo harus menampung curhat gue juga…”  Langkah Darren terhenti, dan dia menatap Thalita lembut. “Gue sama sekali nggak nyalahin lo kok. Dan kalau lo mau tahu, gue justru ngerasa tersanjung banget karena lo ternyata percaya sama gue untuk tahu tentang masa lalu lo dan Andra. Nggak setiap orang bakal lo ceritain tentang masa lalu lo, kan?”  “Iya. Makasih ya, Ren… Dan kalau gue bisa minta satu hal lagi, tolong jangan cerita soal kejadian hari ini ke siapa-siapa, termasuk ke Tatyana…”  Darren mengangguk. “You have my word.” 
* * * 
Andra memacu motornya dengan kencang sepanjang perjalanan pulang. Perasaannya benar-benar campur aduk nggak keruan. Thalita ternyata nggak bohong, dia sudah punya pacar baru.  Dan pacar baru Thalita itu, sewaktu Andra melihatnya tadi, ia merasakan pukulan yang sangat dahsyat di dadanya. Cowok itu… sempurna untuk Thalita. Sehat, tegap, dan mampu melindunginya. Benar-benar sosok yang akan dibutuhkan Thalita saat ini, jika dibandingkan dengan Andra yang sekarang ringkih digerogoti narkoba. Andra yang mungkin tak punya masa depan lagi.  Meski sakit, Andra mengakui dalam hati, cowok itu lebih pantas bagi Thalita daripada dirinya. Tapi rasa sakit yang menyerbunya sekarang begitu kejam. Ia masih sayang Thalita, sebaik apa pun cowok Thalita sekarangia tetap tak bisa merelakannya.  Andra berhasil sampai di rumah, dan memarkir motornya sembarangan saja di carport. Ia bergegas masuk ke kamarnya, mencari-cari barang yang baru dibelinya dari Agus.
 Kali ini dia benar-benar membutuhkan barang itu, lebih dari yang sebelum- sebelumnya. 
* * * 
Santi berdiri di depan pintu rumahnya dengan perasaan galau. Jam segini Mama belum pulang juga, dan entah kenapa Santi jadi khawatir. Padahal ini bukan pertama kalinya Mama pulang larut malam. Malah, sering Mama pulang dalam keadaan mabuk, dan diantar orang-orang yang nggak Santi kenal. Hanya kali ini Santi benar-benar cemas. Bukan cuma karena Mama belum pulang, tapi juga karena sejak kemarin malam Andra belum juga keluar dari kamarnya. Santi terakhir kali melihat Andra masuk ke kamar kemarin malam, dengan ekspresi wajah yang aneh, seperti gusar, tapi bercampur sedih yang mendalam.  Santi nggak berani masuk ke kamar Andra, tapi dia juga khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang buruk sama kakaknya itu. Itulah kenapa sekarang Santi memutuskan untuk menunggu Mama pulang. Mungkin nanti Mama bisa memanggil Andra keluar dari kamarnya.  Baru dua jam kemudian sebuah sedan mewah yang entah milik siapa berhenti di depan rumah, dan Mama keluar dari dalamnya sambil terhuyung. Santi cepat-cepat membukakan pintu untuk Mama.  “Ma…,” Santi berusaha memulai pembicaraan setelah Mama masuk ke rumah. Kayaknya pembicaraan ini bakal susah, karena Mama sudah dalam kondisi setengah sadar. Siapa yang bisa diajak bicara kalau sudah dalam kondisi teler begitu?  “Hmm…,” gumam Mama nggak jelas. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang keras.  “Kak Andra… udah seharian ini nggak keluar dari kamarnya…”  “So?”  “Aku… aku jadi khawatir…”  Mama mengibaskan tangannya. “Ah, nggak usah sok khawatir kamu. Dia kan udah biasa kayak gitu, hoaaahhhmmmm…” Mama menguap.  “Iya, tapi kali ini aneh banget, Ma. Kak Andra bahkan nggak keluar untuk mandi atau makan. Itu kan aneh banget! Aku cuma takut Kak Andra kenapa-napa…”  “Udahlah, Santi, kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh! Kamu tuh kebanyakan nonton sinetron! Kakakmu nggak kenapa-kenapa! Dan apa kamu yakin Andra ada di rumah? Bisa aja dia keluyuran nggak jelas sama teman-teman brengseknya itu dan nggak pulang!” Mama yang teler jadi senewen, dan mulai mengomeli Santi.
 “Tapi kemarin aku lihat kok waktu Kak Andra pulang. Aku tahu pasti Kak Andra nggak keluar-keluar lagi setelah itu. Udah gitu, waktu Kak Andra pulang, mukanya suntuk banget…”  “Suntuk gimana?”  “Yah, Kak Andra kayak kacau gitu. Aku takut, Ma…,” Santi makin gelisah.  “Santi, cukup! Mama capek, mau tidur! Jangan ganggu Mama lagi, oke?” Mama memutuskan untuk menyudahi pembicaraan, dan tanpa babibu lagi masuk ke kamarnya.  Santi menghela napas. Dari ruang makan tempatnya berdiri sekarang, Santi bisa melihat pintu kamar Andra yang tertutup rapat. Entah sedang apa kakaknya di dalam situ. Semoga Mama benar, Andra nggak kenapa-kenapa, dan perasaan cemas Santi cuma karena dia kebanyakan nonton sinetron. 
* * * 
“Tha… aku udah sembuh. Kamu lihat, aku sekarang bukan junkies lagi! Aku bersih!”  Thalita melongo melihat Andra yang ada di hadapannya sekarang. Cowok itu kelihatan seperti Darius, yang sehat dan dan punya semangat hidup. Nggak ada lagi mata cekung, tubuh kurus, atau bekas-bekas suntikan di lipatan sikunya. Air mata Thalita menetes perlahan. Ini Andra yang dulu dia sayangi, Andra yang beberapa bulan belakangan ini dia rindukan setengah mati. Andra yang dulu…  “Kamu? Kamu beneran sembuh, Ndra? Kamu mau nurutin omonganku buat ikut rehab?” tanya Thalita nggak percaya.  Andra mengangguk riang. “Iya, aku sembuh buat kamu, Tha!”  Thalita serasa bisa terbang saking girangnya. “Kamu janji nggak bakal pakai drugs lagi, Ndra?”  “Nggak bakal. Never again!” Andra mengacungkan jarinya yang membentuk huruf V pada Thalita. “Janji deh!”  “Janji nggak bakal ninggalin aku lagi?” tanya Thalita senang. Dia bisa balik sama Andra sekarang. Bisa menjalani masa-masa yang indah seperti di awal mereka pacaran dulu. Nggak akan ada lagi penghalang! Semua drugs itu sudah pergi…  Tapi tubuh Thalita lemas mendadak waktu dia melihat Andra menggeleng.  “Sori, Tha, tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa bareng kamu lagi. Aku harus pergi… Maafin aku…”  Andra berbalik menghadap pintu gerbang rumah Thalita yang mendadak berubah jadi lorong hitam panjang yang entah di mana ujungnya.
 “Nggak bisa? Apa maksudmu nggak bisa? Tapi, Ndra… kamu kan udah sembuh! Kenapa kamu mau ninggalin aku? Aku sayang banget sama kamu! Sekarang kita bisa balikan lagi!”  “Aku juga sayang sama kamu, Tha! Tapi…” Andra nggak meneruskan kalimatnya, dan tiba-tiba Thalita serasa ditarik dari mulut lorong gelap itu dan dijatuhkan di atas tempat tidurnya.  Mimpi.  Thalita mengucek matanya, dan melihat jam dinding. Setengah empat subuh. Dadanya sesak akibat mimpi tadi. Harusnya Thalita tau, Andra nggak akan mungkin meninggalkan drugs-nya, walaupun demi Thalita.  Terdengar suara HP berbunyi, dan tangan Thalita menggapai-gapai ke nakas di samping ranjangnya. Dia terheran-heran menatap nama incoming call yang tertera di LCD HP-nya.  Darius calling…  Kenapa Darius meneleponnya subuh-subuh begini?  “Thalita? Ini Darius. Sori, gue harus gangguin lo subuh-subuh gini…”  “Eh… lo, Dar. Ada apa?”  “Ini… ini soal Andra…”  Perasaan Thalita langsung nggak enak. Soal Andra? Dan Darius sampai harus meneleponnya subuh-subuh begini karena itu? Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi…  “Andra… Andra… nggak papa, kan?” tanya Thalita ketakutan. Dia nggak bisa membayangkan sesuatu yang buruk terjadi.  “Maaf, Tha… tapi Andra… Andra udah nggak ada… Dia OD….”             
  
ENAM   
Thalita berdiri lemas di samping makam Andra yang baru saja ditutup. Dia sudah nggak bisa meneteskan air mata lagi. Air matanya sudah terkuras habis sejak dia mengetahui Andra meninggal.  Ternyata Andra sudah dua hari meninggal sewaktu jenazahnya ditemukan di kamar. Itu pun karena Santi, yang khawatir karena kakaknya nggak keluar-keluar juga dari kamar, akhirnya menelepon Darius di tengah malam dan meminta cowok itu datang. Darius datang lalu mendobrak pintu kamar Andra karena temannya itu nggak kunjung menyahut walaupun dipanggil berkali-kali. Waktu pintu itu berhasil didobrak, mereka mendapati Andra tergeletak di atas ranjang dengan tangan dan kepala menjuntai ke bawah. Di sampingnya banyak sekali plastik kosong bekas wadah sabu- sabu, juga bong dan jarum suntik. Santi yang histeris langsung pingsan. Terpaksa Darius yang mengurus semuanya, mulai dari menelepon ambulans dan polisi, karena mama Andra terlalu mabuk di kamarnya untuk mengurus itu semua.  Polisi datang kurang dari sepuluh menit kemudian, disusul ambulans yang sirene membuat penduduk yang tinggal sekompleks dengan rumah Andra terbangun. Dari hasil autopsi, Andra diketahui overdosis zat adiktif atau narkoba. Darius yang mendengar hasil autopsi itu cuma bisa menghela napas. Dia nggak pernah menyangka sahabatnya akan berakhir seperti ini. Tapi Darius sadar semua ini adalah kenyataan yang nggak bisa diubah. Dia memutuskan untuk menghubungi papa Andra, juga Thalita, dan beberapa teman dekat mereka.  Selama satu hari jenazah Andra disemayamkan, dan sepanjang itu mamanya terus menjerit memanggil-manggil anak yang selama hidup diabaikannya itu. Santi menangis di bahu papanya, sementara Tante Retno dan Ayu berulang kali meneteskan air mata. Beberapa tetangga datang melayat, tapi tak banyak karena Andra memang kurang disukai tetangga-tetangganya, yang tahu dia tergolong anak berandalan. Yang datang juga sebagian besar ibu-ibu kompleks yang iba pada Santi, dan ingin mengetahui keadaan anak itu. Teman Andra hanya segelintir yang datang, karena sejak Andra menjadi junkies, jumlah temannya juga meluntur sedikit demi sedikit.  Dulu, Andra nggak pernah tau bahwa drugs akan membuat kehidupan sosialnya begitu berantakan. Membuat orang-orang yang dulu menyukainya meninggalkannya
satu demi satu. Tapi inilah kenyataannya sekarang, dan sudah terlambat bagi Andra untuk memperbaikinya lagi.  Setelah selesai disemayamkan, papa Andra memutuskan untuk segera memakamkan anaknya. Semuanya disiapkan dengan serba-cepat dalam kegalauan. Diadakan kebaktian yang sangat singkat di taman pemakaman, sebelum peti jenazah Andra diturunkan ke liang lahat.  Kenapa, Ndra? Kenapa? batin Thalita miris, sambil masih berdiri di sisi makam Andra. Dari dulu gue selalu takut hari ini datang… Hari saat lo pergi dan nggak bisa kembali lagi… Hari di mana gue tau bahwa gue nggak bisa menyelamatkan lo dari obat-obat itu lagi…  Seseorang menepuk bahu Thalita lembut, dan cewek itu menoleh. Jennie berdiri di belakang Thalita dengan tatapan iba.  “Adik lo nelepon gue tadi, ngasih tau hari ini Andra dimakamkan.”  Thalita mengangguk lemah. Sebelumnya dia sama sekali nggak terpikir untuk menelepon Jennie, karena dunia rasanya sudah terbalik begitu dia mengetahui Andra meninggal. Thalita bersyukur karena Acha bisa mengambil inisiatif untuk memberitahu Jennie. Kebetulan, Thalita memang sangat membutuhkan seseorang untuk menemaninya saat itu.  “Yuk, ikut gue,” ajak Jennie, lalu menggamit tangan Thalita menuju salah satu pohon besar yang ada di dekat situ.  Mereka akhirnya duduk di bawah pohon itu, dan air mata Thalita, yang tadi dikiranya sudah habis terkuras, mulai menetes lagi.  “Gue rasanya pengin ikut mati aja, Jen…”  “Hush!” bentak Jennie. “Jangan ngomong yang nggak-nggak deh!”  “Tapi… Andra mati gara-gara gue… Kalau aja gue mau balik sama dia… Kalau aja gue nggak berpura-pura Darren itu pacar gue di depan dia…”  Mata Jennie menyipit. “Maksud lo apa? Darren pura-pura jadi pacar lo di depan Andra? Gue nggak ngerti…”  Thalita mengangguk, lalu menceritakan semua kejadian di Coffee Bean PIM beberapa hari yang lalu. Kejadian yang menjadi awal segala petaka yang terjadi saat ini.  “Jadi… menurut lo, Andra… bunuh diri karena dia nggak terima lo punya pacar baru lagi, gitu?”  “Iya… Karena gue tau Andra, Jen. Dia nggak mungkin nyabu segitu banyak dalam kondisi normal… Pasti dia lagi tertekan banget gara-gara gue…”  Jennie mendengus. “Cih! Kalau menurut gue, dalam kondisi normal dia justru nggak akan nyabu sama sekali!”
 Thalita menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Tapi tetep aja… semua ini gara-gara gue… Gue yang udah membunuh Andra! Gue yang nyakitin dia! Padahal seharusnya gue selalu ada di sampingnya, terus mendorong dia untuk sembuh, bukannya menghindar dan jadi pengecut…”  “Tha, ini bukan salah lo!”  “Nggak! Gue yang salah! Andra mati karena gu…”  Plaakk!  Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Thalita. Jennie berdiri dengan napas tersengal, memegangi tangannya yang baru saja menampar Thalita.  “Kenapa sih? Kenapa lo harus terus menyalahkan diri lo sendiri?!” tanya Jennie galak. “Andra mati itu sama sekali bukan salah lo, tau nggak?! Dia mati karena ketololannya sendiri! Siapa suruh dia nyabu? Siapa suruh dia nggak mau dengar omongan lo untuk rehab dari dulu-dulu? Kalau aja dia mau nurutin omongan lo, gue yakin kalian bakal bisa balik lagi! Andra tahu gimana harus memperbaiki kesalahannya, tapi dia toh lebhi memilih tetap berkubang dalam ketololannya sendiri!”  Thalita tersedu-sedu, sementara Jennie sudah selesai memuntahkan semua kekesalannya, dan sekarang sedang berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal.  “Maafin gue, Tha. Gue cuma nggak mau lo terus-menerus menyalahkan diri lo untuk kesalahan yang sebenernya sama sekali nggak lo perbuat…” Jennie berjongkok di depan Thalita dan memeluk sahabatnya yang sesenggukan itu.  “Tapi seharusnya gue nggak pura-pura punya pacar baru, kan? Gue tahu itu bakal nyakitin dia, tapi gue tetap ngelakuin itu…”  “Tuh kan, lo mulai nyalahin diri lo sendiri lagi,” gerutu Jennie putus asa. “Lo nggak denger omongan gue yang tadi, ya? Gue tegasin lagi, Tha: ini semua BUKAN salah lo. Dan kalaupun Andra memang patah hati karena dia tau lo punya cowok baru, DIA SENDIRI yang salah, karena memilih semua drugs itu buat pelariannya. Mungkin aja lo memang membuat dia patah hati, tapi kalau dia nggak pakai drugs, dia nggak akan OD, kan? Got my point?”  Thalita menelan ludah dengan susah payah. Jennie memang bisa sangat galak kalau dia mau, dan jujur aja kali ini Thalita agak kaget karena tahu sahabatnya bahkan berani menamparnya. Tapi… Thalita mulai bisa menerima kata-kata Jennie. Cewek itu benar… Thalita bisa saja membuat Andra patah hati, tapi kalau Andra sendiri nggak memakai drugs, dia toh nggak akan OD.  “Gue ngerti kalau ada perasaan bersalah dalam diri lo, tapi terus menyalahkan diri nggak akan bikin Andra balik lagi, kan?” Jennie memegang bahu Thalita, dan berusaha supaya sahabatnya itu berani menatapnya.
 “Iya…” Bahu Thalita gemetar karena dia berusaha menghentikan tangisnya.  “Nah, jangan nyalahin diri lo lagi, ya? Emang begini jalannya, Tha, dan lo nggak perlu hidup dalam rasa bersalah.”  Thalita mengangguk lagi, dan dia teringat sesuatu.  “Sekarang gue ngerti, apa arti mimpi gue malam itu…”  “Mimpi?”  “Iya. Sebelum gue ditelepon Darius yang mengabarkan Andra udah nggak ada, gue mimpi Andra datang ke rumah gue. Dia bilang bahwa dia udah bersih… udah bukan junkies lagi… Tapi waktu gue tanya apa dia janji nggak akan ninggalin gue lagi, dia minta maaf dan bilang dia nggak bisa menemani gue lagi. Lalu dia menghilang begitu saja, tersedot ke dalam terowongan hitam yang tiba-tiba muncul. Sekarang gue ngerti apa maksudnya… dia datang untuk pamitan dan minta maaf sama gue karena dia mau pergi dan nggak kembali lagi…”  “Ya Tuhan,” gumam Jennie pahit.  “Gue nggak tahu harus bagaimana, Jen… Gue masih nggak percaya gue nggak akan pernah ngeliat Andra lagi… Gue nggak bisa percaya kali ini gue bener-bener kehilangan dia…”  Jennie terdiam, dia nggak tau harus ngomong apa lagi. Di mata Jennie, Thalita terlihat seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup.  “Yang tabah ya… Ini pencobaan biasa kok. Tuhan kan nggak akan memberi percobaan yang melebihi kemampuan kita… Dan Dia pasti punya rencana di balik ini semua, rencana yang kita nggak tahu…”  Thalita menatap makam Andra sekali lagi, masih ragu apakah dia memang benar- benar akan kuat melalui ini semua. Kematian Andra seperti merenggut setengah hidupnya.  Apakah manusia bisa bertahan hidup hanya dengan setengah jiwa tersisa? 
* * * 
Papa memeluk Thalita dengan protektif ketika cewek itu tiba di rumah. Papa sudah tahu Andra meninggal. Tadi beliau menawarkan diri untuk menemani Thalita ke pemakaman, tapi gadis itu menolak.  “Sini, Tha, duduk sini…” Papa membimbing Thalita ke sofa ruang tamu, sofa yang sama yang diduduki Thalita ketika ia diceramahi, dan Papa mengusir Andra beberapa bulan lalu.  “Pa, Andra, Pa… Andra udah nggak ada…,” kata Thalita dengan suara tercekat.
 “Ya, ya, Papa tau…” Papa kini duduk di hadapan Thalita, dan menggenggam tangan Thalita lembut, sementara Thalita bisa merasakan pipinya mulai dibasahi air mata. “Pasti berat sekali untuk kamu.”  Thalita mengangguk dalam tangisnya. “Aku kehilangan dia banget, Pa… Aku nggak akan bisa melihat dia lagi…”  “Tapi kamu sudah pernah berusaha untuk menyelamatkan dia, kan? Nggak ada yang perlu kamu sesali, Tha. Kamu sudah mencoba sebisa kamu, tapi Andra sendirilah yang akhirnya memutuskan mengambil jalan seperti ini.”  Kata-kata Papa mirip kata-kata Jennie, batin Thalita pahit.  “Kamu salah jika kamu nggak pernah berusaha membantu Andra. Tapi kamu membantunya, kan? Berapa kali kamu memohon dia untuk masuk rehab, tapi dia nggak pernah nurut? Jangan salahkan dirimu, Tha. Papa tau ini berat, dan Papa nggak akan bilang „I‟ve told you so‟, meskipun sudah sering Papa khawatir Andra akan berakhir seperti ini.”  “Tapi dia…”  “Tha, ada hal-hal yang memang harus terjadi, supaya kamu belajar dari hidup ini. Papa nggak pernah mengharap ini akan kamu alami secara langsung, tapi dengan begini kamu bisa melihat sendiri, apa yang bisa direnggut narkoba. Andra masih muda, dan mungkin saja akan punya masa depan yang cerah jika dia nggak pernah mencicipi drugs. Dia seharusnya tau, kematianlah yang akan menantinya di ujung jika dia masih berurusan dengan barang haram itu. Tapi dia nggak berusaha lari jauh-jauh, dia malah mendekat pada kematian itu.”  Thalita menyusut air matanya perlahan.  “Kehilangan orang yang kamu sayangi, apalagi dengan cara seperti ini, memang berat. Tapi dengan begitu, kamu akan lebih menghargai hidup yang kamu miliki, dan nggak akan mempertaruhkan diri untuk coba-coba narkoba, karena kamu tahu apa yang menunggumu nanti jika kamu melakukannya. Kuatlah, Tha. Papa yakin kamu bisa melalui semua ini.”  Papa memeluk Thalita, dan Thalita merasakan kasih sayang, perlindungan, dan kehangatan, seketika melingkupinya. Ada rasa aman dan damai saat Papa memeluknya, dan ia benar-benar mensyukuri hal itu. Itu membuat jiwanya yang remuk seakan dilekatkan kembali. 
* * * 
“Tha… ada tamu nih,” panggil Mama sambil mengetuk pintu kamar Thalita lembut. Thalita masih tetap terdiam di atas ranjangnya, nggak bereaksi.
 “Thalita, Sayang, ada tamu buat kamu…”  Mama terus mengetuk pintu kamar dan memanggil Thalita dari luar, tapi Thalita tetap saja diam. Dia nggak peduli akan apa pun lagi sekarang, karena Andra udah nggak ada. Untuk apa dia hidup? Kenapa dia masih hidup sampai sekarang, Thalita sendiri nggak tahu. Dia seperti terbunuh waktu tahu Andra meninggal, dan entah kenapa sekarang dia masih ada di sini dan bernapas.  Terdengar suara pintu kamar dibuka. Rupaya Mama sudah nggak sabar menunggu Thalita membuka pintu, dan akhirnya memutuskan membuka pintu itu sendiri.  “Tha, ada temenmu tuh nunggu kamu di luar…”  Akhirnya Thalita bereaksi. “Siapa?” tanyanya, tapi masih dengan terbaring di ranjang dan membelakangi Mama.  “Cowok. Dulu pernah datang ke sini buat ngerjain tugas sekolah kalau nggak salah…”  Thalita terenyak. Cowok? Yang dulu pernah datang ke sini untuk ngerjain tugas sekolah?  Darren?  Thalita bangun dari ranjang, dan menatap Mama kebingungan. “Orangnya kayak apa?”  Kalau benar Darren yang datang, Thalita benar-benar shock. Dia memang sudah beberapa hari ini bolos sekolah. Alasannya, dia merasa nggak akan sanggup melakukan apa pun dengan bayang-bayang Andra masih melintas di kepalanya, apalagi kalau hal itu adalah mengerjakan soal-soal matematika-fisika-kimia yang bikin para murid berpotensi mengalami kebotakan dini. Makan yang nggak pakai mikir aja Thalita nggak bisa, apalagi untuk sekolah yang harus memutar otak!  Ortu Thalita, yang sadar anaknya butuh waktu untuk menyendiri setelah kematian Andra, mengizinkan saja anaknya bolos. Percuma kalau anak itu masuk sekolah tapi nggak konsen. Lagi pula, kehilangan seseorang yang kita sayangi bukan sesuatu yang gampang dilalu, dan Thalita butuh waktu juga untuk memulihkan kondisi emosionalnya. Rumah jelas tempat yang paling baik untuk itu, daripada Thalita pergi ke sekolah tapi di jalan dia nyetir dengan serampangan karena perasaannya yang kacau? Nah, ortu Thalita nggak mau gambling dengan risiko itu.  Kembali lagi ke poin yang tadi: masa sih yang datang itu beneran Darren? Buat apa dia datang? Thalita kan udah nitip pesan ke Nita supaya kalau ada yang nanya apa alasannya nggak masuk, Nita bisa bilang Thalita nggak masuk karena sakit. Apa… apa Darren sengaja datang untuk menjenguknya?
 “Cakep lho. Anaknya tinggi besar, indo… Pokoknya yang dulu pernah ke sini itu, yang bikin kamu sibuk bersih-bersih ruang tamu sepagian,” jelas Mama, semakin bikin Thalita bengong. Berarti memang benar Darren.  “Kamu mau nemuin dia?” tanya Mama penuh harap. Sudah beberapa hari Thalita mengurung diri di kamar, disuruh makan juga susahnya minta ampun. Mungkin ada baiknya kalau ada yang datang dan mengajaknya ngobrol, jadi Thalita bisa sedikit mengeluarkan unek-uneknya.  Thalita hampir menggeleng, tapi dalam hati dia penasaran juga kenapa Darren bisa sampai ke rumahnya. Kalau dia nggak menemui Darren, dia nggak bakal tau apa alasan cowok itu datang, kan?  “Ya deh.” Thalita turun dari ranjang dan memakai sandalnya, lalu beranjak keluar kamar.  “Eh, Tha, tunggu!”  “Kenapa, Ma?”  “Kamu… ganti baju dulu dong. Sisiran sama cuci muka juga, at least…”  Thalita berjalan mendekati cermin meja riasnya, dan dengan kaget menyadari pantulan sosoknya yang amburadul sekali.  Dia memutuskan untuk menuruti saran mamanya. Kalau nggak, jangan-jangan nanti Darren menjerit begitu melihatnya karena menyangka Thalita kuntilanak! 
* * * 
“Hai, Tha,” sapa Darren. Cowok itu berdiri saat melihat Thalita memasuki ruang tamu.  “Hai, Ren, ada apa?”  Anehnya, Darren nggak menjawab, dia malah seperti termangu menatap Thalita.  “Ren? Lo nggak papa?” tanya Thalita khawatir. Apa cuci muka dan sisir rambut tadi nggak berpengaruh banyak baginya, ya?  Darren seperti baru ditonjok, dan sadar dari lamunannya. “Lo… lo kenapa, Tha?” tanyanya, terdengar lebih khawatir. Dia nggak menjawab pertanyaan Thalita barusan, karena kaget melihat mata Thalita yang membengkak superbesar, juga wajah Thalita yang sedih.  “Gue nggak papa kok… Cuma agak nggak enak badan. Makanya nggak sekolah.” Thalita terdiam, lalu dia ingat alasannya mau menemui Darren tadi. “Oya, ada apa lo ke sini?”  “Gue nggak lihat lo di sekolah beberapa hari ini. Waktu gue tanya Tatyana, katanya lo sakit, jadi gue datang ke sini buat jenguk lo,” jelas Darren, tangannya menunjuk
keranjang berisi buah-buahan di atas meja, yang tadi sama sekali nggak tertangkap mata Thalita.  “Oh,” gumam Thalita, surprised. Nita dan Tatyana aja nggak menjenguk dia, tapi cowok ini… yang bahkan bukan teman sekelas atau teman dekatnya, sengaja datang untuk menjenguk. Darren baik banget. Kalau saja hati Thalita nggak terisi penuh oleh Andra, pasti sudah dari dulu-dulu dia luluh oleh cowok yang satu ini. “Makasih ya… Jadi ngerepotin…”  “Ah, nggak papa. Oya, besok lo udah masuk sekolah belum?”  Thalita menggeleng. “Gue nggak tahu…”  “Tapi lo udah ngerasa baikan, kan? Maksud gue… udah lebih fit?”  “Gue…” Thalita menatap Darren, dan menyadari cowok itu menatapnya balik. Lalu Thalita sadar, keberadaan Darren di dekatnya selalu membuatnya tak bisa menahan diri untuk curhat. Darren seperti… tempat dia bisa menumpahkan perasaannya. Entah kenapa bisa seperti itu.  “Darren, Andra… Andra udah nggak ada, Ren…” Air mata Thalita tumpah tanpa bisa dicegah lagi. Berhari-hari menangis dan menyimpan kesedihannya ternyata membuat cadangan air mata Thalita semakin banyak, dan sekarang semua air mata itu keluar begitu saja di hadapan Darren.  Darren terdiam, seolah Thalita baru saja bicara dalalm bahasa yang nggak ia mengerti. Tapi beberapa saat kemudian Darren menghela napas dalam-dalam. “Gue ikut sedih dengernya, Tha,” katanya kemudian. “Kalau gue boleh tahu, kenapa Andra…?”  “Overdosis,” tukas Thalita sebelum Darren sempat menyelesaikan kalimatnya. “Dan gue merasa… guelah penyebab dia sampai seperti itu…” Thalita sesenggukan.  “Kenapa lo ngerasa gitu?”  “Karena… hari di waktu dia meninggal adalah hari… hari kita ketemu dia di PIM, dan gue mengaku-aku lo sebagai cowok gue…”  Seperti ada yang menghentikan aliran waktu untuk sesaat, karena yang terdengar di ruangan itu cuma sedu sedan Thalita.  “Temen gue, namanya Jennie, bilang itu sama sekal ibukan salah gue… Karena kalaupun Andra kecewa sama gue, dia nggak akan meninggal kalau dia nggak pakai drugs… Jennie juga bilang ini semua salah Andra sendiri, karena dia nggak pernah mau menuruti kata-kata gue untuk rehab. Tapi tetap aja… tetap aja gue merasa bersalah…”  Tangis Thalita semakin kencang, dan Darren terpaksa pindah duduk ke sofa di sebelah Thalita, untuk bisa menenangkan cewek itu.  “Sssttt, Tha, udah ya, udah… Gue tau ini berat banget buat lo, tapi gue percaya, ada rencana Tuhan di balik semua ini. Everything happened for a reason,” kata Darren sambil
mengusap rambut Thalita lembut. “Dan Jennie benar, ini bukan salah lo, jadi jangan menyalahkan diri lo lagi.”  Entah kenapa, Thalita sepertinya nggak mau melepaskan diri dari pelukan Darren.  Kenapa gue ini? batinnya pahit. Andra baru aja meninggal, tapi gue malah peluk- pelukan sama cowok lain?  Akhirnya, berhasil melawan kecenderungan tubuhnya yang seperti besi menempel pada magnet (in this case, Darren), Thalita duduk tegak lagi dan mengusap air matanya.  “Sori, gue kebawa emosi tadi,” kata Thalita agak malu.  “Eh… it‟s okay…” Darren terdengar agak salting juga. “Yah… gue rasa lo perlu waktu untuk menyendiri dulu, untuk menenangkan diri… Tapi kalau ada apa-apa, dan lo nggak keberatan berbagi, lo mau hubungin gue, kan?”  Thalita mengangguk. “Makasih, ya, Ren…” 
* * * 
“Lit!”  Tatyana tersentak kaget, nyaris saja mencorengkan maskara ke alisnya. Dia menoleh dan mendapati Darren berdiri di ambang pintu kamarnya.  “Apa?” tanya Tatyana, masih agak kesal karena Darren mengagetkannya tadi.  “Gue habis dari rumah Thalita.”  Tatyana menoleh dengan mulut ternganga lebar. “Ngapain lo ke sana? Tugas dari Pak Lukas kan udah kelar!”  “Yee… emangnya gue cuma boleh ke sana kalo ngerjain tugas?”  Alis Tatyana terangkat beberapa senti. Ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Darren pergi ke rumah cewek bukan untuk urusan sekolah atau yang semacam itu.  “Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gue ke rumah Thalita tuh buat jenguk dia, tau! Dia kan udah berapa hari ini nggak masuk.” Darren melemparkan bantal berbentuk hati milik Tatyana yang ada di ranjang ke wajah si empunya, karena melihat wajah Tatyana yang sudah menunjukkan ekspresi bakal menginterogasinya segala macam. Bantal itu mengenai wajah Tatyana.  “Terus… Thalita sakit apa?” Tatyana rupanya nggak ambil pusing dengan wajahnya yang terkena lemparan bantal Darren. Kalau tentang Thalita sekarang ini jelas lebih penting daripada itu.  “Dia…” Darren hampir saja bilang Thalita nggak masuk karena mantannya baru aja meninggal, tapi dia lalu ingat dia sudah berjanji pada Thalita nggak akan cerita tentang Andra pada siapa pun, termasuk pada Tatyana. “Dia sakit perut, tapi sekarang udah baikan sih,” karang Darren.
 “Sakit perut? Kok sampai nggak masuk sekolah berhari-hari, ya?”  “Nggak tau deh gue, tapi dia tadi udah baikan kok. Yah, lo juga kenapa nggak nengokin dia? Kan lo temen sekelasnya!”  “Lo juga, nengok nggak ngajak-ngajak!” gerutu Tatyana. Dia memang kepingin menengok Thalita, tapi nggak tau alamat cewek itu, dan Darren yang tau ternyata malah pergi ke sana sendirian. Menyebalkan!  Terdengar suara ketukan, Tatyana dan Darren berpaling ke arah pintu. Ada Mbok Jum di sana, pembantu keluarga mereka sejak belasan tahun lalu.  “Non, udah datang tuh temennya,” kata Mbok Jum pada Tatyana.  Tatyana menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal dengan kesal. Gara-gara Darren dia belum selesai dandan, padahal orang yang menjemputnya sudah datang!  “Eh… bilang tunggu bentar deh, Mbok. Aku belum selesai siap-siap, gara-gara orang satu ini nih!” Tatyana menuding Darren, lalu mengambil bantal hati yang tadi berhasil menimpuknya, dan melemparkannya balik ke Darren. Luput. Darren malah bisa menangkap bantal itu dengan tangannya. Tatyana merutuk karena lupa Darren kiper utama tim sepak bola sekolah mereka, yang sudah berhasil membawa timnya menang di berbagai kejuaraan.  Mbok Jum meringis geli melihat tingkah kedua anak majikannya, lalu mengangguk patuh dan beranjak dari ambang pintu kamar Tatyana.  “Mau pergi lo?” tanya Darren.  “Udah jelas nanya!” Tatyana sewot. “Mending lo keluar sana deh! Gara-gara lo, gue jadi nggak bisa dandan, tau nggak?”  “Halah… emang lo mau pergi sama siapa sih? Dandannya heboh amat? Paling juga sama Stefira.” Darren menyebutkan nama teman dekat Tatyana.  “Yee… salah jeh!”  “Terus?”  “Mmm…” Pipi Tatyana memerah. “Sugeng.”  Darren membeliak, matanya seperti mau keluar dari rongganya. “Hah? Lo… oh ampun deh, lo jadian sama dia???”  Tatyana mengangguk.  “Sejak kapan?? Kok… kok lo nggak bilang-bilang sama gue sih?!”  “Ih! Emangnya ada peraturan gue harus cerita segala sesuatunya ke lo? Tak usah yee! Tapi karena gue lagi baik nih, gue kasih tahu ke lo… gue sama Sugeng jadian waktu kami satu kelompok ngerjain tugas makalah dari Pak Lukas itu, puas?”  Tatyana selesai berdandan, lalu bergegas memasukkan dompet, HP, dan bedak compact ke dalam tasnya.  “Udah ya, gue pergi dulu… Ciao!”
 Darren cuma bisa menghela napas begitu menyadari hari itu adalah hari Sabtu. Malam Minggu, dan adiknya baru pergi nge-date, sementara dia sendiri kelihatannya bakal menghabiskan malam ini dengan main PSP seperti sebelum-sebelumnya.                                  
  
 TUJUH   
Thalita memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Sudah satu minggu sejak dia nggak masuk sekolah, dan ortunya merasa itu sudah melewati jangka waktu toleransi mereka bagi Thalita untuk membolos. Lagi pula, sedih kelamaan juga nggak baik buat Thalita. Kalau dia sendirian terus, dia bakal semakin teringat Andra. Nah, kalau di sekolah kan banyak hal yang bakal menyibukkan dia, dan itu bakal mempermudah Thalita untuk melupakan Andra. Ini jalan pikiran ortunya sih… karena buat Thalita, Andra itu udah lebih dari bayangannya sendiri. Sementara bayangan hanya ada di tempat terang, bagi Thalita, proyeksi Andra selalu ada di mana pun dia berada, nggak peduli tempat itu gelap ataupun terang.  “Thalitaaaa! Haiii! Aduh, akhirnya lo masuk sekolah lagi. Gue udah kangeeeennn banget sama lo!” Nita bersemangat banget menyambut Thalita di pintu kelas.  “Hai, Nit,” sapa Thalita lesu. Dia masih belum bisa kembali kayak dulu. Baru satu minggu Andra pergi, dan Thalita masih merasa kehilangan. Cuma dalam hati dia bisa sedikit bersyukur karena Andra tiada di saat mereka sudah pisah sekolah, dan Thalita sudah cukup terbiasa nggak melihat Andra setiap hari. Thalita nggak bisa membayangkan kalau Andra meninggal saat mereka masih pacaran dan satu sekolah dulu. Bisa-bisa Thalita bunuh diri, atau minimal jadi gila, saking depresinya karena nggak bisa ketemu Andra setiap hari.  “Oya, lo sakit perutnya kenapa sih? Salah makan? Keracunan?” Nita bertanya ngawur.  “Ah… nggak taulah, Nit, pokoknya perut gue lagi nggak berfungsi dengan normal aja gitu. Lima menit sekali harus ke kamar mandi. Nggak lucu kan kalo gue tetep masuk sekolah dengan kondisi kayak gitu?” Thalita mengarang cerita.  “Hihihi… iya juga sih. Tapi sekarang udah baikan, kan?”  “Yah, lumayanlah…” Semoga Nita nggak terus nanya-nya alasan gue nggak masuk, karena pasti gue harus terus membohongi dia, batin Thalita pahit.  “Sori ya, Tha, gue nggak nengokin lo selama lo sakit… Gue…”  Belum sempat Nita menyelesaikan kalimatnya, seseorang melintas di depan mereka berdua. Darren.  “Hai, Tha, udah baikan?” sapa Darren tanpa mengacuhkan tatapan bengong Nita.
 “Mmm… udah.” Kepala Thalita tertunduk, masih merasa canggung kalau ingat dia sudah pernah memeluk (atau dipeluk?) Darren beberapa hari yang lalu.  “Ya udah, kalau gitu jangan suka telat makan lagi ya, nanti lo sakit perut lagi kayak kemarin. Bye!”  Darren berlalu, meninggalkan Thalita yang tersipu dan Nita yang melongo.  “Kok… kok dia bisa tau lo sakit perut? Lo yang ngasih tahu dia, ya? Udah gitu, dia perhatian banget ya sama lo?” berondong Nita tanpa ampun setelah sosok Darren menghilang di belokan koridor sekolah.  Thalita cepat-cepat menggeleng. “Nggak, dia kan nanya sama Tatyana kenapa gue nggak masuk. Makanya dia bisa tahu gue sakit perut. Terus kalo soal perhatian, itu cuma perasaan lo aja. Gue biasa-biasa aja kok sama dia…”  Nita terlihat berpikir. “Emang sih waktu hari pertama lo nggak masuk itu Tatyana nanya ke gue, dan gue emang bilang ke dia kalo elo sakit perut…” Nita mengetuk- ngetukkan telunjuk ke dagunya, “tapi kenapa Darren sampai…”  “Nit, jangan mulai bikin gosip yang nggak-nggak deh,” tukas Thalita.  “Eits… gue nggak bikin gosip yang nggak-nggak, tapi lo sendiri kan yang emang deket sama Darren? Sampai bikin cewek-cewek sesekolah ini iri! Soalnya, selama ini kan Darren dingin banget sama cewek!” Nita mencerocos.  “Nitaaaa… gue sama Darren itu bisa akrab cuma kalau lagi ngobrolin bola. Terus juga karena kami satu kelompok waktu tugas agama kemarin. Di luar itu, gue biasa aja sama dia, dan dia juga biasa aja sama gue.”  “Oya?” Nita nyengir. “Menurut gue, yang tadi itu nggak biasa tuh. Kayaknya Darren tuh perhatiaaaannn banget sama lo, hal yang nggak pernah dia lakuin ke cewek-cewek lain!”  Thalita menghela napas. “Yah… terserah lo deh, yang penting gue udah nyeritain yang sebenernya bahwa gue sama Darren nggak ada apa-apa. Lo mau percaya atau nggak, itu hak lo kok…”  Thalita mengedikkan bahunya dan berlalu dari situ, tapi dalam hati dia kepikiran juga semua omongan Nita barusan. Yah, Thalita terpaksa mengakui bahwa Nita benar. Dia sendiri bisa merasakan bahwa Darren memang perhatian banget sama dia. Jenis perhatian yang nggak mungkin diberikan ke teman cewek biasa, apalagi yang baru dikenal seperti Darren mengenal Thalita. Semua kelakuan Darren selama ini udah membuktikannya kok, lebih lagi waktu dia bela-belain menengok Thalita beberapa hari lalu. Kalau Nita tahu tentang itu, Thalita jamin temannya itu bakal semakin yakin bahwa memang ada apa-apa antara Darren dan Thalita.  Sori, Nit, batin Thalita, gue nggak bisa membuat dugaan lo jadi kenyataan. Karena sebaik apa pun Darren, gue masih nggak bisa ngelupain Andra…

* * * 
Thalita menghentikan mobilnya di halaman parkir sebuah mal, lalu mengambil tas selempangnya di kursi belakang mobil, dan berjalan menuju pintu masuk mal tersebut.  Udara sejuk dari AC yang ada di dalam mal menyambutnya begitu dia melangkah memasuki mal yang masih terbilang baru di Jakarta itu. Dia melewati beberapa SPG yang menawarinya parfum keluaran paling gres dengan senyum sekilas, dan berjalan nggak tentu arah selama sepuluh menit kemudian.  Thalita sendiri nggak tahu kenapa dia bisa “mendarat” di mal ini, apalagi dengan kondisinya sekarang. Dia nggak tahu mau ngapain di sini, mau beli apa, atau mau ke mana, tapi dia merasa nyaman ada di antara banyak orang. Ini jauh lebih baik daripada pilihan untuk kembali ke kamarnya yang sepi di rumah dan mulai menangisi Andra lagi.  Thalita berjalan terus, dan akhirnya sampai di depan sebuah kafe yang sepi. Ia melihat poster-poster makanan yang terpajang di bagian depan kafe. Fish and chips, tuna sandwich, french fries with lemon sauce… dan entah kenapa perutnya tiba-tiba terasa lapar. Barulah Thalita sadar dia belum makan dari pagi, sementara sekarang sudah jam empat sore.  Akhirnya Thalita memutuskan untuk memasuki kafe itu dan duduk di meja paling pojok, di depan jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan jalanan Jakarta yang macet total. Seorang waiter mendatanginya, mengangsurkan daftar menu. Thalita memesan fish and chips dan strawberry milkshake, lalu waiter itu meninggalkannya sendiri.  Jalanan di luar masih macet, mobil-mobil merayap perlahan, seperti iring-iringan siput yang berjalan lambat. Lamat-lamat Thalita mendengar sebuah lagu yang diputar di kafe itu… 
 Tak kan pernah habis air mataku  Bila ku ingat tentang dirimu  Mungkin hanya kau yang tahu  Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri… 
  Bulu kuduk Thalita meremang tanpa disadarinya. Lagu ini… 
 Adakah di sana kau rindu padaku  Meski kita kini ada di dunia berbeda  Bila masih mungkin waktu kuputar
 Kan kutunggu dirimu… 
 Jantung Thalita berdetak cepat. Dia mengenali lagu ini. Mengenangmu milik Kerispatih, lagu lama yang sudah sering didengarnya sebelum ini, tapi entah kenapa kini terasa benar-benar mengiris. Mengingatkannya kembali pada Andra, bahkan saat Thalita belum benar-benar bisa melupakan cowok itu… 
 Biarlah kusimpan  Sampai nanti aku kan ada di sana  Tenanglah dirimu dalam kedamaian  Ingatlah cintaku, kau tak terlihat lagi  Namun cintamu abadi… 
 Mata Thalita membasah, dan dalam sekejap, air matanya sudah membanjir, membuat waiter yang mengantarkan pesanannya kebingungan. Tapi akhirnya si waiter meletakkan saja pesanan Thalita di meja, dan berlalu pergi dari situ.  Sepuluh menit kemudian, Thalita beranjak pergi dari kafe itu, dengan meninggalkan uang di atas meja, di sebelah piring fish and chips pesananannya yang masih utuh dan sudah dingin. Juga di dekat gelas besar strawberry milkshake yang masih penuh, dengan titik-titik embun yang membasahi bagian luarnya, yang meninggalkan genangan air di atas meja.  Sama seperti genangan air yang tertampung di pelupuk mata Thalita. 
* * * 
Hari demi hari berlalu, dan tanpa terasa tahun berganti. Desember terlewatkan dalam hujan deras yang mengguyur sepanjang hari. Januari bergulir menjadi Februari, dan tiba-tiba saja Valentine sudah di depan mata. Anak-anak kelas X-5 SMA Persada Bangsa sibuk mempersiapkan acara Valentine mereka dengan pacar atau gebetan masing-masing.  Verina dan Andika bakal merayakan second anniversary mereka tepat Hari Valentine tahun ini. Tatyana dan Sugeng rencananya mau candlelight dinner di salah satu kafe yang terkenal romantis karena lokasinya yang outdoor. Nita diajak pergi cowok yang tinggal satu kompleks perumahan dengannya ke acara V-Day sebuah radio remaja. Sementara Thalita? Memikirkan Valentine akan datang saja dia sudah miris rasanya.  Valentine tahun lalu dia masih berstatus pacar Andra. Mereka pergi ke sebuah pesta kembang api, dan tertawa-tawa bersama. Tapi tahun ini… Andra sudah nggak ada lagi untuk menemaninya. Thalita sendiri, kesepian, pahit…
 Tapi Valentine tetap datang dengan ataupun tanpa kehadiran Andra. Dan kehebohan di SMA Persada Bangsa membuat Thalita geleng-geleng kepala. Tanggal 14 Februari pagi itu, begitu sampai di sekolah, Thalita mendapati ada ribut-ribut di depan kelas X-6. Usut punya usut, ternyata ada cewek yang lagi nembak Darren!  Thalita cepat-cepat berlari menuju kelas X-6, dan mendapati kerumunan penuh cewek cekikikan yang melihat salah satu teman mereka yang sedang jadi “pejuang cinta” itu. Tapi yang bikin Thalita melongo justru adalah karena dia melihat meja Darren penuh dengan berbagai macam kado dan cokelat. Ada juga bunga. Kelihatannya itu semua bukan cuma dari cewek si pejuang cinta itu.  “Darren, gue udah suka sama lo sejak kita masih SMP. Lo ganteng banget, dan setiap kali ngeliat lo, gue deg-degan,” kata cewek pejuang cinta itu dengan sedikit nervous. Kontan aja susunan kalimat barusan mengundang “cieeeeee…” dari kalangan penonton. Wajah Darren tanpa ekspresi.  “Gue memang nggak pernah dekat sama lo, tapi sekarang gue mau mencoba… Dan tolong, Ren, kasih gue kesempatan… Mau nggak lo jadi cowok gue?”  Seisi ruangan kelihatannya ikut menahan napas bersama cewek itu, menunggu jawaban Darren.  “Sori, tapi gue nggak bisa… Ada cewek lain yang gue suka sekarang.”  Senyap. Seperti ada hantu yang diam-diam mengambil pita suara milik semua orang yang berkerumun di situ.  “Sori ya,” kata Darren lagi, lalu keluar dari kelas itu dengan menerobos kerumunan orang yang tadi menontonnya.  Setelah Darren pergi, barulah keriuhan pecah. Semua sibuk kasak-kusuk dan berceloteh, sementara cewek yang ditolak Darren tadi lagi dihibur salah satu temannya. Dari tampangnya, jelas cewek itu kecewa, tapi kayaknya dia bisa menerima. Mungkin dia bisa ngerti bahwa tindakannya tadi tergolong nekat, karena dia nggak begitu kenal Darren, ditambah fakta bahwa Darren dingin sama cewek, tapi dia masih tetap nekat nembak.  Thalita hampir pergi juga dari situ, waktu telinganya menangkap obrolan beberapa cewek di dekatnya.  “Eh, eh, lo dengar nggak tadi, Darren bilang dia lagi suka sama cewek? Siapa ya?” kata salah satu dari mereka.  “Nggak tahu… kan dia nggak pernah deket sama cewek ya? Kalo cewek yang deketin dia sih banyak. Orang ganteng gitu!” sahut yang satunya.  Thalita kebingungan. Cewek-cewek ini malah membahas pengakuan Darren bahwa dia lagi naksir cewek, bukan soal penembakan yang terjadi barusan.
 “Eh, tapi kayaknya gue tau deh siapa cewek yang ditaksir Darren itu…,” salah satu cewek itu mulai bergosip lagi.  “Siapa? Siapa?”  “Itu… Thalita, anak X-5! Kan mereka kayaknya akrab banget tuh!”  Kening Thalita berkerut mendengar namanya disebut-sebut. Gosip apa lagi sih yang beredar ini?  “Thalita? Serious lo?” salah satu cewek penggosip itu melongo mendengar celoteh temannya.  “Ya iyalah!”  Thalita menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar obrolan beberapa cewek itu. Kayaknya sebentar lagi bakal ada gosip beredar bahwa dialah cewek yang ditaksir Darren. Tapi Thalita nggak mau ambil pusing, toh nanti gosip itu bakal hilang dengan sendirinya. Lagi pula, Thalita nggak naksir Darren karena ia belum bisa melupakan Andra.  Tapi… gimana kalau yang digosipkan cewek-cewek tadi itu benar? Gimana kalau cewek yang dimaksud Darren memang dia?  Lagi-lagi Thalita menggelengkan kepalanya. Ah, kege-eran amat gue? makinya dalam hati. Masih banyak cewek di sekolah ini dan di luar sana, kenapa gue bisa- bisanya mikir bahwa cewek yang ditaksir Darren itu gue? Memang sih dia baik sama gue, tapi kan sebatas itu aja…  Thalita melangkah pergi dari situ, nggak mau membiarkan pikiran ngaconya semakin berkembang. Masih lima belas menit lagi sebelum bel masuk. Dia pengin ke lab komputer dan mengecek e-mail di sana.  Lab komputer ternyata kosong. Thalita langsung duduk di depan komputer favoritnya yang terletak di sudut ruangan. Sekali lagi Thalita bersyukur karena dia sekolah di SMA Persada Bangsa, yang lab komputernya lengkap dengan fasilitas Internet 24 jam. Aksesnya cepat, lagi. Ini baru sekolah! pikirnya senang.  Window e-mail Thalita sudah terbuka, dan dia keheranan sendiri melihat satu subject yang bertuliskan “Kartu ucapan untuk Anda!” Thalita menggerakkan pointer komputer yang digunakannya ke subject itu dan mengklik di situ. Dengan cepat e-mail itu terbuka, dan Thalita mendapati tulisan yang membuat mulutnya menganga. 
 Fenandra Christian mengirim kartu ucapan untuk Anda! Klik di sini untuk melihatnya. 
 “Nggak mungkin,” desis Thalita nggak percaya. “Andra udah nggak ada, mana mungkin kartu ini dari dia…?”
 Tangan Thalita bergetar saat sekali lagi menggerakkan pointer mouse dalam genggamannya. Dia membuka link dari e-mail yang terkirim itu, dan mendapati sebuah window baru terbuka. Itu e-card untuk macam-macam event seperti yang diterima Thalita sekarang. Beberapa detik terlewati untuk loading, dan akhirnya e-card itu bisa dibuka. Thalita mengklik tombol play.  Beberapa detik selanjutnya Thalita terenyak, dan waktu e-card itu selesai dimainkan, dia menyadari matanya sudah basah.  E-card itu bergambar karikatur cewek dan cowok yang menuruni lembah bunga, berlarian ke arah pelangi yang ada di kejauhan. Tapi ketika mereka sampai, pelangi itu sudah menghilang, digantikan gerimis yang turun lagi. Si cewek dalam e-card murung, tapi si cowok berlari mengambilkannya bunga yang indah, dan muncul tulisan: 
 Eventhough the rainbow has gone  And the rain comes swept away the fun  My love will never fade away  It will remain, day by day… 
 Si cewek dalam e-card tersenyum lagi, menyadari pelangi yang hilang itu bukan apa-apa dibanding kalau dia kehilangan cowoknya. Membaca itu saja Thalita sudah menangis, tapi air matanya tumpah lebih banyak karena membaca pesan yang ditulis Andra di bawahnya. 
 Thalita,  Maaf, aku nggak pernah bisa jadi seperti yang kamu minta…  Juga karena selama ini aku egois…  Dan karena aku tak bisa menjauhi semua drugs itu,  Lalu kembali padamu… 
 Maaf, karena semua itu telah membuatmu sedih…  Kalau saja aku bisa, rasanya ingin aku mengubah semua  Kembali ke hari-hari kita yang dulu,  Walau aku tahu itu nggak mungkin terjadi… 
 Tapi hanya untuk kamu tahu  Aku akan selalu sayang sama kamu  Nggak peduli kita udah nggak bersama lagi  Atau pelangi menghilang dan hujan datang menggantikan  Aku masih akan selalu ada…
  Happy Valentine, Tha… :) 
 With all my love and apology,  Andra ` 051107 
 Thalita masih menangis waktu pintu lab komputer menjeblak terbuka, dan Darren muncul di sana.  “Thalita?!” serunya kaget. “Kok lo bisa ada di sini?”  Darren berlari mendekati Thalita, dan memperhatikan e-card yang masih terpampang di monitor komputer.  “Ini… e-card dari… Andra?” tanyanya hati-hati.  Thalita mengangguk. “Andra men-setting-nya supaya terkirim hari ini. Dia membuat kartu ini November lalu, beberapa hari sebelum dia meninggal…” Jari Thalita menunjuk tanggal yang tertera di sebelah nama Andra di e-card itu.  “Tha, gue…” Darren kebingungan, antara mau menghibur Thalita seperti dulu atau tetap berdiri di tempatnya sekarang.  “Kenapa, Ren? Kenapa gue harus kehilangan dia?” Thalita berdiri dan mengguncang-guncangkan Darren. “Kenapa… Kenapa juga dia harus ngirim kartu ini buat gue? Kenapa gue harus membacanya setelah dia nggak ada?!”  “Tenang, Tha, tenang…” Darren menahan tangan Thalita yang mengguncang- guncangkan badannya. “Mungkin Andra cuma pengin lo tahu, how much you meant for him… Bahkan kalaupun lo udah nggak sama dia lagi. Juga kalaupun dia udah nggak ada kayak sekarang…”  Thalita nggak menjawab. Dia cuma menyusut air matanya, dan tepat saat itu bel berbunyi.  “Ayo masuk kelas, belnya udah bunyi tuh. Gue tadi mau ngumpet di sini gara-gara Gio ngebuntutin gue terus, pengin tahu siapa cewek yang gue sebut-sebut di depan Siska tadi.”  “Siska…?”  “Mmhh… cewek yang nembak gue tadi itu. Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Yuk masuk kelas, jangan sedih lagi ya…”  Thalita mengangguk, tapi masih ragu. Dia nggak yakin dia bisa nggak sedih lagi setelah ini. Rasanya bayangan Andra semakin menghantuinya. 
* * * 
“Tha, I‟m so sorry to hear that…,” desah Jennie setelah Thalita cerita tentang e-card yang dikirim Andra. “Lo jadi ingat lagi ya, sama dia?”  “Gue memang nggak pernah ngelupain dia, Jen…” Thalita menggigit bibirnya kuat- kuat. Perih, tapi belum seperih hatinya.  “Tapi, gue rasa udah waktunya lo ngelupain dia…”  Thalita melirik Jennie tajam, membuat sobatnya itu salah tingkah.  “Maksud lo apa?” tanyanya tajam.  “Tha, gue bukannya mau menghilangkan Andra dari hidup lo, tapi… kita harus terima kenyataan dia udah nggak ada, kan? Dan lo nggak mungkin kayak gini terus. Lo masih muda, tau. Hidup lo masih panjang. Nggak mungkin lo tetep berkubang dalam keadaan lo yang sekarang.”  “Nggak usah mulai ceramah lagi deh, Jen,” kata Thalita sambil mengibaskan tangannya, seolah dia nggak mau mendengar apa pun lagi yang keluar dari mulut Jennie.  “Gue tahu lo bakal bersifat defensif kayak sekarang. Itu wajar kok, Tha.”  “Gue nggak defensif,” sangkal Thalita ketus.  “Dengan bilang kayak gitu aja lo udah membuktikan lo defensif,” balas Jennie halus, tahu pasti dia bakal memenangkan debat ini. “Ayolah, Tha, lo udah terlalu banyak sedih setahun ini. Kadang-kadang gue nunggu lo menyerah dan memutuskan untuk bahagia lagi…”  Thalita menatap seprai ranjangnya yang bermotif bunga-bunga, berusaha menulikan telinga, tapi kata-kata Jennie barusan telanjur menusuk dalam.  “Tapi…”  “Andra bilang apa di e-card-nya? Walau pelangi menghilang dan hujan datang menggantikan, dia akan selalu ada? Oh… bullshit! Buktinya, sekarang dia nggak ada di sini! Gimana bisa dia menjanjikan hal muluk kayak gitu ke elo, kalau untuk menuruti omongan lo buat masuk rehab aja dia nggak mau?”  “Jen, jangan ngejelekin Andra…”  “Gue nggak ngejelekin, gue cuma bicara fakta kok. Gue dulu nggak benci Andra, tapi kalau ngeliat kondisi lo sekarang, gue jadi benci banget sama dia. Dia hidup, lo sengsara. Sekarang dia udah nggak ada, lo tambah sengsara. Thalita, Thalita… lo tahu gimana cara ngilangin rasa pahit sehabis minum kopi tanpa gula? Makan permen yang manis, bukannya dengan membiarkan rasa pahit itu tetap ada di lidah lo!”  Thalita terkesiap. Jennie kayaknya memang highly trained banget untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang menusuk begini.  “Jadi… menurut lo, gue harus nyari cowok lagi, gitu?”
 “Yah… gue nggak berharap lo lari ke PS sekarang dan ngajak kenalan cowok pertama yang lo temui di sana, tapi at least lo nggak berkubang dalam kesedihan lagi lah. Udah berbulan-bulan, Tha… Udah cukup.”  Thalita menelan ludah dengan susah payah, dan menyadari ada satu hal yang belum diceritakannya pada Jennie.  “Mmm… Jen, tadi di sekolah ada yang nembak Darren, tapi Darren nolak dan bilang ada cewek lain yang dia suka,” kata Thalita lirih.  “Wow. It was definitely you that he talking about.”  “Menurut lo gitu? Kenapa?”  “Ya ampuuunn, Tha, lo ini buta atau apa sih? Gue yang cuma sering denger cerita lo aja yakin dia naksir sama lo, kok lo yang ditaksir malah nggak nyadar sih?”  “Hmm… Gue… Gue cuma nggak mau kege-eran aja…”  “Nggak, lo nggak kege-eran kok. Dia ini „permen manis‟ yang gue maksud tadi. Go get him, dan biarkan Andra jadi masa lalu, oke?”  Thalita mengendikkan bahu. Tapi dia tahu, akan lebih mudah membiarkan Darren masuk ke hatinya kalau pintunya sudah terbuka. Dan sekarang memang pintu itu mulai terbuka, bersamaan dengan terkuncinya pintu lain yang berisi kenangan- kenangan tentang Andra. 
* * * 
“Hai! Nonton Milan lawan Fiorentina nggak semalam?” Thalita memukul punggung Darren pelan, membuat cowok itu menoleh dan nyengir setengah heran sewaktu melihatnya. Ini pertama kalinya Thalita mengajaknya ngobrol soal bola lagi setelah Andra nggak ada.  “Nonton dong!” jawab Darren semangat. Dia senang karena entah kenapa Thalita sudah terlihat ceria lagi.  “Yah… gue ketiduran sebelum second half…” Thalita cemberut. “Skor akhirnya berapa?”  “Satu-satu. Agak ngebosenin juga sih, jadi lo nggak rugi apa-apa kok.” Darren nyengir semakin lebar, membuat Thalita nggak tahan untuk nggak nyengir juga.  “Mmm… Ren, soal yang di lab komputer Jumat lalu itu… Gue minta maaf, ya? Kesannya gue cengeng banget, cuma karena terima e-card gitu aja nangis. Dan udah berapa kali gue nangis di depan lo? Kayaknya bukan cuma Jumat kemarin itu ya?”  “Udahlah, Tha, nggak papa kok. Nggak usah diingat-ingat lagi. Gue ngerti perasaan lo waktu itu, pasti lo sedih banget karena jadi teringat Andra lagi. Gimanapun juga, dia kan mantan lo, lo pernah sayang sama dia…”
 Thalita menghela napas. “Memang. Tapi udahlah, dia udah masa lalu. Dan sekarang kan dia udah nggak ada…”  Darren menunduk, menatap Thalita yang memang lebih pendek darinya. Baru kali ini dia dengar Thalita menyebut Andra “masa lalu”. Sebelum ini, sepertinya Thalita nggak pernah mau rela lepas dari bayang-bayang Andra.  “Kenapa? Kaget?” tanya Thalita, seolah bisa membaca pikiran Darren.  “Mmm… ya, sedikit.”  “Yah, gue emang baru mengambil keputusan untuk melupakan Andra. Nggak gampang sih, tapi gue tahu gue harus berani nyoba. Gue kan harus menghilangkan rasa kopi pahit dalam mulut gue dengan nyari permen manis…”  “Hah? Kopi pahit? Apa hubungannya sama kopi pahit?” tanya Darren, heran setengah mati.  Thalita sadar dia baru saja melantur, bener-bener bego! “Hehe… nggak, bukan apa- apa kok. Itu cuma istilah yang dipakai temen gue aja, bukan dalam artian sebenernya lho…”  “Oh… gue kirain lo minum kopi pahit beneran…”  “Hehe, nggak kok. Oyaaa… ngomong-ngomong soal kopi, gue juga mau nagih janji lagi! Kalau boleh sih…”  “Janji apa?”  “Yang di Coffee Bean waktu itu kan gue nggak selera makan apa-apa karena ketemu Andra, jadiii… kalau gue minta traktir lagi, boleh nggak?”  Alis Darren terangkat. “Traktir lagi? Untuk ngerayain makalah Agama yang sukses itu?”  “Eh… iya…” Thalita menggaruk kepalanya yang nggak gatal, nyadar bahwa permintaannya barusan sangat konyol dan nggak tahu diri banget. Kok dia bisa jadi ngawur gini sih di depan Darren?  “Boleh,” jawab Darren, terdengar sama sekali nggak keberatan. “Mau di mana?”  Thalita bingung, nggak nyangka Darren mau saja menuruti permintaan bodohnya.  “J.Co Bintaro Plaza, gimana?”  “Boleh. Jam tujuh?”  “He-eh.” Thalita mengangguk menyetujui.  “Oke. See ya later.” 
* * *  
Waktu Thalita sampai di J.Co malam harinya, Darren sudah di sana.
 “Hai,” sapa Thalita sambil menjatuhkan dirinya di sofa yang berhadapan dengan Darren. “Sori gue telat. Biasa, macet.”  “Nggak papa, gue juga baru dateng kok. Eh, lo pesen aja dulu.”  Thalita mengangguk, lalu memesan Copa Banana dan Almonetta, plus segelas Toffee‟O di kasir. Agak maruk sih makan sebanyak itu, tapi mumpung ditraktir! Hihi…  Mereka lalu membahas pertandingan-pertandingan Liga Italia kemarin. Beberapa kali adu debat, tapi kebanyakan Thalita dan Darren senyam-senyum karena ternyata tim yang mereka jagokan sama. Thalita merasa fun banget bisa ngobrol-ngobrol bareng Darren kayak gini lagi. Berbulan-bulan mereka nggak pernah punya waktu untuk seru- seruan kayak gini cuma karena masalah Andra, tapi sekarang Thalita bersyukur banget karena udah mendapatkan teman diskusi bolanya lagi.  Tanpa terasa, pesanan mereka sudah habis semua. Dua jam sudah berlalu, dan Thalita baru sadar setelah melirik jam yang tertera di LCD HP-nya.  “Eh, udah malam,” gumamnya.  Darren mengikuti arah pandangan Thalita. “Iya ya…”  “Ren, makasih ya, gue seneng banget malem ini. Udah lama gue nggak hepi kayak gini, dan gue utang budi sama lo…”  “Ya ampun, Tha, kok ngomong gitu sih? Gue tuh seneng bisa lihat lo balik jadi ceria gini lagi. Tadinya gue kira, gue bener-bener udah kehilangan sosok Thalita yang fun dan asyik kalau diajak ngobrolin bola itu, tapi thanks God, I don‟t.”  Thalita tersenyum kecil, dan dia jadi merasa bersalah karena mendadak teringat tingkahnya pada Darren dulu, padahal cowok ini begini baiknya sama dia. “Gue juga mau minta maaf, soalnya… mungkin lo nyadar, di awal-awal kita kenal, gue seperti menjaga jarak banget dari lo…”  “Iya, sampai-sampai lo nggak ngizinin gue ke rumah lo walaupun itu buat kerja kelompok. Dan waktu mau nraktir lo aja, gue nyaris ditolak,” kelakar Darren. Cowok ini bener-bener easy going, kelihatannya dia nggak pernah pusing akan satu hal pun.  “Maaf ya,” pinta Thalita nggak enak. “Gue kayaknya jutek banget waktu itu, padahal… cewek-cewek lain pasti bakal dengan senang hati tukar posisi sama gue. Dan lo… lo juga pasti nggak pernah ditolak cewek, kan? Sementara gue seenaknya aja…”  “Nggak juga,” potong Darren. “Cewek yang benar-benar gue sayang malah nolak gue habis-habisan.”  Seperti ada yang baru menyumbat tenggorokan Thalita dengan sesuatu, karena mendadak dia jadi speechless. Dia, tanpa sadar, sudah memasuki wilayah privasi Darren. Obrolannya dengan Tatyana berbulan-bulan lalu, tentang cewek yang menolak Darren ini, seperti diputar ulang di depan mata Thalita.  “Eh… sori, Ren, gue sama sekali nggak bermaksud…”
 “It‟s okay. Gue emang berniat cerita sama lo kok. Rasanya nggak fair aja, selama ini lo selalu mau cerita masalah-masalah tentang Andra ke gue, tapi gue nggak pernah cerita apa pun sama lo soal masalah-masalah gue.”  “Jangan menganggap itu keharusan lho…”  “Nggak kok. Gue emang udah berencana pengin cerita tentang ini sama lo someday, tapi belum nemu saat yang tepat aja. Tapi karena kebetulan tadi kita ngebahas sampai ke sini, yah… gue rasa nggak ada salahnya gue cerita ke lo sekarang.”  Thalita terenyak. Darren mulai bercerita tentang cewek itu, cewek yang membuatnya patah hati setengah mati sampai dia tanpa sadar jadi dingin pada cewek- cewek lain. Cewek yang dia kira bisa membuatnya lupa pada kekecewaannya pada ibunya yang berselingkuh, tapi ternyata malah membuat luka hatinya makin dalam. Cewek yang menantangnya mencoba drugs dan semua hal terlarang lainnya, yang karena Darren menolak maka dia nggak pernah mendapatkan cewek yang disayanginya itu.  Sepanjang Darren bercerita, Thalita terpaksa pasang tampang pura-pura-nggak-tau, soalnya dia nggak mau membayangkan jika Darren tahu Thalita sudah pernah dengar cerita ini dari Tatyana.  “Namanya Cheryl,” kata Darren. Ekspresinya seperti orang yang dipaksa menelan biji kedondong waktu menyebutkan nama itu. “Gue nggak tau sekarang dia di mana dan entah udah jadi apa.”  “Lo… nggak pernah nyoba nyari tahu?”  “Buat apa? Toh gue kan memang berencana untuk ngelupain dia. Kalau gue nyari tahu soal dia, gue kan bakal makin susah ngelupain. Nggak ketemu bertahun-tahun malah bikin gue akhirnya bisa lupa. Cuma yah… nggak mungkin menghapus dia sama sekali, kan? Seperti kalau lo salah tulis di kertas dan menghapusnya pakai Tip-ex, bekas Tip-ex itu masih tetap akan ada, dan kertas yang lo tulisi itu nggak mungkin jadi bersih kembali seperti semula.”  Thalita manggut-manggut. Perumpamaan Darren pas banget, dan mungkin seperti itu jugalah segala ingatan tentang Andra dalam hidupnya. Dihapus seperti apa pun, nggak akan mungkin kembali bersih seperti semula.  “Eh, udah mau tutup nih,” kata Darren membuyarkan lamunan Thalita. Thalita melihat ke sekelilingnya, dan ternyata pengunjung J.Co yang tersisa cuma mereka. Waktu ternyata berlari begitu cepat ketika mereka mengobrol.  “Yuk, keluar.”  Mereka berdiri, lalu keluar menuju tempat parkir. Angin malam yang dingin menerpa wajah Thalita saat ia melewati ambang pintu Bintaro Plaza.  “Mobil lo parkir di mana?” tanya Darren.
 “Mmm… gue nggak bawa mobil. Tadi di-drop doang sih di sini, soalnya adik gue mau pakai mobilnya.”  “Terus, sekarang lo pulang naik apa?”  “Ya taksi. Tuh, ada banyak.” Thalita menuding deretan taksi yang ada di depan mereka.  “Gue antar aja deh, gimana?”  “Nggak usah, Ren, rumah gue deket kok. Di sektor tiga situ. Paling naik taksi cuma sepuluh menit.”  “Justru karena dekat itu, lo nggak usah takut ngerepotin gue buat minta diantar pulang.” Darren nyengir, dan Thalita jadi nggak bisa membantah lagi. “Kebetulan gue bawa mobil. Yah, mobil Bokap sih… soalnya akhir-akhir ini kan hujan deras terus, bisa basah kuyup gue kalau naik motor. Yuk, gue antar pulang aja, ya?”  Thalita mengangguk, dan tawaran untuk semobil sama Darren (yang pastinya GRATIS) memang terdengar lebih menggiurkan dibanding harus pulang naik taksi malam-malam sendirian (bayar, lagi!). Jadi Thalita mengekor Darren berjalan menuju mobil cowok itu, yang ternyata… sebuah BMW hitam gres!  Kalau nggak ingat kemungkinan buruk Darren bakal menganggapnya cewek matre, pasti Thalita udah melongo di situ. Wow! Cowok cakep dan mobil keren (walau itu mobil bokapnya), benar-benar kombinasi yang bisa bikin para cewek klepek-klepek!  Mau nggak mau Thalita jaim, berlagak dia udah sering naik BMW, dan duduk di jok samping pengemudi. Darren menjalankan mobilnya keluar dari parkiran Bintaro Plaza, dan mereka mulai melaju di jalanan yang ternyata macet. Entah ada apanya di Jakarta ini, sudah malam begini masih aja macet. Tapi entah kenapa, Thalita malah merasa senang melihat kemacetan ini. Dia kan jadi punya waktu lebih lama bareng Darren…  Eh? pikir Thalita bingung. Kenapa gue jadi kesenengan gini? Gawat, kalau anak- anak sekolah tau soal ini, apalagi fakta tentang gue yang diantar pulang Darren, pasti gosip langsung meledak tanpa ampun!  Thalita menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir sebersit perasaan senang yang tadi hinggap. Lumayan berhasil, dia jadi nggak mikir yang aneh-aneh lagi. Plus, Darren sekarang menyetel radio, jadi perhatian Thalita sedikit teralihkan oleh suara-suara dari radio itu.  “Yap! Barusan lo dengerin Sadis dari Afgan yang di-request sama Parjo. Buseett… yang namanya Parjo aja sekarang udah punya HP yak? Bisa SMS request juga doi!”  Penyiar radio itu berceloteh, membuat Thalita nggak tahan untuk nggak nyengir membayangkan mas-mas bernama Parjo, lengkap dengan peci dan sarung tersampir di bahu yang bertampang ndeso, mengirim SMS request ke radio. Bayangan itu membuatnya geli sendiri.
 “Nah, Parjo ngirimnya buat Parti, pembokat Bu Vony tetangga sebelah! Alamak!” Si penyiar terkekeh. “Kok buat pacarnya sendiri milih lagu Sadis sih, Bang? Bisa digampar lho ntar!” Si penyiar radio cengengesan lagi. “Ya udah, request berikutnya dari Daisy di SMA 23, buat Arya, gue sayaaanggg banget sama elo! Request Mengenangmu-nya Kerispatih. Lha! Ini lagi! Emang Arya-nya di mane, Mpok?”  Thalita melongo mendengar judul lagu itu, dan dalam hati berdoa mati-matian supaya lagu itu jangan diputar. Dia nggak mau menangis lagi waktu mendengarnya, seperti dulu waktu dia mendengar lagu itu di kafe entah apa namanya.  Tapi harapan Thalita nggak terkabul.  “Ya udah, gue puterin langsung deh, dari Daisy buat Arya, ini dia Mengenangmu dari Kerispatih.”  Dan intro lagu yang diiringi orkestra itu mengalun dalam mobil Darren, membuat Thalita menggigit bibirnya kuat-kuat. 
 Tak „kan pernah habis air mataku…  Bila kuingat tentang dirimu… 
 Ya Tuhan, jangan… Jangan biarkan aku menangis di sini… Jangan… Thalita memohon dalam hati. Aku harus bisa melupakan Andra, dan itu berarti juga mendengar semua hal yang membuatku teringat padanya, tapi tanpa menangis lagi…  Lagu itu terus mengalun, sementara Thalita setengah mati menahan air matanya. 
 Adakah di sana kau rindu padaku?  Meski kita kini ada di dunia berbeda… 
 Thalita menggigit bibirnya semakin kuat, dan tiba-tiba saja dia mendapati alunan lagu itu menghilang. Dia menoleh dan melihat ujung jari Darren ada pada tombol power radio.  “Jangan nangis, Tha. Jangan nangis lagi…”  Entah kenapa sepertinya air mata Thalita menuruti kata-kata Darren. Mendadak bendungan yang ada di pelupuknya menghilang, dan dia menghela napas dalam- dalam.  Dia akan melupakan Andra, seperti Darren melupakan Cheryl. 
* * * 
Sepuluh menit kemudian, mobil Darren berhenti di depan rumah Thalita, dan cewek itu melangkah turun dari mobil.
 “Makasih ya… Hati-hati di jalan,” kata Thalita sebelum menutup pintu mobil.  “Iya. Eh, Tha?”  “Ya?” Thalita melongokkan kepalanya ke dalam mobil lagi.  “May I try?” tanya Darren, dia menatap Thalita lurus-lurus.  Jantung Thalita berdegup kencang. Apa cowok ini barusan meminta izin untuk mendekatinya?  “Try what?”  “Replacing Andra…”  Thalita mengerjap. Dugaannya nggak salah. “Permen manis”-nya sudah ada.  “You may,” jawab Thalita sambil tersenyum, lalu menutup pintu mobil Darren dan berjalan menuju pagar rumahnya.                          
  
DELAPAN   
“Ren, gue mau ngomong.”  Darren menurunkan majalah sepak bola yang dibacanya, keningnya berkerut melihat tampang Tatyana yang serius menatapnya.  “Ya ngomong aja.”  “Tapi janji jangan marah…”  Kali ini Darren meletakkan majalahnya. “Tunggu, lo nggak melakukan sesuatu yang parah, kan?” tanyanya penuh curiga.  “Yah, cukup parah sih…”  “Jangan bilang lo ngebakar semua poster dan kliping bola gue.”  Tatyana mendengus. “Ya nggaklah, gue nggak segila itu. Ini… soal Thalita.”  “Thalita kenapa?”  “Mmm…” Tatyana menjatuhkan dirinya di sofa sebelah Darren. “Gue mau ngaku… dulu gue pernah minta Thalita untuk pedekate sama lo…”  Darren melongo. “Maksud lo?”  “Yah… soalnya gue… gue nggak tega aja lihat lo jadi dingin sama cewek sejak lo dikecewain Cheryl, dan gue lihat Thalita anaknya baik, lucu, dan… gue rasa dia bakal cocok sama lo, dan…”  Sunyi selama beberapa detik. Darren menatap adiknya ini lekat-lekat.  “Ya ampun, Lita!” seru Darren kemudian, membuat Tatyana nyaris terlonjak dari sofa yang didudukinya. “Lo nyadar nggak sih apa yang lo lakuin? Kesannya gue nggak sanggup cari cewek sendiri, tau nggak?! Terus… selama ini Thalita deket sama gue juga karena lo yang nyuruh? Bukan karena keinginan dia sendiri, gitu?” Darren meledak.  “Eh, Ren, bukan gitu… Sumpah bukan gitu maksud gue… Dan gue sama Thalita juga udah ngebatalin semua kesepakatan kami kok. Thalita bilang, perasaannya belum „kena‟ sama lo, dan itu mungkin karena saraf otaknya rusak gara-gara patah hati sama cowoknya dulu. Itu bikin gue jadi mikir lagi, dan gue nyadar gue ternyata stupid banget udah minta hal konyol kayak gitu ke Thalita, padahal cinta kan nggak bisa dipaksain…”  Otak Darren berputar cepat. Perasaan Thalita belum “kena” padanya?
 “Kapan itu?” Darren mulai mereda. Dia baru sadar percuma saja dia marah-marah sekarang. Malah mungkin lebih baik kalau dia mendengarkan semua omongan Tatyana.  “Udah lama, bulan-bulan awal tahun ajaran baru.”  Darren terdiam, dan dia berpikir. Mungkin itu sebabnya di awal tahun ajaran dulu, Thalita seperti “terpaksa” mendekatinya, tapi waktu Darren menunjukkan respons, cewek itu malah mundur teratur. Ya, pasti itu. Thalita mendekatinya karena diminta Tatyana, tapi dia mundur saat Darren menunjukkan respons, karena sebenarnya dia nggak suka pada Darren.  “Terus…,” Darren terdiam, agak ragu melanjutkan kalimatnya, “kenapa sekarang dia mau dekat sama gue? Bukan karena lo yang nyuruh lagi, kan?”  Tatyana cepat-cepat menggeleng. “Sueerrr… kali ini bukan gue yang nyuruh! Gue sendiri heran kok, kenapa kalian bisa dekat justru saat gue udah ngebatalin semua kesepakatan itu sama Thalita.”  “Dan kenapa… Thalita nggak pernah cerita soal semua ini ke gue?”  “Yah, dia kan nggak goblok, Ren. Dia pasti tau lo bakal marah banget seandainya dia cerita soal kesepakatan gue sama dia ini.”  “Terus… kenapa tiba-tiba lo sendiri yang cerita soal ini semua ke gue?”  “Eh… nggak ada maksud apa-apa sih… Gue cuma ngerasa nggak enak aja sama lo kalau lo nggak tahu tentang ini. Dan gue juga sebenernya penasaran kenapa sekarang Thalita bisa dekat sama lo tanpa terpaksa…”  Mungkin karena sekarang Andra udah nggak ada, jawab Darren dalam hati, karena itulah Thalita mulai bisa menerima gue.  Sekarang Darren menatap adiknya penuh selidik, dan Tatyana jadi sewot karena itu. “Kenapa? Lo nggak percaya sama gue, ya?”  “Nggak tau deh.”  “Darren, denger deh, kalau ada yang harus disalahkan atas semua ini, itu adalah gue. Gue yang minta Thalita pedekate sama lo, gue yang punya ide konyol itu, dan Thalita sama sekali nggak salah. Lo jangan marah sama dia ya? Gue udah seneng banget lihat kalian bisa deket kayak sekarang ini… dan gue nggak mau semuanya jadi kacau karena pengakuan gue barusan.”  “Iya deh iya… gue percaya. Jadi, yang sekarang ini bener-bener tanpa campur tangan lo?” Darren memastikan.  “Sejuta persen tanpa campur tangan gue!” kata Tatyana mantap. “Eh… tapi ada kontribusi gue juga sih. Gue kan berdoa tiap malam supaya lo bisa dapat cewek yang baik, dan ternyata lo malah bisa dekat sama Thalita. Itu kan bukti gue berkontribusi juga!”
 Darren meringis., lalu mengacak rambut Tatyana. “Makasih ya, Lit. Doain lagi supaya semuanya bisa lancar dan seperti yang lo dan gue inginkan, oke? Dan jangan ngulangin hal konyol itu lagi!”  “Oke!” 
* * * 
“Thaaaa, ngaku aja deh!”  “Apa sih, Nit???” desis Thalita jengkel. Sedari tadi Nita mengusiknya terus, sampai- sampai dia nggak konsen menyelesaikan latihan Kimia-nya, padahal buku latihan harus dikumpulkan kurang dari sepuluh menit lagi!  “Lo jadian ya, sama Darren? Ya, kan? Ya, kan? Ya, kan?”  “Nggak!”  “Ihh… ngaku aja kenapa sih? Kan biar gue nggak gangguin lo lagi! Gue penasaran banget, tahu nggak? Mana anak-anak pada tanya semua ke gue! Gue kan keki juga kalau gue bilang nggak tahu, padahal lo sahabat gue!”  Thalita manyun. Memang wajar kalau anak-anak SMA Persada Bangsa curiga dan kepengin tahu, soalnya bisa dibilang Darren dan Thalita sekarang kayak kembar siam. Ke mana-mana mereka nempel terus dan nggak pernah lepas! Yah… lepasnya cuma sekali-sekali sih, kalau Nita minta ditemani ke kantin tapi dia nggak mau jadi obat nyamuk, atau kalau Darren lagi ngumpul sama teman-temannya. Fakta di-mana-ada- Thalita-di-situ-pasti-ada-Darren-dan-sebaliknya itu jelas membuat sebagian besar isi SMA Persada Bangsa blingsatan saking penasarannya. Dan sekarang Nita jadi ikut- ikutan heboh, kayak wartawan infotainment yang kepengin mengorek gosip terpanas.  “Ya ampun, Nita… Ya lo bilang aja kalau gue nggak jadian sama Darren! Kenyataannya gitu kok!”  “Tapi kalo nggak jadian, kok kalian bisa deket banget? Dia pedekate sama lo, ya?”  “Nggak tahu!” jawab Thalita sewot. Tujuh menit sebelum waktu pengumpulan buku latihan.  “Yeee… kok nggak tau? Gimana sih?”  “Aduh, Nit, udahlah… nanti kalau misalnya gue jadian atau apa gitu, pasti lo yang pertama gue kasih tahu kok!”  “Bener?” tanya Nita, dan Thalita melihat mata sobatnya itu berbinar. Haduh, ampun deh anak satu ini!  “Iya! Sekarang diam deh!”  Nita diam, dan Thalita setengah mati berusaha konsen menyelesaikan latihan Kimia-nya. Sayang, dia gagal, karena waktu dia baru mau menulis rumus untuk soal
nomor empat, bel pergantian pelajaran berbunyi, dan itu berarti buku latihan harus dikumpulkan, selesai atau nggak.  Thalita jadi bete sepanjang sisa hari itu. Ternyata jadi “artis” yang lagi digosipkan memang nggak enak. Pantas aja Cut Memey dan Angel Lelga dulu selalu pasang tampang kusut bak kaus kaki kucel yang belum dicuci tiap kali nongol di infotainment. 
* * * 
Thalita menerima arum manis yang disodorkan Darren, dan langsung mencuili benda itu dengan penuh semangat. Malam ini mereka sedang jalan-jalan di pasar malam yang kebetulan ada di dekat kompleks perumahan Thalita. Thalita jelas girang banget, soalnya udah bertahun-tahun sejak terakhir kali dia ke pasar malam. Bukan berarti sebelum-sebelum ini nggak ada, tapi Thalita kan bete aja gitu kalau ke pasar malam sendirian. Gimana kalo di situ ada mas-mas jablay iseng yang doyan gangguin cewek yang datang sendirian kayak dia?  Satu jam yang lalu Thalita agak kaget waktu Darren bilang mau mengajaknya ke sini. Darren bilang sih, dia tadi melewati pasar malam ini dalam perjalanan ke rumah Thalita, dan mendadak jadi punya ide untuk mengajak Thalita jalan-jalan ke situ.  Yah, seperti sudah diduga, intensitas Darren main ke rumah Thalita memang semakin sering, dan semakin membuat Acha curigation (ini istilah ngaco anak bengal ini sendiri untuk mendefinisikan perasaannya, karena mana ada sih kata curigation di kamus bahasa Inggris mana pun?) Darren dan kakaknya sudah jadian. Papa-Mama juga sumringah karena melihat Thalita nggak kehilangan semangat hidup lagi sejak meninggalnya Andra.  “Sayang ya, di sini ukuran permainannya mini semua, kita jadi nggak bisa naik deh,” celoteh Thalita sambil menunjuk komidi putar yang jelas-jelas memasang tulisan “untuk anak usia 3-10 tahun” yang ada di depan mereka.  “Emang kenapa? Lo masih kepingin naik?” tanya Darren geli.  “Iya sih… tapi daripada permainannya jebol dan gue dimintain ganti rugi sama yang punya, mending nggak usah deh, hehe…”  Darren tertawa. Dia udah sangat terbiasa dengan segala tingkah Thalita yang polos dan lucu itu, terutama sejak frekuensi mereka bareng meningkat seminggu belakangan ini. Dan ia sangat menikmati semua itu.  Lalu, tiba-tiba Darren teringat obrolannya dengan Tatyana kemarin, dan dia nggak bisa menahan diri untuk bertanya.  “Tha, gue mau nanya sesuatu, boleh?”
 Thalita berhenti mencuili arum manisnya, dan menatap Darren. Mau nanya apa dia? batin Thalita heran. Jangan-jangan… dia mau nembak gue sekarang? Haduh, Tuhan, tolong!  “Mmm… boleh… Nanya aja…,” jawab Thalita, deg-degan karena sama sekali nggak punya persiapan kalau dugaannya soal apa yang bakal ditanyakan Darren ternyata benar.  “Apa dulu lo sama Tatyana pernah bikin… suatu kesepakatan?”  Kalau saja mulut Thalita masih penuh dengan arum manis, dia pasti sudah tersedak. Untung semua arum manis di dalam mulut sudah habis ditelannya, jadi dia sekarang hanya bengong.  “Eh… ng… kesepakatan apa maksud lo?” tanya Thalita sok nyantai. Dia nggak tahu kalau Darren sebenarnya udah tahu semuanya dari Tatyana.  “Hmm… sebenernya gue agak malu ngomongnya, tapi… kesepakatan itu tentang Tatyana yang minta lo untuk pedekate gue.”  Sekarang, nggak peduli ada atau nggak ada arum manis di dalam mulutnya, Thalita benar-benar tersedak.  “Uhukkk… Uhukkkk…”  “Eh, Tha, lo nggak papa?” tanya Darren khawatir. Dia menepuk-nepuk punggung Thalita lembut, dan jadi merasa nggak enak karena udah mengajukan pertanyaan yang bikin Thalita tersedak saking kagetnya.  “Uhukk… nggak papa. Nggak papa…”  “Sori, pertanyaan gue bikin lo kaget, ya?”  “Mmmhh… iya… sedikit…” Thalita menggigit bibirnya.  “So? Itu bener apa nggak?”  Thalita memutar otak. Aduuhh… kalau gue jawab jujur, nanti Darren tahu dan dia bisa ngamuk sama Tatyana… batin Thalita bingung. Tapi gue juga nggak enak harus bohong sama dia…  Darren rupanya bisa melihat tampang Thalita yang pusing tujuh keliling, jadi dia menambahkan, “Tenang aja, sebenernya Tatyana sendiri udah cerita ke gue. Gue cuma pengin mastiin aja ke lo.”  Hah? Jadi dia udah tahu? Dan cuma pengin mastiin aja? pikir Thalita keki.  “Yah… kalau lo udah tahu sih, gue mau ngomong apa lagi? Itu bener…” Thalita menelan ludah. Dia merasa malu sekali. “Eh, tapi gue sama Tatyana udah membatalkan kesepakatan itu kok,” tambahnya cepat, takut Darren mengira sekarang mereka dekat karena Thalita masih “utang” menepati janji pada Tatyana.
 “Iya, Tatyana juga bilang gitu kok.” Darren menendang batu-batu kecil yang kebetulan berada di depan kakinya. “Jadi… sekarang ini kita bisa dekat bukan karena lo dipaksa Tatyana, kan?” tanya Darren memastikan.  Thalita kontan menggeleng. “Nggak lah, Ren…”  Darren tersenyum, sementara Thalita masih merasa nggak enak dalam hatinya.  “Sebenernya,” lanjut Thalita, “kalau boleh jujur, gue memang dulu awalnya berusaha deketin lo karena disuruh Tatyana. Dia nggak tega lihat lo kecewa terus- menerus sama cewek yang bikin lo patah hati dulu itu. Tapi setelah gue kenal elo… gue justru merasa berterima kasih sama Tatyana. Kalau dulu dia nggak nyuruh gue, mungkin gue nggak akan tahu lo ternyata orang yang menyenangkan banget.”  “Oh, jadi gue nggak kelihatan menyenangkan ya kalo dari luarnya aja?”  “Haha… bukan gitu. Tapi lo kan… cakep. Idola sekolah. Dan biasanya cowok- cowok semacam itu tuh belagu banget. Snob. Gue nggak nyangka aja lo ternyata orang yang care sama temen dan friendly banget.”  Darren tampak terpukau karena Thalita barusan memujinya.  “Tapi sekarang udah ketahuan kan kalo gue humble, nggak sok seperti yang lo bayangin sebelumnya?”  “Itulah. Dan gue senang banget bisa kenal Darren yang humble itu,” kata Thalita lucu, sengaja menekankan suaranya pada kata “humble”.  “Gue juga seneng banget karena lo ngasih gue kesempatan untuk bisa mengenal lo. Makasih ya, Tha.”  Thalita cuma bisa merah padam seperti kepiting rebus waktu dia menyadari tangan Darren sudah melingkari bahunya. Rasanya aneh, tapi juga… hangat. Sama seperti ketika Darren memeluknya sebelum-sebelum ini.  Dengan heran Thalita tersadar, perasaan hangat seperti inilah yang dulu dimilikinya kalau Andra ada di dekatnya. Sekarang ada orang lain yang mampu menghadirkan perasaan yang sama di hatinya setelah Andra nggak ada. 
* * * 
Darren menghentikan motornya di tepi jalan, tepat di puncak bukit. Thalita turun dari jok motor dan melepas helm teropongnya. Angin dingin menerpa, tapi Thalita nggak sempat menggigil, karena dia sudah keburu melongo saat dihadapkan pada pemandangan indah yang membentang di depannya.  Malam ini Darren bilang mau menunjukkan sesuatu yang indah pada Thalita. Tadinya Thalita bingung “sesuatu” itu apa. Tapi sekarang dia tahu, pasti yang
dimaksud Darren pemandangan lembah dengan lampu-lampu beraneka warna dari rumah-rumah penduduk di bawah sana.  Mereka sudah berkendara satu jam lebih dari rumah Thalita, dan pastinya sekarang berada di luar Jakarta, entah di kawasan apa, tapi yang jelas udaranya masih sejuk. Thalita bahkan bisa mendengar suara jangkrik bersahutan di sekitarnya.  “Lo suka?” tanya Darren.  “Ini… ini bagus banget, Ren… Dari mana lo tahu ada tempat sebagus ini?”  “Dari sopir gue waktu kecil, namanya Mang Ujang.”  Thalita mengangkat alis, heran. Darren tahu tempat sebagus ini dari sopirnya semasa kecil?  “Lo pasti masih ingat ortu gue udah cerai?” tanya Darren.  Thalita mengangguk.  “Jauh sebelum itu, sejak bertahun-tahun sebelumnya, Papa dan Mama udah sering bertengkar. Mereka selalu adu mulut di rumah, apalagi setelah Mama ketahuan berselingkuh. Waktu itu… gue sendiri nggak tahu gimana gue bisa melalui masa-masa itu. Tapi yang gue ingat adalah, setiap malam saat Mama nggak pulang dan Papa memilih untuk mendekam di kantornya, gue dan Tatyana menangis sepanjang malam di kamar. Besoknya kami bangun dan ke sekolah dengan mata bengkak…”  Darren tertawa kecil, dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Thalita sampai bingung harus ngomong apa, jadi dia membiarkan Darren melanjutkan ceritanya.  “Mang Ujang selalu sedih kalau melihat mata gue dan Tatyana bengkak setiap dia mengantar kami ke sekolah. Jadi suatu malam, waktu Papa dan Mama nggak ada di rumah seperti biasa, dia mengajak kami jalan-jalan… ke sini.”  “Ke sini?”  “Iya. Dia bilang, semasa remajanya dulu, apalagi sewaktu ayahnya baru meninggal, dia selalu ke sini untuk memandangi lampu dan mendengar suara jangkrik setiap malam. Kadang menghitung bintang juga. Semua itu dia lakukan untuk melupakan rasa sedihnya, and it works. Jadi dia pengin gue dan Tatyana bisa melakukan hal yang sama. At least, kalau ada sesuatu yang terlalu indah di depan mata untuk dikagumi, gue dan Tatyana nggak akan ingat kenangan buruk tentang ortu kami lagi.”  Darren merentangkan tangannya lebar-lebar dan menghela napas dalam, seolah ingin menyimpan seluruh udara sejuk yang ada di bukit itu ke dalam paru-parunya.  “Sejak itu, gue dan Tatyana nggak pernah menangisi ortu kami lagi. Kami diajak ke sini setiap malam, dan Mang Ujang mengajak kami ngobrol segala macam, sampai kadang gue merasa… gue lebih menyayangi dia daripada menyayangi bokap gue sendiri…”  “Mang Ujang baik banget, ya? Gue jadi kepengin ketemu dia…”
 “Gue juga, Tha. Di saat-saat sedih, gue selalu ingat dia. Sayang, kami nggak pernah bisa ketemu lagi…”  “Kenapa? Mang Ujang pindah ke kota lain?”  “Iya. Sekitar empat tahun yang lalu, Mang Ujang nikah, setelah itu dia pindah ke Banda Aceh bersama istrinya. Tapi…”  “Lo lose contact sama dia?” tebak Thalita.  Darren menggeleng. “Mang Ujang, juga istrinya… termasuk di antara ribuan korban tewas dalam bencana tsunami di Aceh…”  “Ya Tuhan,” gumam Thalita pahit.  “Gue bener-bener nggak tahu harus gimana waktu itu. Gue nggak habis pikir kenapa orang sebaik Mang Ujang bisa bernasib begitu buruk, sementara banyak orang jahat di dunia ini punya nasib yang jauh lebih baik.”  “Yah… we never know. Itu kan rahasia Tuhan, Ren. Banyak rencana Tuhan yang memang nggak bisa dinalar logika manusia.”  “Iya juga sih. Dan dengan kejadian itu gue jadi bisa lebih kuat, plus ingat untuk sering-sering datang ke tempat ini lagi, sekadar mengingat gimana baiknya Mang Ujang dulu ke gue dan Tatyana.”  “Terus… kenapa lo sekarang ngajak gue ke sini?”  “Karena dulu gue pernah janji sama Mang Ujang, kalau suatu saat gue kenal seseorang yang istimewa buat gue, gue akan mengajaknya ke tempat ini.”  Thalita mendongak, dan sekali lagi memandangi pemandangan luar biasa yang terpampang di hadapannya. Ini semua memang indah, tapi mendengar Darren menganggapnya istimewa entah mengapa membuat semua pemandangan itu jadi terlihat sejuta kali lebih indah. 
* * * 
Thalita menutup pintu depan rumah dengan senyum yang masih mengembang lebar. Dia nggak menyadari ada seseorang yang menunggunya di ruang tamu.  “Hei.”  Thalita menengok, dan melihat Acha berdiri di belakangnya dengan tampang penuh rasa ingin tahu. Idiihhh…  “Apa?”  “Gue to the point aja ya, sebenernya lo sama Darren udah jadian belum sih?”  Kalau ini di dalam komik, pasti sudah muncul gambar keringat segede gaban di kepala Thalita.
 “Emang kenapa?” tanya Thalita nggak minat. Di sekolah, Nita merongrongnya dengan pertanyaan ini, eh… sekarang di rumah, Acha juga melakukan hal yang sama!  “Ya kan kalau udah jadian, ada pajaknya,” jawab Acha sambil mengedip usil.  Oohh… ternyata ini maksud Acha nanya-nanya! gerutu Thalita dalam hati. “Kalau udah urusan perut aja, dia mau repot!  “Gue belum jadian kok.”  “Ah… jangan bohong!” Acha maju beberapa langkah dan menepuk bahu Thalita kuat-kuat. “Atau lo mau menghindar dari kewajiban nraktir? Jangan harap ya! Dulu waktu gue baru sepuluh menit jadian sama Ruben, lo udah nodong traktiran! Jadi jangan kira sekarang gue nggak akan melakukan hal yang sama!”  “Apaan sih? Orang gue jawab jujur, juga!” Thalita mulai sewot.  “Eh? Jadi bener nih belum jadian? Tapi, Tha, kok gue lihat kalian dekeeettt banget gitu. Dan itu kan… udah hampir dua bulan? Masa Darren masih pedekate sih? Kelamaan tau! Lo bisa keburu basi ntar!”  Thalita terdiam, dalam hati mengakui kata-kata Acha ada benarnya juga. Sudah hampir dua bulan sejak Darren meminta kesempatan pada Thalita untuk menggantikan Andra, tapi sampai sekarang Darren belum nembak juga.  Bukannya Thalita mau buru-buru ditembak sih, tapi kan…  Okeee… sekarang dia memang MENGHARAP Darren bakal segera menyatakan perasaannya. Soalnya, jujur aja nih, Thalita mulai gerah sama pertanyaan orang-orang di sekitarnya soal status dia dan Darren. Dibilang belum jadian, nggak ada yang percaya. Tapi dibilang jadian juga belum, dan Thalita nggak mau sok berkoar-koar. Bisa gawat kan kalau Darren tahu soal ini dan buntut-buntutnya malah ilfil?!  Selain itu… Thalita juga menyadari, dia sudah benar-benar sayang sama Darren. Cowok itu selalu ada di dekatnya saat dia butuh, dan selalu bisa mengerti dia. Seperti menemukan pengganti Andra dalam sejuta kali lebih baik. Dan Thalita nggak bisa membayangkan kalau nantinya dia bakal kehilangan Darren. Sama siapa lagi dia bisa ngobrolin bola sampai berjam-jam? Sama siapa lagi dia bakal menjelajah kafe-kafe seantero Jakarta? Cowok mana lagi yang bisa membawanya ke puncak bukit indah dan menyebut dirinya “istimewa”? Cowok mana lagi kalau bukan Darren?  “Tha! Eeehh… malah ngelamun ini anak!” Acha mengomel. “Darren udah nunjukin tanda-tanda bakal nembak belum sih?!”  “Udahlah, Cha, lo nggak usah heboh gitu deh. Gue nggak mau jadi kepikiran gara- gara semua omongan lo barusan. Gue udah cukup hepi kok sama kondisi gue yang sekarang.”  “Iya sih lo hepi, tapi gue gemeesss! Gimana kalau…”
 “Tenang aja, gue yakin Darren nggak punya niat buruk atau bermaksud mainin gue kok. Mungkin dia… cuma nunggu waktu yang tepat aja. Who knows?”  Acha terdiam. Thalita melihat adiknya itu dua kali menghela napas dalam-dalam.  “Gue nggak bermasuk ngerecokin, Tha, gue cuma… nggak mau lihat lo sedih lagi…”  “Sedih lagi? Kenapa gue harus sedih?”  “Yah… kalau Darren ternyata cuma mau HTS aja sama lo, dan lo jadi patah hati… padahal gue udah seneng banget lo deket sama Darren sekarang. Dia kan orang yang bisa membuat lo bersemangat hidup lagi setelah Andra meninggal.”  Thalita bengong, terpukau kata-kata Acha. Dia nggak pernah tau adiknya ternyata perhatian banget sama dia. Padahal Acha yang dikenalnya selama ini adalah Acha yang suka usil dan mengganggunya dalam segala hal.  “Jangan khawatir, Cha. Kalau lo harus percaya sama seseorang untuk nggak membuat gue sedih, orang itu adalah Darren.” 
* * * 
“Gue harus gimana dong?” Gara-gara kepikiran semua omongan Acha, Thalita jadi nggak bisa tidur. Akibatnya, dia menelepon Jennie tengah malam, membuat sobatnya itu entah mendengarkan entah tidur di telepon seberang sana.  “Jeeeeennn… gue harus gimana? Tadinya gue nggak mikir sampai ke sini. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya emang udah terlalu lama deh… Hampir dua bulan! Padahal gue baca di majalah C-Girl minggu ini, jangka waktu pedekate cowok ke cewek itu rata-rata cuma dua minggu!” Thalita mencerocos panjang-lebar. Mau nggak mau akhirnya Jennie merespons juga, walaupun dia bicara dengan mata masih terpejam.  “Hoaahhmmm… itu kan RATA-RATA, jadi nggak harus semua cowok pedekate dalam jangka waktu segitu.”  “Iya, tapi rata-rata kan berarti mayoritas! Dan yang mayoritas itu biasanya yang normal! Gue jadi takut…”  “Udahlah, jangan dipikirin lagi! Ini sama kayak standar di kalangan cewek. Kalau ukuran bra rata-rata cewek umur enam belas tahun adalah 34A, memangnya dengan begitu cewek yang ukurannya cuma 32 berarti nggak normal? Terus gimana yang 36B? Nggak normal juga?”  Thalita nggak bisa menahan diri untuk nggak ngakak habis-habisan. Jennie ini! Dalam kondisi setengah tidur aja dia bisa bikin perumpamaan dahsyat!  “Teruuuusss… gue harus gimana?”
 “Ya udah sabar aja, kaleeee. Darren kan jelas-jelas menunjukkan dia suka sama lo. Perhatian, sering ngajak jalan, dan dia juga terang-terang minta kesempatan ke lo untuk berusaha menggantikan tempat Andra! Itu udah cukup menunjukkan dia suka sama lo, tau nggak? Soal peresmian status sih tinggal masalah waktu. Lo-nya aja yang nggak sabaran!”  “Jadi, gue nunggu aja nih?” Thalita berusaha memastikan sekali lagi, berharap Jennie punya saran yang lebih tokcer. Ngasih guna-guna ke Darren biar cowok itu nggak pedekate kelamaan, mungkin.  “Lhaelaahh… masih nanya? Ya udah tunggu aja! Kecuali lo emang udah ngebet dan mau nembak duluan, gue rasa itu boleh juga.”  “Ih… Jennie! Ya nggaklah! Gue tuh tipe cewek „penunggu‟, tau nggak?”  “Penunggu kuburan? Hwahahaha…!” Jennie terbahak. Thalita jadi manyun. “Udahlah, Neng, nyatai aja, oke? Gue seneng banget ngeliat lo yang sekarang, dan gue jadi berterima kasih juga sama Darren karena udah bikin lo bisa punya semangat hidup lagi. Tapi kalau lo mau nunggu ditembak, ya lo sabar aja… Dalam waktu dekatlah, prediksi gue.”  Thalita terdiam. Malam ini saja sudah dua orang terdekatnya yang mengatakan mereka sangat bersyukur ada cowok bernama Darren di dekat Thalita: Acha dan Jennie. Berarti Darren memang sudah mendapat tempat di hati orang-orang terdekat Thalita. Dan gimana mungkin Darren nggak mendapat tempat di hati Thalita juga?  “Ya udah ya, gue mau tidur lagi nih! Ngantuk! Dadahhh!”  Tanpa menunggu jawaban Thalita lagi, Jennie menutup teleponnya.  “Huuuh! Ya sudahlah… Kok gue jadi pusing gini? Emang gue sekarang sayang banget sih sekarang sama Darren… tapi kok kayaknya gue jadi ngebet gini, ya? Hii… jadi serem sama diri sendiri!” Thalita bergidik, lalu membenamkan diri ke balik selimut. Dalam waktu kurang dari lima menit, dia sudah terlelap. 
* * * 
Menurut nasihat Jennie, Thalita berusaha lebih sabar kalau ada di dekat Darren. Berulang kali cowok itu menunjukkan gelagat mau nembak, tapi ujung-ujungnya malah dia cuma melakukan tindakan manis, seperti memberi Thalita bunga atau mengajaknya menjelajahi kafe-kafe yang terkenal dengan menunya yang sedap-sedap.  Thalita juga berpikir, bego banget dia kalau malah kepikiran soal kapan-Darren- akan-menembaknya ini terus-menerus, karena bisa-bisa dia jadi nggak menikmati setiap momen bersama Darren.
 Akhirnya Thalita berusaha nyantai, dan setiap kali kepikiran soal itu menyerbu otaknya, dia sudah punya berbagai alasan. Lagi pula, Thalita tahu, ada kemungkinan Darren kepengin lebih memantapkan hatinya dulu sebelum nembak. Gimanapun juga, Darren dulu pernah ditolak oleh cewek pertama dan satu-satunya yang pernah ditembaknya! Apa mungkin sekarang dia takut bakal ditolak juga?  Ah, pikir Thalita, apa gue masih terkesan kaku ya kalau dekat dia? Atau dia takut gue masih terbayang-bayang Andra? Memang sih, gue belum ngelupain Andra sepenuhnya, tapi gue udah mulai bisa terima kenyataan. Sekarang gue tahu, kalau dulu Tuhan memanggil Andra pulang, itu supaya gue punya alasan untuk melupakan Andra, dan punya kesempatan untuk menikmati masa-masa indah sama cowok lain yang lebih baik segalanya daripada dia…  “Hei, Tha, berangkat sekarang?”  Lamunan Thalita buyar seketika, karena Darren sudah berdiri di hadapannya. Malam ini mereka memang punya rencana nonton bola di acara Nonton Bareng di Random Cafe. Kebetulan sedang ada Final Liga Champions yang sangat seru antara Manchester United dan Chelsea, jadi kafe ini mengadakan acara nonton bareng.  “Eh, lo udah datang,” gumam Thalita nggak penting. Kan jelas-jelas Darren udah di depan matanya. “Iya deh, berangkat sekarang aja.”  Mereka berpamitan pada ortu Thalita, lalu berangkat ke Random Cafe. Lalu lintas nggak begitu padat, jadi dalam waktu kurang dari setengah jam mereka udah sampai di sana. Kafe itu terlihat ramai dari luar. Kelihatannya banyak penggemar The Red Devils dan The Blues yang sudah berkumpul di dalam sana.  “Wah, rame banget, ya?” gumam Thalita, melihat lahan parkir yang penuh.  “Iyalah. Final Liga Champions. Gengsinya gede dan pertandingannya bakal seru, makanya penontonnya rame.”  Thalita menyerahkan helm yang tadi dipakainya pada Darren, lalu mereka berjalan memasuki Random Cafe. Suasana di dalam ternyata sudah ramai sekali. Ada presenter yang sedang mengadakan kuis, juga bolamania yang berlomba mengungkapkan prediksi masing-masing untuk pertandingan nanti.  Thalita berjalan mengikuti Darren melewati orang-orang yang penuh sesak di Random Cafe. Dia heran mendapati mereka berjalan menuju meja terdepan, tempat mereka bisa mendapat pandangan tanpa gangguan ke giant screen yang nantinya akan dipakai menyiarkan acara.  Waiter datang, dan langsung mengangkat papan bertuliskan RESERVED yang tadinya terpasang di atas meja.  “Ren, emangnya lo udah reservasi, ya?” tanya Thalita heran. DIa pernah beberapa kali datang ke acara nonton bareng seperti ini, dan dia tahu pasti bahwa memesan meja
sebelum acara, apalagi kalau posisi meja tersebut strategis, pasti menghabiskan uang yang nggak sedikit.  “Iya. Habis kalau nggak, ntar kita nggak dapat tempat, lagi. Lo lihat deh, acara belum mulai aja tempatnya udah penuh gini. Kalau gue nggak reservasi, bisa-bisa kita cuma dapat tempat di sana tuh!” Tangan Darren menunjuk ke bagian belakang kafe, yang jelas memiliki tingkat kenyamanan jauh di bawah tempat mereka sekarang.  “Iya sih… tapi kenapa lo reservasi meja paling depan?”  “Mmm… nggak papa sih. Gue cuma pengin mastiin lo dapat tempat terbaik aja,” jawab Darren.  Thalita speechless mendengar jawaban itu. Wow! Dia nggak pernah dapat perlakuan semanis ini sebelumnya!  Sekali lagi waiter datang, dan meletakkan dua botol coke di atas meja, lengkap dengan dua gelas besar berisi es batu. Dia juga meletakkan sekeranjang french fries kuning keemasan yang kayaknya yummy banget.  “Ada pesanan tambahan, Mas?” tanya waiter itu.  Darren dan Thalita sama-sama menatap kartu berisi daftar menu yang ada di atas meja.  “Lo mau pesan, Tha?”  Thalita menggeleng. “Kan udah ada french fries nih.” Dia menuding keranjang mungil di hadapan mereka.  “Ya itu kan cuma camilan. Nanti lo nggak kenyang. Pesan lagi, ya? Mumpung bolanya belum mulai?”  Thalita jadi bingung, dan dia juga nggak bisa menutupi rasa mupengnya melihat tulisan Cajun Calamari, Omelette with Onion and Sausages, Club Sandwich, dan lain sebagainya di kartu menu di hadapannya itu.  “Mmm… kalau gitu Club Sandwich satu deh,” pesannya. Sang waiter dengan sigap mencatat pesanan Thalita dalam notes mungil yang ada dalam genggamannya.  “Saya Cajun aja deh kalau gitu,” Darren ikut memesan.  Waiter itu mencatat sekali lagi, lalu beranjak dari situ. Lima belas menit kemudian dia kembali sambil membawa pesanan Darren dan Thalita, menguarkan aroma sedap yang membuat perut Thalita meronta-ronta.  Begitu sandwich itu terhidang di hadapannya, Thalita langsung melahapnya. Dia nggak ingat lagi untuk memotongnya menjadi potongan kecil-kecil, hal yang PASTI akan dilakukan sejuta cewek jaim lainnya kalau mereka makan semeja dengan cowok seperti Darren. Untunglah, Darren kayaknya nggak keberatan dengan kelakuan Thalita yang selebor itu.
 Tepat ketika makanan mereka habis, acara dimulai. Thalita langsung asyik menyimak para komentator yang memberikan prediksi-prediksi, dan dia semakin nggak berkedip ketika pertandingan dimulai. Sesekali dia mengomel kalau tendangan Christiano Ronaldo jauh di atas mistar gawang, atau kalau ada pemain Chelsea yang berusaha menyerang gawang MU. Saking asyiknya, Thalita nggak sadar Darren beberapa kali memandanginya diam-diam.  Akhirnya pertandingan itu selesai juga. Berakhir dengan adu penalti yang benar- benar menegangkan. MU akhirnya menang penalti dengan skor 6-5. Thalita turun dari kursi tinggi yang didudukinya, lalu meregangkan badan sedikit (lagi-lagi tindakan yang nggak mungkin dilakukan cewek jaim mana pun di depan Darren!). Dia melihat Darren memanggil waiter, lalu waiter yang tadi mengantarkan pesanan mereka datang sambil membawa buku kecil bersampul kulit cokelat berisi bill mereka.  Darren membuka buku cokelat itu, tapi tak sampai lima detik dia sudah menutupnya lagi, seakan-akan ada gambar horor di dalam buku itu. Sekali lagi dia membukanya, dan kali ini ekspresinya berubah. Dia kelihatan seperti orang khawatir, dan Thalita sampai bisa membayangkan sebentar lagi bakal ada bulir-bulir keringat yang muncul di dahi Darren.  “Ren? Lo nggak papa?” tanya Thalita, keningnya berkerut.  “Mmmhh… nggak, gue nggak papa. Everything‟s alright,” jawab Darren dengan nada yang sama sekali nggak meyakinkan. Dan dari cara Darren melirik waiter yang sedang menunggu di sebelah mereka, Thalita yakin, everything isn‟t alright.  “Ada yang nggak beres, ya?”  “Ah, nggak kok. Semuanya beres. Iya… beres…” Darren tersenyum, tapi itu jelas senyum yang dipaksakan. Apalagi cowok itu terlihat mulai merogoh-rogoh saku celana jinsnya, dan tampangnya semakin kecut. Gelagatnya benar-benar aneh!  Akhirnya Thalita paham apa yang nggak beres itu, karena Darren terus-terusan melihat ke arah buku bill yang ada di meja.  Mati gue! rutuk Thalita dalam hati. Apa uang Darren nggak cukup buat bayar bill- nya? Ya ampuuunn… ini gara-gara gue sih, pakai pesan club sandwich segala! Padahal kan gue tau di Random ini makanannya mahal-mahal. Dan karena ingin menyenangkan gue juga, Darren sampai bela-belain reservasi meja paling depan! Pasti sekarang tagihannya gede banget. Haduh, gue emang bisanya nyusahin orang doang!  “Mmm… Ren, apa… apa ada masalah sama… bill-nya?” tanya Thalita dengan suara rendah. Dia sebenarnya gambling juga bertanya seperti ini. Gimana kalau Darren malah merasa terhina karena Thalita menganggapnya nggak sanggup membayar bill mereka? Cowok kan biasanya punya gengsi selangit! Tapi… kalau Thalita nggak nanya, dia bisa mati penasaran di sini! Lagi pula, dia nggak keberatan kok kalau harus ikut membayar.
 “Nggak kok, Tha, nggak ada masalah sama bill-nya. Nggak ada masalah sama apa pun. Semuanya baik-baik aja kok.”  Thalita mengernyit, seperti melihat ibu-ibu yang hamil tua mengerang kesakitan karena kontraksi menjelang melahirkan, tapi malah mengaku-aku dia mengaduh karena jarinya baru saja terjepit pintu.  “Lo… yakin?”  Darren menggigit bibir, dan sekarang dia kelihatan benar-benar ketakutan. “Yah… sebenarnya gue nggak yakin-yakin amat…” jawabnya lirih.  Thalita mencelos. Benar kan dugaannya! Darren pasti bersikap aneh begini gara- gara bill mereka yang overbudget!  “Kurang berapa?”  “Apanya?” tanya Darren bingung.  “Eh… uangnya…,” kata Thalita sambil mulai mengoprek-oprek isi tasnya, dan mengeluarkan dompet. Dia memaki-maki dalam hati karena dia tadi sengaja nggak membawa uang banyak, plus meninggalkan kartu debitnya di rumah! Goblok pangkat sejuta!  “Itu… anu…” Darren tergagap, tangannya menuding buku bill mereka. Si waiter yang berdiri di sebelah mereka kelihatannya udah nggak sabar untuk menggiring mereka ke air comberan di belakang sana dan memaksa mereka kerja rodi semalaman dengan mencuci piring karena nggak sanggup bayar tagihan. Dari ekspresi si waiter, Thalita bisa memperkirakan waiter itu pasti sedang mengomel kalau-nggak-sanggup- bayar-ya-jangan-pesan! dalam hatinya.  Takut-takut, Thalita meraih buku bill itu. Dalam hati dia berdoa, semoga tagihannya nggak besar-besar amat, dan berapa pun yang dia bawa sekarang, bisa dipakai untuk menutupi kekurangannya.  Tangan Thalita gemetar sewaktu membukanya, dan dia melongo begitu sudah membaca apa yang tertulis di dalam buku bill itu.  Bukan, bukan tagihan yang selangit. Di situ malah nggak tertera tagihan apa pun, atau daftar makanan yang sudah mereka pesan tadi. Yang ada malah kertas kalkir berwarna biru lembut yang berkilau, dengan huruf-huruf perak yang membentuk tulisan: 
 Would you be my girl? 
 Thalita menurunkan buku bill itu dari hadapan wajahnya, dan dia mendapati Darren yang tersenyum, walaupun dia masih bisa menangkap serbesit rasa nervous di senyum itu. Wajah si waiter yang tadi sepertinya nggak sabar menyeret mereka ke bak
cuci piring juga sekarang berubah jadi berseri-seri, kayak anak kecil yang baru dibelikan es krim satu wadah penuh dan diizinkan menghabiskannya. Dan entah Thalita berhalusinasi saking kagetnya atau apa, dia juga menyadari seluruh waiter di Random Cafe, bahkan beberapa pengunjung yang belum pulang, sekarang menatapnya dengan pandangan berterima kasih karena sudah mengizinkan mereka menyaksikan adegan romantis secara live.  “Ini…”  “Maaf ya, aku sampai harus bikin kamu khawatir kayak tadi,” kata Darren sambil tersenyum.  Thalita bengong mendengar Darren menggunakan aku-kamu dalam kalimatnya. Selama ini kan mereka selalu ngomong pakai lo-gue, kenapa sekarang…? Ah ya, Darren kan baru saja menembaknya. Dan kalau mereka jadian (in case THalita menjawab “ya”), nggak mungkin mereka masih tetap bicara dengan lo-gue, kan?  “Ren, ini…”  “What‟s your answer?”  Thalita menelan ludah. Dia nggak bisa bohong. Sudah beberapa minggu belakangan ini dia menunggu untuk bisa menjawab pertanyaan itu, tapi sekarang, saat pertanyaan itu benar-benar diajukan, rasanya lidah Thalita mendadak kelu… Apalagi, di sekitarnya sekarang penuh dengan orang yang memandangi mereka, yang dengan nggak sabaran menunggu jawaban keluar dari mulut Thalita. Bahkan, Thalita bisa menangkap dengan ekor matanya, di pojok kiri sana ada cewek yang kelihatannya gemas sekali ingin berteriak “YA!” pada Darren. Sayang, cewek itu punya satu masalah. Pertanyaan itu ditujukan pada Thalita, bukan padanya. Jadi, sudah jelas dia sama sekali nggak punya hak untuk menjawab.  “Udaaahhh… terima aja! Lama amiirr jawabnya! Gue mau pulang nih! Ngantuk!” seru seseorang entah siapa dari belakang Thalita. Kayaknya dia nggak sabaran banget menunggu Thalita memberikan jawaban. Celetukan orang itu jelas memancing tawa seisi kafe. Thalita dan Darren sendiri juga nggak tahan untuk nggak nyengir.  Tapi situasi itu cuma berlangsung selama beberapa detik, karena sesaat sesudah itu, Thalita jadi tegang lagi.  “Tha?” panggil Darren. “Kamu… belum bisa ngelupain Andra? Aku belum berhasil menggantikan dia?”  Thalita mengerjap, berusaha setengah mati untuk nggak melakukan tindakan bodoh di sini saking kacau-balaunya perasaannya. Dia jelas nggak mau diingat sebagai cewek yang membentur-benturkan kepalanya di meja kafe karena ditembak seorang cowok charming macam Darren di depan begitu banyak orang, kan?
 Dalam pikirannya, Thalita berusaha mem-flash back semua momen yang pernah dilaluinya bersama Darren. Saat pertama mereka kenal, kerja kelompok yang sukses, traktiran di Coffee Bean, ketemu Andra, lalu saat Darren menjenguk Thalita yang dikiranya sakit, Darren yang meminta untuk diberi kesempatan…  “Aku mau,” jawab Thalita akhirnya, yang disambut sorak-sorai, tepuk tangan, dan siulan seisi kafe. Dan tiba-tiba saja confetti berjatuhan ke lantai, juga balon yang minta ampun banyaknya, seolah sedang ada pesta ultah sweet seventeen! Thalita menengadah dan bengong begitu melihat semua benda itu ternyata berasal dari jaring yang tadinya dipasang di langit-langit kafe. Rupanya Darren memang sudah mempersiapkan semuanya ini! Khusus untuk Thalita!  Setelah semua confetti dan balon itu bertebaran di lantai, Darren langsung memeluk Thalita erat-erat. Kepala Thalita menempel ke dada cowok itu, sampai-sampai Thalita bisa mendengar degup jantung Darren. Seperti biasanya, pelukan Darren terasa hangat, dan Thalita benar-benar bersyukur karena cowok ini sekarang miliknya.  Officially. 
* * * 
“Achaaa… jangan yang piring merah dong! Yang putih aja! Atau biru deh!”  “Biarin, wee! Mumpung ditraktir! Ya nggak, Jen?”  Jennie mengangguk bersemangat. “Iya, Cha, betul banget! Kalau kita makan sendiri sih emang harus piring biru-putih melulu! Tapi kalau ditraktir, mau piring hitam, piring merah, atau piring emas sekalipun okeeee! Atau dragon roll aja sekalian!” Jennie terus mengunyah di sela kalimatnya.  Thalita cuma bisa mendengus jengkel.  Siang itu Thalita memang dipaksa membayar pajak jadian oleh Acha, jadi dia memutuskan untuk mengajak Jennie, juga Nita, supaya dia bisa sekalian melunasi pajak jadian pada semua orang itu. Daripada nanti dia harus mentraktir mereka satu per satu, bisa-bisa budget-nya membengkak. (Tapi kalau melihat kondisi sekarang, justru kayaknya pilihan untuk mentraktir Jennie dan Acha bersama-sama adalah pilihan yang buruk. Kedua anak itu seperti berlomba mengganyang sushi-sushi yang berada di sushi bar di depan mereka.)  Akhirnya, menuruti kemauan Acha, mereka semua pergi ke Sushi Tei di Pondok Indah Mall. Dan sepanjang acara makan itu, Acha sudah menghabiskan dua piring hitam, tiga piring merah, dan satu piring emas. Padahal piring hitam, merah, dan emas dipakai untuk menghidangkan jenis-jenis sushi termahal yang dijual di restoran itu! Thalita sampai ketar-ketir sendiri melihat kerakusan Acha. Belum lagi Jennie, yang
menghabiskan dua piring putih, satu piring biru, dua piring hitam, dan dua piring merah. Nggak cuma itu, mereka juga menolak minum ocha (yang sebanyak apa pun kamu minum tetap GRATIS), dan malah memesan jus yang harganya pasti enam kali lipat harga jus di counter jus langganan Thalita di sekolah! Untunglah, Nita masih cukup tahu diri untuk nggak serakus dua cewek yang baru dikenalnya itu. Dia cuma menghabiskan dua piring biru dan satu piring pink. Plus, dia bersedia dicekoki ocha terus-terusan tanpa menggerundel. Thalita sendiri nggak memesan apa-apa. Bukan karena dia nggak lapar, tapi karena dia takut uang yang dibawanya nggak cukup kalau dia ikut-ikutan memesan juga!  Acha baru saja mau mengambil satu piring merah dengan ornamen emas dari sushi bar bergerak yang ada di hadapannya (Tidaaaakkk! jerit Thalita dalam hati. Yang piring merah ornamen emas itu kan harganya selangit!!), namun tangan Acha terhenti sebelum menyentuh piring itu. Si piring merah dengan ornamen emas yang cantik itu berlalu pergi, masih terpajang manis di atas sushi bar, dan Thalita bersyukur setengah mati dalam hati karena menduga Acha sudah kenyang sampai membatalkan niatnya untuk nambah lagi. Sayang, dugaan Thalita salah. Acha belum kenyang, dia hanya sedang terlongong bengong.  “Darren,” ucap Acha lirih.  Thalita bereaksi. “Apa? Lo masih mau minta traktir sama Darren juga?” tanya Thalita galak. “Kok tega sih lo? Ini aja lo udah makan banyak banget! Cukup gue aja deh yang lo mintain traktir, jangan Darren juga!”  “Bukannya gitu! Tapi… ohh damn! Menunduk!” Acha menyambar kepala Thalita, dan menariknya sampai nyaris menempel ke meja mereka.  “Acha! Heiiii! Lepasin gue!” Thalita setengah mati meronta karena kepalanya jadi nggak bebas lagi akibat ditahan tangan Acha.  “Jen, sembunyikan Nita, bahaya kalau Darren tahu Nita ada di sini!” seru Acha tanpa memedulikan protes Thalita tadi. Jennie menurut, dan tanpa ampun melakukan hal yang sama pada Nita, seperti yang dilakukan Acha pada Thalita.  “Heeiii… ini kenapa sih? Jangan sampai Darren lihat Nita di sini? So what gitu loohhhh! Tapi… tunggu! Jangan bilang! Darren ada di sini?” tanya Thalita bingung.  “Sssttt! Lo diam kenapa sih? Dia emang ada di sini, duduk cuma dua meja dari kita! Dan dia sama cewek! Cewek cantiiiiikk banget!”  Kalau saja bola mata Thalita bisa copot, mungkin sekarang kedua bola mata itu sudah bergelindingan di meja mereka.  “Hah? Darren sama cewek? Di sini?” Nita terdengar nggak percaya. Dia tak berkutik di bawah kuasa tangan Jennie.
 “Eh, tapi… yang mana sih Darren? Yang mana?” tanya Jennie bingung. Dia memang satu-satunya di antara mereka berempat yang belum tahu tampang Darren.  “Itu… yang pakai polo shirt putih! Yang ceweknya pakai tank top pink!” sembur Acha. Jennie menoleh mencari-cari, lagaknya bak burung elang baru dikasih tahu kandang yang penuh berisi anak ayam.  “Kurang ajar dia! Baru jadian sama Thalita berapa hari udah berani-beraninya selingkuh!” geram Jennie. “Mesra pula sama ceweknya!”  “Iya! Minta dilabrak tu orang!” Acha mengompori. “Biar kita tangkap basah aja dia sekarang!”  “Boleh!” Jennie manggut-manggut. “Tapi, Cha, kita kan mesti mantengin dia dulu. Nanti kalau dia lebih mesra sama tu cewek, baru kita pergokin. Dan lo juga harus ngumpet. Dia kan tahu tampang lo!”  Acha seperti baru tersadar dia baru aja melakukan hal luar biasa bodoh. Dia menyuruh Thalita dan Nita yang tampangnya dikenal Darren untuk sembunyi, tapi dia sendiri masih duduk-duduk tenang pamer wajah di situ. Benar-benar seperti burung unta yang memasukkan kepalanya dalam lubang tapi pantatnya jelas-jelas masih menyembul keluar deh! Tanpa dikomando dua kali, akhirnya Acha menempelkan kepalanya di meja juga. Dia nggak tahu tindakannya itu jadi membuatnya lupa memegangi kepala Thalita. Alhasil, Thalita duduk tegak lagi, dan melihat Darren yang cuma semeter darinya. Darren benar-benar lagi bareng cewek, dan Thalita jadi nggak tau harus berkata apa-apa.  Celakanya lagi, tepat saat itu Darren balik menatapnya.  “Yah… dia lihat gue,” gumam Thalita tanpa sadar. Kepala Acha, juga Nita, langsung menyembul keluar lagi karena mendengar gumaman Thalita.  “Aaahh! Stupid lo, Tha! Dia bisa langsung kabur sebelum kita nge-gep dia!” Acha menonyor kepala kakaknya.  Thalita diam saja, karena dia masih beradu tatap dengan Darren. Anehnya, cowok itu sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda cowok yang salting karena kepergok selingkuh oleh pacarnya.  Dan Thalita baru tau kenapa wajah Darren terlihat begitu innocent, saat dia sadar siapa cewek yang bersama cowoknya itu.  “Thalita! Haaaaiii!” panggil Tatyana, yang langsung melangkah lebar-lebar ke meja Thalita. “Eh! Ada Nita! Hai, Nit!” Dia menyala Nita juga. “Kalian… berempat aja?”  “Cih,” gerutu Acha, kepergok bukannya malu, malah SKSD.”  Thalita melotot mendengar gerutuan Acha.
 Tatyana mengernyit. “Sori, tapi apa gue yang lo maksud SKSD? Karena gue beneran kenal sama Thalita dan Nita, jadi gue nggak SKSD,” jelas Tatyana, tapi ekspresinya bingung.  “Iya, tahu nih, malah sok akrab!” Jennie menambahkan, sementara Acha manyun. Nita sedang berjuang menahan tawa, wajahnya geli setengah mati.  “Ehem!” Thalita memutuskan angkat bicara sebelum suasana makin kacau. “Kenalin, ini Tatyana, adiknya Darren. Na, ini Acha, adik gue. Dan itu Jennie, temen gue sejak SMP.”  Wajah Acha dan Jennie langsung pucat, seolah mereka dipaksa makan otak sapi mentah di acara Fear Factor.  “Haii… gue Tatyana,” kata Tatyana sambil mengulurkan tangannya pada Acha, yang disambut cewek itu dengan wajah merah padam. Tatyana menyalami Jennie juga, dan cewek itu benar-benar terlihat salting. Thalita nggak tahu harus malu atau ketawa melihat tingkah adik dan sobatnya itu.  “Sori, Na, tapi tadi mereka berdua ini salah sangka. Dikiranya lo selingkuhan Darren.”  Mata Tatyana yang dipagari bulu mata lentik itu membola, tapi dia lalu terkikik geli. “Ya ampuuunn… apa gue ada tampang ngebet sama Darren? Maaf ya, tapi gue nggak mau mengalami incest. Lagian, Darren jelas bukan tipe gue. And he‟s taken, of course.” Tatyana mengedip pada Thalita, membuat pipi Thalita memerah.  “Sori, gue nggak tahu,” kata Acha lirih.  “Iya, gue juga. Sori yaa…” Jennie menambahkan.  “Nggak papa. Gue ngerti kalian cuma bersifat protektif aja terhadap Thalita. Kalau gue ada di posisi kalian, gue juga pasti akan melakukan hal yang sama kok.” Tatyana tersenyum lagi. “By the way, ini ada acara apa nih kok kayaknya lagi makan-makan untuk ngerayain sesuatu?” Tatyana terlihat penasaran melihat tumpukan piring Acha dan Jennie yang membentuk menara kembar. Mungkin kalau dibiarkan terus nambah, tinggi tumpukan piring kedua cewek itu bakal menyaingi Menara Petronas.  “Biasa… pajak jadian,” jelas Thalita.  “Wah! Sama dong! Gue juga lagi nagih pajak Darren, hehe!” Tatyana nyengir lebar. “Kita gabung aja, ya? Mau nggak?”  “Boleh.”  “Ren, sini!” Tatyana memanggil Darren, yang kayaknya sengaja menunggu girls talk ini selesai. Darren mendekat, dan dia langsung duduk di sebelah Thalita, membuat pipi cewek itu kembali merah padam.  “I‟m taking over the bill,” bisiknya pada Thalita, tapi sayang cukup keras untuk terdengar Acha.
 “Seriuuus lo?” Mata Acha membelalak. “Jadi gue boleh nambah lagi?”  “Boleh banget.” Darren tersenyum.  “Siipp lah! Itu baru calon kakak ipar yang baik! Ronde berikutnya, Jen!” Acha mengomando Jennie, dan mereka berdua langsung berlomba mengambil piring-piring sushi dari bar lagi. Kali ini bahkan Acha mendapatkan piring merah berornamen emas yang tadi sempat dilewatkannya gara-gara melihat Darren.  Thalita cuma bisa geleng-geleng kepala.                              
  
SEMBILAN   
Seperti yang bisa diduga, berita jadian Darren dan Thalita langsung jadi hot gossip di SMA Persada Bangsa. Semua bibir di sekolah itu kayaknya sampai dower membicarakan dua orang itu. Yah, memang sih mereka udah sering melihat dua orang itu jalan bareng, tapi tetap aja fakta kedua orang itu—yang selama ini selalu menyangkal namun akhirnya jadian juga—bikin anak-anak SMA Persada Bangsa heboh.  Alasan lainnya?  3. Darren kan termasuk salah satu most wanted guys di sekolah itu  4. Sementara Thalita cuma cewek biasa. Manis sih iya, tapi jelas masih agak “jomplang” kalau dijejerkan dengan Darren.  5. Selama ini, Darren nggak pernah jadian dengan cewek mana pun, dan terkenal dengan reputasi “freezer kulkas”-nya, jadi sekalinya dia jadian sama cewek, langsung deh bikin heboh.  6. Selain itu, para fans Darren terlihat seperti orang-orang tanpa semangat hidup setelah dapat kepastian idola mereka udah jadian. Hilangnya semangat sebagian besar murid cewek di sekolah itu jelas membuat guru-guru heboh juga melihat keadaan murid-murid mereka. Buntutnya, mereka malah ikut ngomongin Thalita dan Darren.  Thalita benar-benar risi sama semua orang yang membicarakannya itu, dan jadi menyesal karena sudah mengakui terang-terangan pada Gio (Bayangkan! GIO! Sang corong gosip sekolah!) bahwa Thalita dan Darren sudah jadian pada saat cowok itu bertanya. Kesalahan fatal sekali, karena dalam waktu sehari saja, berita itu sudah menyebar ke seluruh sekolah. Reputasi Gio sebagai corong gosip memang nggak perlu diragukan lagi.  “Halooo penganten baruuu!” seru Gio kenes begitu melihat Thalita turun dari boncengan motor Darren. Thalita yakin, Gio sengaja menunggu di parkiran motor ini untuk menggodanya dan Darren. Dasar kurang kerjaan!  “Halo juga seksi publikasi,” balas Darren.  Thalita terkikik. Jelas Darren terganggu juga oleh ulah cowok centil di depan mereka ini. Sayang, Gio kayaknya sama sekali nggak merasa tersindir. Itu terbukti dengan senyumnya yang masih terus mengembang lebar.
 “Mesra banget nih, ke sekolah barengan begini,” goda Gio lagi.  Thalita geleng-geleng kepala. “Ya kan kita pacaran, wajar dong kalo ke sekolahnya barengan. Kalo nggak barengan, nah… baru deh boleh lo gosipin!”  Gioi manyun, nggak suka karena celotehannya ternyata dibalas Thalita dengan jutek. Dia nggak nyadar memang dianya aja yang bego. Mana mungkinlah orang yang lagi pengin berduaan terus direcokin bisa membalas dengan lemah lembut? Yang ada jadi geregetan pengin ngusir!  “Ya deh, ya deh… gue cabut…” Gio pergi dari situ dengan tampang ditekuk, sementara Thalita dan Darren cekikikan melihatnya.  “Kita harus sabar nih, seminggu ini bakal digodain terus,” kata Darren sambil melepas jaketnya.  “Nggak papa deh, udah risiko. Lagian, aku juga salah, kok bisa-bisanya cerita sama Gio kita udah jadian.” Thalita garuk-garuk kepala.  “It‟s okay, Tha. Cepat atau lambat juga orang-orang bakal tahu, kan?” Darren merangkul Thalita dan mereka berjalan menuju koridor sekolah.  “Iya sih… tapi kalau taunya lewat Gio, pasti udah ada bumbu-bumbunya…”  “Nggak papa dong, kan bumbu-bumbu cinta, hehe…” Darren nyengir.  Thalita langsung menoyor kepala cowoknya itu. “Idiihhh… Darreeeennn… Norak, tau!” 
* * * 
Thalita benar-benar menikmati hari-harinya bersama Darren, terlepas dari betapa kekinya dia mendapati fans-fans Darren di sekolah selalu mencibir setiap kali dia lewat. Untung aja jurus cuek, hasil ajaran Acha, yang dipraktikkannya cukup sukses. Meniru kata-kata Acha nih, terserah deh para fans Darren itu mau sejutek apa, toh Darren sekarang udah jadi cowok Thalita, dan cewek-cewek itu jelas nggak bisa berbuat apa- apa. Cibiran mereka itu kan refleksi dari perasaan minder dan kecewa karena bukan mereka yang dipilih Darren. Kalau dipikir-pikir, bener juga omongan si Acha.  Jadi, Thalita semakin menikmati status barunya sebagai cewek Darren. Cowok itu benar-benar baik, perhatian, pengertian, setia—pokoknya kalau kamu punya daftar kriteria cowok idaman, Darren bakal memenuhi 99%-nya deh! Lebih-lebih lagi, Thalita tahu Darren cinta banget sama dia. Gimana nggak, Darren kan selalu ada untuk menghiburnya, bahkan saat Andra dulu masih ada.  Thalita sadar, Andra dulu nggak cukup menyayanginya, karena cowok itu nggak mau meninggalkan semua drugs-nya walaupun Thalita memohon-mohon. Tapi Darren beda. Dia nggak cuma bilang dia sayang sama Thalita, tapi dia juga membuktikannya.
 Darren adalah jenis cowok yang nggak banyak menuntut. Dia sepertinya sangat mengerti suasana hati Thalita. Waktu Thalita lagi asyik membahas pertandingan Liga Champions sama cowok-cowok sekelasnya, Darren nggak lantas jadi cemburu. Dia juga nggak posesif, atau memaksa Thalita melakukan ini-itu yang nggak Thalita suka.  Waktu Thalita lagi PMS dan mood-nya jelek banget sampai-sampai yang bisa dilakukannya cuma tiduran di ranjang sambil dengerin lagu-lagu mellow, Darren nggak bolak-balik menelepon atau apa, tapi malah mengirim sekotak besar Ferrero Rocher ke rumah Thalita.  Nah, kurang lengkap apa lagi coba nih cowok? Mungkin nih, kalau Cinderella, Sleeping Beauty, atau putri-putri dongeng lainnya itu ada di kehidupan nyata, mereka bakal sirik setengah mati sama Thalita, karena pangeran mereka ternyata masih kalah baiiiiiikkkk dan pengertian dibandingkan Darren.  Sampai akhirnya hari itu datang…. 
* * * 
Darren nggak menjemput Thalita untuk ke sekolah bareng, padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.20, sementara bel sekolah Thalita pukul 06.30.  “Aduuuuhhhh… mana sih Darren???” gerutu Thalita sambil mondar-mandir di teras rumah, persis bapak-bapak yang menunggui istrinya dalam kamar bersalin. Dia juga melirik arlojinya berkali-kali, lalu mengentak-entakkan kaki dengan gusar.  “Udah ditelepon belum, Darren-nya?” tanya Mama, yang kayaknya mulai sebal juga melihat Thalita mondar-mandir di teras.  “Udah, tapi mailbox mulu!” sahut Thalita sewot. “Aduuuhhh… bakal telat nih!”  “Ya udah, kalau gitu kamu berangkat sendiri gih ke sekolah, daripada nanti telat beneran.”  “Terus nanti kalau Darren datang, gimana?”  “Ya Mama bilang kalau kamu udah berangkat duluan.”  “Iihh… Mama! Ngasih solusi yang bagusan dikit, napa?” Thalita ngedumel.  “Lha, solusi Mama kurang bagus apa, coba? Toh nanti kalau Darren ke sini kan dia bisa langsung ke sekolah. Lagian, bisa aja dia telat jemput kamu karena ban motornya kempis. Iya, kan?”  “Tapi kan dia bisa SMS atau telepon,” Thalita cemberut.  “Ah, udahlah, malah jadi Mama yang berantem sama kamu! Mau berangkat sekarang atau nggak? Nanti telat beneran, tahu rasa!” Mama kehilangan kesabaran, lalu masuk ke rumah dan meninggalkan Thalita sendirian di teras.
 “Sebel! Orang lagi pusing kok malah dimarahin!” Thalita menjatuhkan diri ke kursi plastik di teras dan duduk sambil cemberut di sana.  Sepuluh menit dia menunggu, Darren belum datang juga. Dia beneran bakal telat.  Tiga puluh menit… Satu jam… Darren masih belum datang, dan tetap nggak bisa dihubungi. Thalita habis kesabaran. Dia berjalan ke kamarnya, lalu mengunci diri di sana.  Ngambek. 
* * * 
Hari sudah sore waktu Thalita akhirnya memutuskan keluar kamar. Perutnya udah nggak bisa diajak kompromi lagi, dan sedang menciap-ciap dengan hebohnya menagih asupan pangan mereka. Sebodo amat deh kalau Darren nggak datang atau menghubunginya seharian ini, yang penting sekarang dia makan!  Thalita berjalan ke meja makan, dan membuka-buka tudung saji yang ada di sana, tapi ternyata dia masih nggak bisa mengalihka pikirannya dari Darren.  Cowok itu ke mana, ya? Tadi Nita SMS, ngasih tahu Darren juga nggak masuk, dan beberapa anak sempat berasumsi Darren dan Thalita sengaja membolos bareng cuma supaya bisa kencan. Tapi ternyata Tatyana juga nggak masuk, padahal Sugeng ada di sekolah, dan itu menggugurkan praduga bahwa Darren-Thalita dan Sugeng-Tatyana punya rencana double date dan sengaja membolos bareng-bareng.  Satu poin itu saja sudah membuat Thalita pusing lagi. Sampai-sampai rasa laparnya tadi seperti lenyap, biarpun di meja ada udang goreng tepung yang tampilan dan aromanya sangat menggiurkan.  Poin kedua, kalau Darren emang sakit, kenapa dia sama sekali nggak menghubungi Thalita? Dihubungi juga nggak bisa. Ditelepon di rumahnya juga nggak ada yang mengangkat. Thalita sampai sempat kepikiran Darren dan Tatyana mungkin kecelakaan atau apa, tapi dia menepis dugaan ngaconya itu jauh-jauh, dan langsung berdoa semoga kedua orang yang disayanginya itu nggak kenapa-kenapa.  Sebenarnya siang tadi Thalita juga kepengin menyusul ke rumah Darren, sekadar pengin tahu keadaan cowok itu, tapi dia tahu dia lagi emosi. Dan ketemuan sama Darren saat lagi emosi sama aja dengan menyulut pertengkaran. Thalita nggak mau berantem sama Darren, apalagi kalau dia ingat betapa pengertiannya cowok itu selama ini. Mungkin Darren lagi ada masalah dan bener-bener nggak pengin diganggu?  Tapi kalau gitu… kenapa Tatyana ikut menghilang juga? HP cewek itu nggak aktif waktu Thalita berusaha meneleponnya.
 “Ke mana sih mereka berdua itu?” Thalita duduk di kursi meja makan dan menopangkan dagunya di tangan. Otaknya berpikir keras.  Masalah apa yang sebegitu beratnya sampai bikin Darren dan Tatyana nggak bisa atau nggak mau diganggu? Apa masalah keluarga?  Thalita terkesiap begitu satu dugaan muncul di kepalanya.  “Apa… nyokap mereka tiba-tiba muncul lagi?” pikir Thalita dengan kening berkerut. Dia tahu betapa Tatyana dan Darren nggak sudi bertemu ibu mereka lagi, dan mungkin perempuan itu tiba-tiba muncul dan mengakibatkan kedua orang itu shock! Siapa tau?  “Ya Tuhan, kalau sampai dugaan gue benar, pantas aja Darren sama Tatyana nggak bisa dihubungi… Mereka mungkin lagi terguncang, dan butuh waktu untuk sendiri…” Thalita mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, lalu menghela napas.  Selama ini, Darren udah menjagi pacar yang baik baginya. Cowok itu sangat pengertian dan nggak pernah memaksa Thalita untuk melakukan apa pun. Mungkin sekarang saatnya Thalita membuktikan dia juga bisa jadi pacar yang baik, dengan membiarkan Darren sendiri untuk sementara. Besok lusa, kalau masih belum ada kabar juga, baru dia akan nekat mendatangi rumah Darren.  Satu yang jelas, cowok itu nggak mungkin lagi mengurung diri di kamar sambil mendengarkan lagu mellow akibat mood yang jelek saat PMS, kan?  Karena orang paling sabar sedunia pun bisa jadi sangat galak kalau diganggu dalam masa PMS. Dan karena kemungkinan Darren mengalami itu nol persen, Thalita bisa sedikit lega. Seenggaknya, dia nggak bakal mendapat sambitan sandal kalau nekat mendatangi rumah cowoknya itu. 
* * * 
“Tatyana?” Pak Adam celingak-celinguk dari balik buku absensi yang dipegangnya. “Tatyana nggak masuk lagi, ya? Sudah dua hari nih…”  “Nggak, Pak,” nyaris seisi kelas kompak menjawab.  “Sugeng, kamu tahu kenapa Tatyana nggak masuk?” tanya Pak Adam pada Sugeng.  “Nggak, Pak. Dari kemarin saya coba menghubungi HP-nya juga nggak bisa.”  Thalita menatap Sugeng dengan heran. Cowok itu balik menatapnya dan mengedikkan bahu.  Rupanya Tatyana juga nggak ngasih kabar ke cowoknya sendiri, batin Thalita bingung. Ke mana ya Tatyana dan Darren?
 “Wah, kalau Tatyana dua hari nggak masuk tanpa penjelasan begini, terpaksa Bapak tulis absen,” kata Pak Adam sambil menulis sesuatu di buku absensinya. “Atau nanti Bapak coba tanyakan ke kakaknya di kelas X-6. Darren kan, ya?”  “Darren juga udah dua hari nggak masuk dan nggak bisa dihubungi, Pak,” celetuk Thalita. Pak Adam, dan nyaris seisi kelas, menatap Thalita dengan tatapan ingin tahu.  “Sungguh?” tanya Pak Adam. Thalita mengangguk. “Nggak ada yang tahu cara mengontak mereka berdua ya?”  Banyak yang saling pandang dengan teman sebangku dan menggeleng. Kalau Sugeng yang pacar Tatyana dan Thalita yang pacar Darren saja nggak bisa mengontak dua anak itu, bagaimana yang lainnya?  “Ya sudah, nanti kalau ada yang dapat kabar tentang Tatyana, atau Darren, tolong kasih tahu Bapak ya.”  Terdengar gumaman dari seluruh anak itu. Thalita hanya diam, otaknya berpikir keras. 
* * * 
Thalita berjalan memasuki kelasnya dengan perasaan nggak tentu. Sudah tiga hari Darren menghilang tanpa kabar, dan ia mulai habis kesabaran. Hari ini, sepulang sekolah, dia bakal mendatangi rumah cowok itu. Darren nggak boleh kayak gini terus- terusan. Emangnya dia kira Thalita nggak khawatir?  Langkah Thalita terhenti di depan pintu kelas, karena melihat sesosok orang yang berada di dalam kelas itu.  Bukan Darren, tapi Tatyana. Cewek itu sedang menelungkupkan kepala di meja, tapi Thalita bisa mengenali Tatyana dari rambutnya yang panjang dan tergerai indah. Nggak ada lagi di kelasnya yang punya rambut sebagus itu selain Tatyana.  Dan kalau Tatyana saja sudah masuk, berarti…  Thalita berlari menuju kelas X-6 tanpa meletakkan tasnya dulu di kelas. Dia sudah nggak sabar kepingin ketemu Darren, itu juga kalau cowok itu memang benar ada di kelasnya!  Thalita sampai di depan kelas X-6, dan melongokkan kepalanya ke dalam. Dugaannya nggak salah, Darren ada di sana, sedang terduduk di bangkunya dengan ekspresi yang nggak bisa dijelaskan. Hanya ada Darren di dalam kelas itu, mungkin yang lainnya pada belum datang karena masih pagi.  “Ren?” panggil Thalita pelan. Darren mendongak, dan dia cuma tersenyum kecut menatap Thalita.  “Hai, Tha.”
 “Kamu…” Thalita kehabisan kata-kata. “Kamu ke mana aja? Kenapa kamu nggak kasih kabar ke aku tiga hari ini? Kenapa aku juga nggak bisa menghubungi kamu?”  “Maaf.”  “Iya, aku maafin, tapi kamu ke mana tiga hari ini? Aku khawatir banget, Ren… Tatyana juga nggak bisa dihubungi, aku pikir kalian kenapa-kenapa…”  “Nggak, aku sama Tatyana nggak kenapa-kenapa kok.”  “Terus? Kamu… sakit?”  Darren menggeleng. “Nggak. Udah, jangan dipikirin ya. Aku minta maaf banget udah bikin kamu cemas, tapi… udahlah, nggak usah dibahas lagi. Yang penting sekarang aku udah ada di sini, kan?”  Thalita menatap Darren lurus-lurus. Cowok ini seperti menyembunyikan sesuatu… tapi apa? Apa masalah keluarga, dan dia nggak kepingin membahasnya dengan Thalita?  Akhirnya, mengingat dia berniat jadi pacar yang baik untuk Darren, Thalita mengangguk. Dalam hatinya, dia memang masih penasaran, tapi ya sudahlah. Benar kata Darren, yang penting cowok itu sekarang sudah ada di sini. Soal apa yang menyebabkannya menghilang tiga hari belakangan ini, itu bisa dipikirkan nanti. 
* * * 
“Tha, Darren udah masuk, ya? Tadi gue lihat dia di kantin,” kata Nita.  “Iya. Gue juga udah ketemu sama dia kok tadi.”  “Mm… dia nggak masuk kenapa sih? Sakit? Abis, gue lihat kayaknya dia tuh lesu banget gitu. Kayak orang nggak bersemangat. Atau dia lagi ada masalah?”  Thalita menghela napas. “Nggak tau deh, Nit. Dia nggak mau cerita sama gue…”  “Nggak mau cerita gimana?” Nita mengernyit.  “Ya nggak mau cerita kenapa dia nggak masuk dan nggak bisa dihubungi tiga hari ini. Dia bilang yang penting kan sekarang dia udah ada di sini, tapi gue masih aja penasaran…”  “Kalau menurut gue,” Nita terdiam, dia menoleh ke arah bangku Tatyana yang ada di arah jam dua dari tempat duduknya. “Darren lagi ada masalah keluarga.”  Thalita menatap Nita penuh tanda tanya. “Kok lo bisa berasumsi gitu?”  “Yah… lo lihat aja, Tatyana juga nggak masuk tiga hari, dan sekarang mereka sama- sama masuk dengan tampang suntuk begitu. Apa lagi sebabnya kalau bukan masalah keluarga? Nggak mungkin karena mereka kena malaria barengan, kan?”  Thalita diam. Kata-kata Nita sepertinya masuk akal. Mungkin itulah sebabnya Darren nggak mau cerita sama dia. Mungkin Darren malu akan kondisi keluarganya.
Atau… ini berhubungan dengan nyokapnya yang sangat dia benci, makanya dia nggak sudi membahasnya?  Thalita masih penasaran. Dia memutuskan untuk mengajak Tatyana bicara jam istirahat nanti. 
* * * 
Jam istirahat, Thalita menghampiri bangku Tatyana. Cewek itu masih bertampang nggak bersemangat seperti tadi pagi. Thalita jadi ragu untuk mengajaknya bicara. Gimana kalau mood Tatyana sedang jelek-jeleknya, dan Thalita nanti malah disemprot karena dianggap terlalu pengin tau urusan orang lain?  “Eh, Tha, lo ngapain di situ?”  Thalita tersentak. Tatyana rupanya menyadari dirinya sedang diperhatikan, jadi dia menoleh dan mendapati Thalita berdiri hanya dua langkah dari bangkunya, dengan tampang yang sulit dijelaskan.  “Mmm… eehh, nggak… gue cuma mau nanya kenapa lo nggak ke kantin, hehe…” Thalita cengengesan nggak jelas. Dia sadar basa-basinya barusan parah banget.  “Ah, lo pasti mau nanya-nanya ke gue, ya?” tembak Tatyana langsung. Thalita jadi salting mendengarnya. Ketahuan deh… Tapi baguslah, dia jadi nggak perlu susah- susah menjelaskan maksudnya lagi pada Tatyana.  “Iya sih sebenernya. Itu pun kalau boleh…”  “Darren nggak cerita ke lo?”  Thalita menggeleng. Itulah kenapa gue pengin tau dari lo, Na, Thalita membatin.  Tatyana terlihat menghela napas. “Anak itu! Padahal gue udah bilang sama dia supaya jujur sama lo, tapi ternyata dia bener-bener keras kepala! Gue nggak habis pikir kenapa dia bisa segitu nyebelinnya!”  “Jujur… soal apa?”  “Emang dia bilang apa ke lo waktu lo tanya kenapa dia nggak masuk tiga hari kemarin?”  “Dia… dia bilang itu nggak usah dibahas, soalnya yang penting kan dia udah masuk lagi sekarang.”  Tatyana langsung cemberut mendengar itu. Malah, dia melengos.  “Na, lo… mau nggak jelasin ke gue apa yang sebenernya terjadi? Kenapa lo sama Darren nggak masuk tiga hari? Kenapa kalian juga nggak bisa dihubungi?”  Tatyana terlihat seperti baru menelan sesuatu yang mengerikan. Wajahnya tiba-tiba pucat.
 “Mm… Tha, gue… gue rasa, gue nggak berhak untuk menjelaskan ke lo. Darren yang harus menjelaskan semua itu ke lo, Tha, bukan gue…”  “Tapi Darren nggak mau!” bentak Thalita. Lalu sedetik kemudian dia menutup mulutnya rapat-rapat, sadar dia sudah membentak Tatyana. “Sori, Na. Gue tadi… emosi.”  “Gue ngerti. Nggak papa. Gue juga pasti sewot kalau jadi lo. Tapi beneran, Tha, gue nggak bisa ngejelasin ke lo… Gue takut salah bicara… Gue nggak mau memperkeruh masalah ini, jadi tolong… lo ngertiin gue, ya?”  Thalita mengangguk. Perasaannya makin kacau-balau sekarang, padahal tadi dia kira bicara dengan Tatyana akan membuat semua masalahnya jelas. 
* * * 
“Terus Acha bilang aku seharusnya mulai diet, soalnya udah banyak lemak bertumpuk di pinggangku. Nyebelin nggak sih?” Thalita mengadu pada Darren ketika mereka berdua duduk di pojok kantin sekolah pada jam istirahat.  Thalita menoleh menatap Darren, mengharap cowok itu memberikan respons atas semua celotehnya barusan, tapi ternyata dia malah mendapati Darren sedang menerawang. Boro-boro memberi respons, Thalita yakin cowoknya itu pasti sama sekali nggak mendengar ceritanya barusan!  “Ren?”  Darren masih tetap diam. Dugaan Thalita benar, perhatian cowok itu sedang terpusat pada sesuatu yang lain, bukan padanya.  “Darren?” Kali ini Thalita menyentuh lengan Darren lembut, dan dia benar-benar bingung karena Darren langsung terlonjak kaget.  “Aduh, Tha, kamu ngagetin aja deh!” serunya dengan nada yang… kasar.  “Sori,” kata Thalita pelan. “Tapi aku udah panggil kamu berulang kali dan kamu nggak ngasih respons, makanya…”  “Iya, tapi nggak berarti kamu harus ngagetin aku!”  Thalita jadi makin bengong melihat Darren marah-marah. Harusnya kan dia yang marah karena Darren nyuekin dia, kenapa sekarang malah terbalik begini?  “Iya, aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud…”  “Udahlah!” potong Darren dengan intonasi tinggi. Setelah mengatakan itu, dia pergi dari situ tanpa bilang apa-apa lagi pada Thalita. Thalita cuma bisa cengar-cengir dengan perasaan kacau karena mendapati beberapa pasang mata yang menoleh penuh rasa ingin tahu ke arahnya. 
* * * 
“Suer, Jen, gue nggak tahu kenapa dia sekarang berubah jadi aneh gitu…”  “Lo punya salah kali sama dia?”  “Salah apa? Lagi pula, kalau emang bener gue punya salah, gue bakal dengan senang hati minta maaf, asalkan dia mau bilang apa kesalahan gue itu…”  “Yah, makanya coba sekarang lo ingat-ingat, apa lo punya salah sama dia?” Jennie berusaha men-support Thalita. Dia tahu banget sobatnya itu sekarang sedang down. Ini kan pertengkaran perdana Darren dan Thalita setelah mereka jadian, pastinya Thalita lagi butuh banget tempat curhat, plus sahabat yang bisa men-support-nya.  “Ah, nggak tahulah gue… Gue rasa dia emang berubah banget sejak tiga hari menghilang tanpa kabar itu.”  “Dan dia masih belum mau bilang sama lo apa yang terjadi dalam tiga hari itu?”  “Boro-boro deh, Jen. Gue takut dia malah semakin marah sama gue kalau gue singgung soal itu. Orang diajak ngomong baik-baik kayak tadi aja judes banget, gimana kalau gue tanya soal tiga hari menghilangnya itu?”  “Iya juga ya…”  “Gue nggak nyangka dia bisa jadi kayak gini. Padahal dulu, dia baiiikk… banget sama gue. Romantis. Perhatian. Sekarang aja setelah jadian, dia malah jadi kayak gini…”  “Sabar ya, Tha… Mungkin dia lagi ada masalah.”  “Ya tapi kenapa dia nggak mau cerita sama gue? Seenggaknya kan gue jadi nggak usah bingung mikirin dia yang aneh begini…”  “Ada beberapa masalah yang kadang orang kepengin menyimpannya sendiri, Tha. Mungkin Darren sedang menghadapi masalah macam itu. Lo harus bisa ngertiin dia…”  Thalita tercenung. Gue berusaha ngertiin Darren, tapi kenapa Darren nggak berusaha ngertiin gue juga? Kenapa dia nggak bisa memahami perasaan gue? Apa dia nggak tahu gue segitu bingungnya mikirin dia? 
* * * 
“Ren, kamu itu kenapa sih?” tanya Thalita kesal setelah untuk kesekian kalinya darren melamun saat Thalita mengajaknya bicara dalam perjalanan pulang sekolah siang itu.  “Aku? Aku nggak apa-apa. Emang aku kenapa?”  “Kamu nggak nyadar kamu kenapa?! Kamu jadi aneh sejak menghilang tanpa kabar tiga hari itu, tahu nggak?!”
 Darren terdiam, wajahnya tiba-tiba memucat. Dia menghentikan mobilnya di tepi jalan.  “Sebenarnya tiga hari itu kamu ke mana?” desak Thalita. “Aku bisa ngerti kalau kamu jadi kayak gini karena kamu ada masalah atau apa, tapi seenggaknya kamu cerita ke aku dong. Aku itu bingung sama sikapmu…”  Thalita nggak berniat menangis, tapi ternyata air matanya menitik begitu saja di luar kendalinya. Mungkin inilah puncak rasa kesalnya pada perubahan Darren. Dia nggak tahan penasaran lebih lama lagi. Pokoknya hari ini dia harus mendesak Darren untuk menjelaskan semuanya. Harus!  “What you don‟t know won‟t hurt you, Tha…”  “Oohh… bullshit! Apa pun itu, nggak akan lebih melukai aku daripada sikapmu yang aneh belakangan ini!”  “Kamu yakin kamu mau dengar apa yang terjadi sebenarnya?”  Sesaat tiba-tiba ada perasaan takut menyusup dalam hati Thalita. Kenapa Darren bilang Thalita akan terluka setelah mendengar penjelasan dari cowok itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia benar-benar bisa menerima apa pun penjelasan Darren nanti?  “Aku nggak akan kenapa-kenapa. Kamu cerita aja.”  “Oke. Hari pertama aku menghilang tanpa kabar itu, sebenarnya aku udah mau berangkat untuk jemput kamu, tapi waktu aku keluar dari rumah… di depan pintu udah ada Cheryl…”  “Cheryl…?” Thalita memutar otaknya.  Cheryl adalah… cewek yang membuat Darren patah hati sampai dia tanpa sadar jadi “dingin” pada cewek-cewek lain.  Cheryl adalah… cewek yang Darren kira bisa membuatnya lupa dengan kekecewaannya pada ibunya yang berselingkuh, tapi ternyata malah membuat luka hatinya makin dalam.  Cheryl adalah… cewek yang menantang Darren mencoba drugs…  “Ngapain… ngapain dia ke rumahmu?” suara Thalita bergetar.  Ingatan Darren kembali pada hari itu, saat dia nyaris terlonjak mendapati Cheryl di depan rumahnya. Seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. 
* * * 
“Mau apa lo ke sini?” tanya Darren dengan suara tercekat karena menahan marah.  “Gue butuh ngomong sama lo,” jawab Cheryl tanpa beban.  Darren hanya bisa melongo mendengar jawaban itu. Lebih-lebih lagi, dia kaget banget melihat Cheryl, yang penampilannya sudah sangat berbeda dengan yang terakhir diingatnya.
Cheryl nggak lagi terlihat seperti pecandu narkoba yang kurus kering dan tanpa semangat hidup. Cheryl terlihat… cantik. Matanya berbinar, dan dia tersenyum menatap Darren.  “Ren, kok lo belum berangkat jemp…” Tatyana muncul di pintu, kata-katanya terputus begitu saja melihat siapa yang ada di hadapannya. “Ngapain lo ke sini?” tanyanya dengan nada supersinis. Dia bahkan bergidik melihat Cheryl.  “Hai, Na,” sapa Cheryl sambil tersenyum. Kelihatannya dia nggak terganggu dengan nada sinis dalam suara Tatyana. “Long time no see.”  “Foreverno see lebih baik,” sambar Tatyana galak.  Cheryl bukannya keder, dia malah tertawa mendengar kata-kata Tatyana itu. “Lo masih benci sama gue?”  “Tunggu matahari suhunya nol derajat dulu, baru gue nggak benci sama lo!”  “Wah, masih lama dong?” Cheryl nyengir, sementara Tatyana kelihatannya nyaris meledak. “Sudahlah… gue ke sini untuk minta maaf.”  “Siapa yang butuh?” Tatyana nyolot. “Asal lo tau aja ya, kedatangan lo ke sini tuh nggak akan berarti apa-apa buat Darren! Dia udah ngelupain lo! Bagi dia, lo tuh cuma masa lalu! Masa lalu yang buruk!”  Kali ini ekspresi Cheryl berubah. Kata-kata Tatyana sepertinya berhasil mengusiknya.  “Benar, Ren? Lo udah ngelupain gue? Bagi lo, gue cuma masa lalu yang… buruk?”  Darren nggak menjawab. Dia hanya menatap Cheryl dalam-dalam. Tatyana sampai harus menyikut kakaknya itu agar bersuara lagi.  “Kenapa lo diem?!Jawab sana!”  “Lo nggak bisa jawab?” tanya Cheryl halus. “Apa karena Tatyana benar? Atau memang lo masih sayang sama gue?”  “Ehhh… mimpi ya lo!” seru Tatyana. “Nggak ada tuh yang namanya Darren masih sayang sama lo! Dia sekarang udah punya cewek, tau! Dan ceweknya itu, sejuta kali lebih baik daripada lo! Jadi mending lo nggak usah ganggu Darren lagi, morfinis!”  Setelah rentetan makian itu, semuanya diam. Cheryl menunduk dan menggigit bibirnya, terlihat hampir menangis. Darren, seperti sebelumnya, masih saja belum berkata-kata.  “Gue minta maaf, Ren,” kata Cheryl lainnya. “Gue nggak pernah tahu lo sayang banget sama gue… Gue kira, dulu lo cuma kasihan sama gue yang broken home ini. Dan gue juga menganggap lo nggak pernah bisa mengerti gue, karena lo nggak mau ikut masuk dunia drugs gue… Tapi sekarang gue baru sadar, ternyata elo-lah yang benar-benar sayang sama gue, dan… dan gue kehilangan lo saat lo nggak ada… Gue sayang sama lo, Ren.”  “Ahhh… ngasal!” Tatyana berjalan ke arah Cheryl dan mendorong bahu cewek itu, sampai Cheryl terpaksa mundur beberapa langkah agar nggak terjatuh. “Lo kira, sebegitu gampangnya minta maaf dan bilang lo sayang sama Darren? Gue kasih tahu ya, jangan mimpi!”
 Cheryl menyeka air matanya yang sekarang sudah membanjir. “Gue tahu gue salah, dan gue bener-bener nyesel, tapi… apa nggak ada kesempatan kedua buat gue? Gue sampai masuk rehab dan bersih total dari drugs untuk nunjukin ke Darren kalau gue sungguh-sungguh…”  Tatyana tercekat, apalagi Darren.  “Lo… serius, Cher?” tanya Darren penuh harap. Cheryl mengangguk dalam tangisnya.  “Keluar,” desis Tatyana. “Keluar dan jangan pernah datang ke rumah ini lagi!” Dia mendorong Cheryl sampai ke pintu pagar. “Lo boleh aja menancapkan paku ke hati Darren dan mencabutnya lagi, berusaha menyembuhkannya, tapi bekasnya nggak akan pernah hilang, goblok! Jangan ganggu abang gue lagi!”  Cheryl sekarang telah berada di luar pagar, yang digembok Tatyana dengan emosi. Cheryl menatap Darren tanpa mengatakan apa-apa, tapi tidak beranjak pergi. Dia masih tetap berdiri di depan pagar, seolah ada yang mengelem kakinya di sana.  “Masuk, Ren. Jangan keluar sebelum dia pergi.”  “Tapi, Lit…”  “Nggak ada tapi-tapian. Lo nggak boleh terpengaruh omongan dia! Masuk!” Tatyana setengah menyeret Darren masuk ke rumah.  Sesampainya mereka di dalam rumah, Tatyana mengunci pintu dan menutup semua tirai.  “Lo nggak pantes mikirin dia lagi, Ren! Lo nggak inget dia pernah ngejek lo habis-habisan dulu? Ngejek lo karena lo nggak berani nyoba drugs! Dia itu cewek nggak bener!” kata Tatyana begitu dia sudah menutup semua pintu dan tirai jendela.  “Tapi tadi… dia bilang dia udah sembuh.”  “Sembuh? Memangnya kenapa kalo dia sembuh? Itu urusan dia sendiri! Dia mau tetep berkubang di drugs juga itu urusan dia, nggak ada hubungannya sama lo!”  “Lit… Dia bilang dia sayang sama gue, dia masuk rehab demi gue…”  “So?”  “Gue…”  “Oh no… Ren, lo masih suka sama Cheryl?!”  Darren terdiam.  “Jawab gue! Lo pasti masih suka sama dia, ya kan?”  “Dia… dia cewek pertama yang gue suka, Lit. Gimanapun juga, dia masih punya tempat di hati gue…”  Darren menelungkupkan kedua tangan ke wajahnya. Rasanya aneh sekali, setelah dia susah payah berusaha melupakan Cheryl, sekarang justru cewek itu muncul lagi…  “Terus, Thalita gimana? Setelah dia percaya sama lo, mau menerima lo setelah trauma sama cowoknya, sekarang lo mau bikin dia merasa dilukai lagi? Lo mau bikin Thalita kehilangan lagi? Dulu, dia kehilangan cowoknya karena drugs, apa sekarang lo mau dia kehilangan cowoknya karena seorang cewek pecandu drugs???”  “Cheryl udah sembuh, Lit! Jangan terus-terusan menyebutnya pecandu!”
 “Oh ya, udah jelas sekarang, lo masih suka sama dia. Thalita cuma mainan aja buat lo, lo nggak pernah benar-benar sayang sama dia, ya kan? Gue jadi menyesal udah membuatnya kenal sama cowok brengsek kayak lo!” 
* * * 
“Jadi…” Thalita seperti kehabisan napas. “Apa kamu…”  “Cheryl tetap datang ke rumah selama tiga hari berturut-turut, dan aku nggak tega melihatnya kayak gitu, Tha… Dia udah berusaha keras demi aku, dia…”  “Lalu aku? Aku harus gimana?”  Darren menatap Thalita, nanar. “Kalau aja aku benar-benar bisa memilih di antara kalian. Dia orang yang pertama aku sayangi, Tha… Tapi aku juga sayang sama kamu…”  “Stop, Darren! Stop! Kamu tinggal bilang, siapa yang kamu pilih. Kalau kamu memilih Cheryl, aku…”  “Tha, kamu nggak ngerti… Ini sulit banget buat aku… Coba kamu bayangin ada di posisi aku. Saat kita pacaran, lalu… lalu seandainya Andra datang ke rumahmu dengan kondisi yang sehat, dan dia bilang dia masuk rehab demi kamu, dan dia sembuh, siapa yang akan kamu pilih?”  “Tentu saja aku milih kamu!” teriak Thalita histeris. “Andra boleh aja masuk rehab demi aku, dia boleh aja sembuh, tapi dia nggak ada saat aku butuh dia! Kamu yang ada! Itu saja sudah cukup untuk menunjukkan siapa yang benar-benar sayang sama aku!”  “Tapi kalau Andra sembuh demi kamu, apa kamu…”  “Udah, Ren, cukup! Kalau itu semua cuma alasanmu supaya aku mengerti kenapa kita harus putus, aku terima. Sekarang kamu bebas. Kamu boleh kembali ke Cheryl, atau ke cewek mana pun, terserah kamu.”  Setelah mengatakan itu, Thalita membuka pintu mobil Darren, dan turun dari mobil. Dia berjalan menuju halte busway terdekat dengan mata berlinang. Air matanya makin deras begitu dia menyadari Darren sama sekali nggak menyusulnya, apalagi mengatakan dia memilih Thalita dan bukannya Cheryl. Cowok itu malah berlalu pergi dengan mobilnya. Meninggalkan Thalita yang sakit hati dan terduduk lemas di halte. Sakit hati yang lebih parah dibanding yang pernah dibuat Andra padanya dulu. 
* * * 
Sama seperti berita jadian mereka yang tersebar heboh di seluruh sekolah, berita putusnya Darren dan Thalita juga jadi hot gossip. Dua orang itu, yang tadinya ke mana-
mana selalu nempel kayak iPod dan earphone-nya, mendadak berubah saling menghindar, seolah masing-masing punya penyakit menular, dan yang lain nggak mau ketularan.  Kalau udah begitu, semua orang jelas bisa menebak bahwa dua orang ini putus. Dan bukan cuma itu, tapi para bigos juga berubah super-agresif dalam hal mencari info dalang putusnya hottest couple sekolah itu. Sayang, usaha mereka semuanya mentok, karena Darren dan Thalita sama-sama nggak mau bicara. Thalita langsung ngacir begitu ada yang menyebut-nyebut nama Darren, sementara Darren suka sok tiba-tiba mengalihkan pembicaraan kalau ada yang menyinggung Thalita di depannya.  “Tha, ke kantin yuk?” tawar Nita.  Thalita menggeleng. “Lo sendiri aja ya, Nit? Gue lagi males…”  “Tapi ntar lo sakit kalau nggak makan.”  “Nggak, tenang aja.”  “THALITA!”  Thalita dan Nita langsung mendongak ke pintu kelas begitu mendengar teriakan itu, dan mereka mendapati Gio ada di sana, ngos-ngosan dan mandi keringat.  “Ada apa sih, Yo?”  “Udah, lo ikut gue!” Gio nggak memedulikan napasnya yang masih ngos-ngosan ataupun protes Thalita, tapi dia langsung menarik cewek itu menuju halaman parkir mobil sekolah. Nita mau nggak mau mengekor di belakang mereka.  “Ada apa sih?” tanya Thalita begitu Gio akhirnya berhenti menyeret-nyeretnya, dan mereka sekarang berada di balik sebuah pohon besar di halaman parkir.  “Ssttt… jangan ribut-ribut! Tuh, lihat!”  Thalita mengernyit, tapi dia melongokkan juga kepalanya dari balik pohon, melihat ke arah yang ditunjuk Gio. Ia terdiam begitu melihat apa yang dimaksud Gio.  Darren sedang duduk di atas kap mobil, bersebelahan dengan seorang cewek berambut pendek model bob yang wajahnya manis sekali, dan Darren merangkul bahu cewek itu erat-erat. Thalita nggak pernah melihat cewek itu sebelumnya, tapi biarpun begitu, dia bisa menebak siapa cewek itu.  “Cheryl…,” desis Thalita tanpa sadar.  Nita mendelik mendengar nama itu. Thalita memang cerita padanya tentang bagaimana dia dan Darren putus, dan mengetahui orang yang bernama Cheryl itu ada di dekat mereka membuat Nita jadi gerah!  “Gue nggak nyangka Darren cepet banget dapat pacar baru setelah putus dari lo,” Gio mulai berceloteh. “Tadi gue mau ambil buku fisika gue yang ketinggalan di mobil, taunya pas gue lewat sini, gue lihat mereka, jadinya yah… gue panggil lo aja.”  Bletakk!
 “Auuuww!” Gio memegangi ubun-ubunnya, yang baru saja dijitak Nita.  “Kalau lihat yang beginian lagi, nggak usah bilang-bilang ke Thalita deh!” Nita marah-marah. “Kayak Thalita bakal peduli aja gitu lhooo! Iya kan, Tha?” Nita menoleh ke arah Thalita, tapi dia jadi kehilangan kata-kata begitu melihat Thalita ternyata udah banjir air mata.  “Eh, Tha, maafin gue yaa… Gue sama sekali nggak ada maksud bikin lo sedih. Tadinya gue cuma mau… Argghhh… emang bego banget gue! Bego!!!” Gio menjitaki kepalanya sendiri. Dia jadi panik karena melihat Thalita menangis.  “Tha, jangan nangis ya…,” Nita berusaha membujuk Thalita, tapi sobatnya itu masih terus menangis. “Gue ngerti lo pasti sakit hati, tapi kalau Darren emang ternyata kayak gitu, lo harus bersyukur karena udah bisa lepas dari dia…”  “Tapi gue sakit hati, Nit… Dia lebih milih Cheryl dibanding gue…”  “Udah, nggak usah mikirin dia lagi. He‟s not that worth.” Nita memeluk Thalita, berusaha  menenangkannya. Sambil melakukan itu, dia memelototi Gio, nggak habis pikir kenapa cowok satu ini segitu gobloknya membawa Thalita ke sini untuk menonton Darren pacaran. Gio, yang merasa bersalah, menjitaki kepalanya lagi.                     
  
SEPULUH   
Ujian akhir semester sekaligus kenaikan kelas berhasil sedikit mengalihkan perhatian Thalita dari Darren. Sepanjang tahun ajaran ini, nilainya lebih banyak jelek daripada bagus, karena banyak masalah. Mulai dari kesedihannya karena harus putus dari Andra, kemurungannya saat Andra meninggal, sampai ke hari-hari ketika dia lebih banyak gelisah memikirkan Darren yang kelamaan pedekate tapi belum nembak- nembak.  Nilai Thalita hanya bagus saat ia jadian sama Darren, saat hari-hari terasa indah dan bahagia, dan ia bisa berkonsentrasi penuh pada pelajarannya di sekolah. Tapi ketika Cheryl muncul lagi… nilai-nilai Thalita mencapai titik terendah.  Untung, Thalita tersadar tepat pada waktunya. Walaupun masih terpuruk, dia tahu, sekolahnya harus tetap menjadi prioritas. Sebodo amat dengan patah hati, itu bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang naik kelas dulu!  Selepas minggu ujian yang melelahkan, Thalita mendapati usaha kerasnya untuk belajar ternyata nggak sia-sia. Nilai-nilainya cukup lumayan, at least sanggup mengatrol nilai-nilai jeleknya sebelum ini hingga memenuhi standar untuk naik kelas.  Tapi, setelah itu ia tetap berkubang dalam keterpurukannya. Sebulan libur kenaikan kelas hanya dihabiskannya dengan diam di rumah, berusaha mengusir bayang-bayang Darren yang lebih memilih Cheryl ketimbang dirinya, tapi Thalita lebih banyak gagal daripada berhasil.  Bahkan ketika semua itu terasa menyesakkan, waktu terus berjalan. Tahun ajaran baru dimulai, dan Thalita menjalaninya dengan setengah hati. Semuanya terasa lebih gelap daripada ketika Andra meninggal. Tapi karena telah melaluinya, Thalita tahu, satu-satunya cara menghilangkan perasaan itu adalah dengan terus menjalaninya. Suka atau tidak, waktu terus berputar, ia hanya bisa berharap kata-kata time heals sekali lagi akan berlaku dalam hidupnya.  Untunglah, Thalita nggak sekelas sama Darren di tahun ajaran baru ini. Ia nggak bisa membayangkan gimana kalau itu sampai terjadi Ia memang masih tetap sekelas dengan Tatyana, dan meski setiap pelajaran agama kelasnya dan Darren akan digabung seperti dulu, Thalita nggak keberatan. Memangnya ia bisa apa? Mungkin berada dalam
satu ruangan bersama Darren selama dua kali dalam seminggu masih akan bisa diatasinya. 
* * * 
Sejak putus dari Darren, Thalita jadi jarang ngobrol sama Tatyana. Tatyana juga sepertinya jadi canggung setiap kali ada di dekat Thalita. Sering kali dia lebih memilih menjauh dari Thalita kalau mereka kebetulan ada di tempat yang sama. Sebenarnya, Tatyana kepengin minta maaf sama Thalita untuk semua kelakuan Darren yang brengsek itu, tapi kata-katanya selalu tertelan lagi setiap kali dia berniat melakukannya. Kalau melihat wajah Thalita yang sekarang selalu suram itu, Tatyana jadi merasa benci pada dirinya sendiri. Kenapa dia nggak pernah tahu abangnya ternyata brengsek? Kenapa dia malah mendorong Thalita untuk dekat sama Darren dulu? Dia nggak bakalan melakukan itu kalau aja dia tahu Darren bakal menyakiti Thalita… Dia kan juga cewek, dia bisa mengerti gimana perasaan Thalita sekarang. Tatyana bisa terima kalau Thalita jadi membencinya juga.  Sampai suatu hari, Tatyana nggak tahan lagi. Dia merasa harus minta maaf sama Thalita. Yah, walaupun itu nggak akan mengubah apa-apa, at least dia bisa sedikit mewakili abangnya yang sialan itu untuk minta maaf.  “Tha, gue mau minta maaf…”  Thalita mendongak menatap Tatyana, dan mengerutkan keningnya. “Untuk apa?”  Tatyana gelagapan dia nggak menyangka Thalita bakal seketus ini. Tapi dia salah sangka Thalita nanya kayak gitu bukan bermaksud sinis, tapi dia memang bener-bener bingung kenapa Tatyana tiba-tiba minta maaf. Seingatnya Tatyana nggak punya salah apa-apa ke dia.  “Gue ngerti kenapa sikap lo jadi kayak gitu ke gue, Tha… Gimanapun juga, gue salah satu penyebab lo sakit hati kayak gini… Kalau aja gue dulu…”  “Tunggu, tunggu! Lo salah sangka, Na. Tadi gue nanya „untuk apa‟ itu karena gue bener-bener nggak ngerti kenapa lo mendadak minta maaf ke gue.”  “Oh,” gumam Tatyana. Dia baru ngeh sekarang, dan jadi agak malu juga karena tadinya mengira Thalita bersikap ketus ke dia. “Ng… anu… minta maaf soal Darren…”  “Kenapa lo harus minta maaf soal Darren?”  “Mmm… yah… lo tahu lah… kan bisa dibilang dulu gue yang mendorong lo untuk dekat sama Darren. Sampai akhirnya kalian dekat beneran dan jadian. Lalu Darren… yah, Darren nyakitin lo kayak gini… Gue merasa bersalah banget…” Tatyana meremas jemarinya sendiri. Rasanya berat banget bicara seperti tadi di depan Thalita, tapi
Tatyana tahu dia harus melakukannya. Kalau nggak, dia akan merasa bersalah terus seumur hidup.  “Na, lo bukan Darren, kan?”  “Eh?” Tatyana bingung, nggak menangkap maksud kata-kata Thalita.  “Yang nyakitin gue tuh Darren, bukan lo. Harusnya dia yang minta maaf ke gue, bukan lo” kata Thalita datar. Thalita sendiri nggak tahu kenapa belakangan ini dia jadi datar begitu. Dia menganggap itu sebagai tameng yang dimunculkannya untuk melindungi diri sendiri.  “Iya sih…” Tatyana jadi makin merasa nggak enak. “Tapi gue tahu dia terlalu pengecut… Dia nggak akan mau datang ke lo dan minta maaf buat segala kebodohan yang udah dia lakukan. Dan kalau lo nggak mau maafin dia, gue bisa ngerti kok. Mungkin lo juga nggak bisa maafin gue…”  “Iya, gue nggak bisa maafin lo.”  Tatyana mendongak, sedikit takut menatap Thalita tapi dia memberanikan diri.  “Gue nggak bisa maafin lo, karena memang nggak ada yang perlu dimaafin, Na.”  Untuk kedua kalinya, Tatyana kaget. Dia bingung, kenapa Thalita jadi jago bermain kata-kata begitu.  “Lo minta maaf karena menganggap diri lo lah yang membuat gue bisa dekat sama Darren, tapi gue sama sekali nggak menganggap itu salah lo. Ingat kan, gue bisa aja menolak waktu itu. Gue bisa aja benar-benar menjauhi Darren, tapi nyatanya? Gue malah memilih untuk mendekati dia. Gue sendiri yang membiarkan diri gue dibodohi, dan itu bukan salah lo. Gue yang nggak bisa melihat ternyata Darren nggak benar- benar sayang sama gue. Gue nggak bisa melihat ternyata dia… dia masih menyimpan Cheryl dalam hatinya.”  Tatyana speechless mendengar semua kalimat Thalita barusan. Dia jadi kepengin nangis. Bukan karena lega banget Thalita nggak menyalahkan dia, tapi karena terharu. Setelah disakiti seperti ini pun, Thalita masih nggak menyalahkannya, nggak menyalahkan Darren.  “Tha… lo baik banget… Gue nggak pernah tahu ada orang sebaik lo… Kalau aja ada yang bisa gue lakukan untuk…”  “Hmm… gimana kalau… lo nggak mengungkit Darren di depan gue lagi? It hurts me so bad, soalnya.”  Tatyana diam sesaat, tapi lalu mengangguk. Dia sadar satu sekolah dengan Darren dan memiliki kemungkinan untuk bertemu cowok itu setiap hari saja bukan hal yang gampang. Mungkin Thalita sudah belajar berpura-pura Darren itu tembok kalau mereka kebetulan berpapasan, Tatyana nggak tahu. Tapi pasti akan lebih mudah lag
bagi Thalita untuk menyembuhkan lukanya, kalau Tatyana nggak menyinggung- nyinggung Darren lagi di depannya.  “I promise,” janji Tatyana. 
* * * 
Waktu Thalita pulang sekolah, ia mendapati rumahnya kosong. Cuma ada pembantu. Acha nggak tahu udah keluyuran ke mana. Mama dan Papa yang biasanya sudah pulang kantor jam segini pun nggak kelihatan batang hidungnya.  “Mama sama Papa belum pulang, Bi?” tanya Thalita ke pembantunya.  “Oh, tadi telepon, Non. Katanya malam ini masaknya untuk Non sama Non Acha aja, soalnya Bapak sama Ibu mau langsung ada acara. Makan di sana, katanya. Pulangnya malam.”  “Oh.” Thalita mengangguk. Mama dan papanya memang punya perusahaan kecil sendiri, distributor original spare part untuk salah satu merek sepeda motor top di Indonesia. Penjualan mereka lumayan besar, jadi sering kali mereka dapat undangan kalau si produsen sepeda motor itu punya gawe. Entah di hotel, stasiun TV atau apalah. Thalita beberapa kali ikut, lumayan juga bisa makan enak dan nonton Ungu atau artis- artis lainnya dengan gratis tanpa perlu berdesak-desakan.  “Non mau makan sekarang atau nanti aja? Biar sup kacang merah sama ayam gorengnya Bibi panasin…”  “Ng… nggak usah, Bi. TAdi aku udah makan di sekolah, kayaknya nggak makan lagi. Acha juga kayaknya makan dil uar tuh. Bibi beresin aja meja makannya.”  “Oh… iya deh, Non. Tapi nanti kalau Non mendadak lapar, panggil Bibi aja, ya? Bibi di belakang, nonton sinetron…”  Thalita tersenyum sedikit, dan mengangguk. Biar deh malam ini dia nggak merepotkan dan mengganggu keasyikan pembantunya nonton sinetron. Toh dia memang nggak lapar, dan nggak nafsu makan.  Thalita naik ke lantai dua, tempat kamarnya berada, dan langsung mengempaskan diri ke ranjang. Rasanya seluruh tubuhnya pegal, padahal hari ini dia nggak ngapa- ngapain. Dan sungguh aneh, hatinya juga masih terasa sakit akibat Darren nggak menyusulnya di halte waktu itu.  Sudah hampir dua bulan sejak kejadian itu, tapi Thalita serasa masih bisa melihat semua itu di depan matanya. Darren yang lebih memilih Cheryl daripada dia… Darren yang membiarkan Thalita turun di halte begitu saja tanpa menyusulnya sama sekali… Mungkin dia lega karena Thalita tahu diri juga setelah mendengar cerita tentang
Cheryl, dan dengan begitu dia nggak perlu memutar otak lagi mencari cara untuk minta putus dari Thalita.  Tapi entah kenapa rasanya begitu sakit…  Darren-lah yang dulu menopangnya ketika Andra meninggal. Darren-lah yang dengan hati-hati mendekatinya, pelan tapi pasti, menawarkan diri untuk menggantikan Andra. Darren yang ganteng, tapi humble dan pengertian. Darren yang selalu ada. Disakiti oleh cowok macam itu jelas akan terasa lebih sakit daripada disakiti cowok brengsek. Lukanya menusuk lebih dalam.  Thalita merasa dia sudah dibawa terbang tinggi selama kebersamaannya dengan Darren, tapi kemudian dia dijatuhkan lagi setelah kedatangan Cheryl. Sakitnya lebih terasa kecewanya lebih dalam, dan ada sejuta pertanyaan “kenapa” di otaknya yang ingin dia ajukan, tapi dia tahu itu nggak akan ada gunanya.  Darren memilih Cheryl, bukankah itu sudah jelas?  Kenapa dia masih harus bicara banyak-banyak lagi ke Darren, kalau akhirnya pun dia tahu dia akan sampai pada kenyataan itu?  Akan lebih mudah jika ia memutuskan untuk melupakan cowok itu saja, dan bangkit lagi. Dulu kan dia pernah terpuruk juga, tapi buktinya dia bisa bangkit lagi, kan?  Hanya saja Thalita ragu… Dulu waktu dia jatuh karena Andra, ada Darren yang membantunya berdiri. Tapi sekarang… saat dia jatuh karena Darren, siapa yang akan membantunya berdiri?  Tiba-tiba saja Thalita merasakan matanya panas, dan air mata berkejaran menuruni pipinya. 
* * * 
Pagi itu Thalita berencana online dulu sebelum bel sekolah. Kepengin ngecek e-mail, siapa tahu ada e-mail yang menarik dalam inbox-nya.  Thalita masuk ke lab komputer, yang pagi itu masih kosong melompong, dan menyalakan komputer favoritnya. Tapi belum sampai logo Windows menghilang dari layar, pintu lab terbuka, dan Darren berdiri di sana.  “Eh,” gumam Darren, kayaknya sih nggak menyangka bakal melihat Thalita di sana.  Thalita cuma balas melihat Darren tanpa bilang apa-apa. Menurutnya, lebih baik dia diam. Dia takut kalau bicara nanti, dia justru mengeluarkan sejuta pertanyaan “kenapa” yang disimpannya itu.  “Ng… sori, gue nggak tahu lo di sini…,” kata Darren lagi, canggung.
 Thalita berusaha mengalihkan perhatiannya ke layar komputer lagi, yang sekarang sudah menampilkan desktop, tapi tetap aja kata-kata Darren barusan terasa mengusiknya. Darren mengucapkannya seolah… Thalita memang orang yang dihindarinya. Mungkin yang nggak kepengin dilihatnya bahkan sampai sejuta tahun cahaya sekalipun.  Tapi Thalita nggak menyalahkan Darren. Dia juga bukannya nggak menghindari cowok itu, kan? Sering dia mendekam di kelas saat jam istirahat, hanya supaya nggak perlu ke kantin, dan menghindari kemungkinan berpapasan dengan Darren di koridor. Tapi kalau kamu pernah tertusuk jarum, bukannya wajar kalau kamu sebisa mungkin berusaha nggak menyentuh jarum lagi? Seperti itulah yang Thalita rasakan. Kalau Darren, memangnya dia punya motif untuk menghindari Thalita? Nggak ada, kecuali mungkin perasaan bersalah.  “Mmm… yah… gue pergi aja deh… Bye…”  Darren menutup kembali pintu lab komputer dan berlalu dari situ. Thalita terpaku di tempatnya. Rupanya hubungannya dengan Darren memang sudah sedingin dan secanggung ini, nggak akan bisa dipulihkan lagi.  Padahal dulu, di ruangan inilah Darren menghiburnya setelah Thalita menerima e- card dari Andra, dan dia jadi cengeng mendadak. Di ruangan inilah dulu Darren ngumpet dari Gio sang bigos sekolah, dan tanpa sengaja malah mendapati Thalita yang lagi nangis. Tapi sekarang ruangan ini malah jadi ruangan tempat Darren muncul, tapi pergi lagi setelah melihat Thalita ada di sana…  Thalita nggak tahu harus gimana. Ia mematikan komputer yang tadi dinyalakannya, dan keluar dari lab.              
  
SEBELAS   
Darren sampai harus mengerjap dua kali untuk memastikan dia nggak salah lihat. Tapi yang dilihatnya masih tetap sama. Cheryl hari ini pucat sekali…  “Cher, kamu nggak papa?”  “Nggak papa?” Cheryl mendongak dan menatap Darren dengan ekspresi bingung yang aneh. “Tentu aja aku nggak papa. Kenapa kamu nanya kayak gitu?”  “Kamu kelihatan… pucat banget.”  Darren bisa melihat Cheryl menelan ludah. “Oh, mungkin ini gara-gara aku belajar semalam.”  “Belajar?” Darren makin bingung. Cheryl dan “belajar” bukanlah dua kata yang akan cocok jika dipadukan dalam satu kalimat. Darren tahu, Cheryl menganggap sekolah lebih untuk formalitas saja, plus karena dia nggak mau kalau kebetulan bertemu teman ortunya atau saudara jauhnya dan ketika ditanya “sekolah di mana?” dia cuma bisa menjawab “aku nggak sekolah”. Orang yang bertanya itu pasti bakal menatapnya dengan pandangan aneh.  Cheryl lebih tua setahun dari Darren. Harusnya sekarang dia duduk di kelas dua belas, tapi kecanduan narkoba dan proses rehab yang diikutinya ternyata membuatnya nggak naik kelas tahun ajaran lalu. Jadi tahun ini dia terpaksa mengulang lagi tingkatan yang sama, tapi di sekolah yang berbeda, karena sekolah lamanya  sudah menendangnya keluar begitu tahu dia pecandu.  “Iya. Aku ada ujian kimia hari ini. Aku harus buktikan ke guruku kalau aku bisa, Ren. Aku nggak mau diremehkan terus…”  “Oh.” Darren tersenyum kecil dan mengacak rambut Cheryl dengan sayang. “Iya, kamu harus belajar yang giat ya… Kita tunjukin kamu pantas dapat kesempatan kedua. Kita tunjukin kamu sekarang adalah Cheryl yang baru.”  “Thanks ya… You know, that‟s why I came back to you.” 
* * *  
“Lit, lo tahu nggak… gue kepikiran satu hal,” kata Darren sewaktu dia ketemu Tatyana di rumah malam harinya.
 “Apa? Akhirnya lo nyadar udah melakukan kebodohan dengan balik sama Cheryl?” tanya Tatyana galak. Setelah ngobrol sama Thalita waktu itu, Tatyana jadi makin kesal sama Darren, dan makin benci pada Cheryl. Coba lihat dong, apa yang sudah dua orang brengsek itu lakukan ke cewek sebaik Thalita? pikir Tatyana kesal.  “Gue sama sekali nggak nyesal,” sergah Darren jengkel.  “You will.” Tatyana menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga lalu menyalakan TV. Dia sengaja mengeraskan suara TV itu, supaya nggak usah mendengar lagi sampah apa pun yang bakal diocehkan Darren sekarang.  “Okay, enough „bout that stuff. Gue bener-bener butuh lo dengerin gue sekarang.”  “Ngomong aja.” Tatyana masih sok asyik dengan remote control TV-nya.  Darren cukup pintar untuk nggak membiarkan aksi cuek Tatyana menghalangi niatnya untuk bicara. Lebih baik to the point aja.  “Gue kepengin pindah sekolah. Ke sekolah Cheryl.”  “LO UDAH GILA???”  Sekali lagi Darren mengabaikan reaksi Tatyana, walau dia senang juga kali ini kata- katanya berhasil membuat Tatyana memperhatikan, bukannya cuek bebek seperti tadi.  “Gue serius. Gue kepengin bantuin Cheryl. Dia agak… kesulitan sama pelajaran- pelajarannya…”  “Pantes aja, otaknya pasti udah bolot gara-gara semua drugs itu. Oh, dia memang asalnya udah bolot sih, sekarang pasti bolotnya makin menjadi-jadi.”  Darren langsung menatap Tatyana tajam, tapi Tatyana cuma mengedikkan bahu. Dia begitu bencinya sama Cheryl sekarang, yang terlihat di matanya hanya sisi negatif cewek itu saja.  “Lo nggak boleh ngomong kayak gitu.”  “Boleh aja, ini kan mulut gue sendiri! Dan kalau lo udah lupa, gue benci banget sama dia! Dia yang dulu ngerusak lo, sampai lo jadi manusia dingin nggak berperasaan! Dan ketika lo udah mulai normal kembali, seenaknya aja dia datang dan merebut lo! Apa yang lo lihat dari cewek kayak dia Darren? Please deh!  “Lit, udah berapa kali gue bilang, dia udah berubah. Dia bukan Cheryl yang dulu lagi. Tuhan aja mau maafin dosa-dosa kita, dosa-dosa lo, masa sih lo nggak mau maafin kesalahan orang lain?”  “Nggak usah bawa-bawa Tuhan deh. Dosa lo nyebut nama Tuhan dengan sembarangan! Lagian, salah Cheryl sendiri kenapa dia segitu nyebelinnya! Bukan salah gue kalau nggak bisa maafin dia!”  Darren jadi bingung kenapa Tatyana jadi mempersulit keadaan kayak gini. Padahal tadinya dia cuma berniat curhat dan minta pendapat soal keinginannya pindah ke sekolah Cheryl, tapi mereka sekarang malah bertengkar!
 “Ya ampun… susah banget ngomong sama lo! Pikirin baik-baik dong, Lit, dia udah berusaha keras! Bersedia masuk rehab itu nggak gampang! Lo lihat aja mantannya Thalita, si Andra, dia nggak pernah mau masuk rehab, dan apa jadinya dia? Mati! Dan asal lo tahu, di rehab Cheryl juga bukannya santai-santai, dia berjuang. Nggak pantas ya dia dapat kesempatan lagi setelah semua usahanya itu? She deserves the second chance!”  “Whatever lah, Darren! Kalau dia memang mau jadi anak baik setelah lepas dari narkoba, kenapa dia ke sini? Kenapa dia mengusik lo lagi? Dia bisa aja jadi anak baik di luar sana, dengan nggak mengganggu lo lagi! Dengan menata hidupnya lagi tanpa perlu melibatkan lo di dalamnya. Nah, kalau dia melakukan itu, gue akan beranggapan dia pantas dapat kesempatan kedua. Tapi nyatanya. Nggak, dia nggak berusaha jadi manusia yang lebih baik. Dia datang ke sini dan membuat lo putus sama Thalita. Dia merebut pacar orang!” Tatyana terengah-engah setelah menumpahkan semuanya itu. Seolah dia gunung berapi yang baru meletus, mengeluarkan lahar kekesalan dan kemarahannya yang lama disimpan.  “Itu bukan salah dia, gue yang memutuskan…”  “Bagus, belain aja dia terus! Dengar ya, gue nggak mau lagi lo ngebahas dia di depan gue, gue muak! Dan kalau nilai-nilainya memang jelek, suruh aja dia cari guru les. Ngapain harus lo yang pindah ke sekolahnya dan tutoring dia? Stupid!”  Tatyana membanting remote control TV yang dipegangnya ke karpet, membuat titik- titik debu yang menempel di sana beterbangan. Dia menatap Darren tajam, lalu beranjak ke kamarnya dengan marah dan membanting pintu keras-keras, masih nggak habis pikir kenapa abangnya begitu dibutakan oleh cewek bernama Cheryl itu. 
* * * 
Pagi itu Thalita shock luar biasa.  Waktu mobilnya melintasi sekolah swasta yang terletak nggak jauh dari sekolahnya, Thalita melihat Darren berboncengan dengan seorang cewek, yang nggak perlu diragukan lagi pasti Cheryl.  Persis di depan gerbang sekolah, Darren berhenti. Cheryl turun dari boncengan, melepas helmnya, dan mengembalikannya ke Darren. Thalita menelan ludah. Itu helm yang dulu sering dipakainya… Helmnya… sekarang itu helm Cheryl…  Seperti ada yang baru menghantam dadanya ketika melihat itu. Cheryl sudah merebut semua miliknya dulu. Cowoknya, masa-masa indah yang seharusnya masih dia miliki bersama Darren, bahkan hal sepele seperti helmnya… Cheryl sudah menggantikannya.
 Thalita sampai terpaksa menepikan mobilnya, terlalu shock untuk terus menyetir setelah melihat pemandangan itu. Untung saja mobilnya Honda Jazz hitam, jenis mobil yang cukup pasaran di Jakarta, dan kelihatannya Darren nggak memperhatikan mobil itu menepi di seberang jalan tempat cowok itu menurunkan Cheryl.  Dari tempatnya berhenti, Thalita bisa melihat dengan jelas wajah Cheryl yang sumringah, juga senyum Darren yang terus mengembang. Darren mengulurkan tangannya untuk merapikan anak rambut Cheryl yang berantakan setelah helmnya dilepas, dan Thalita makin nelangsa melihatnya.  Seharusnya gue yang ada di posisi itu, bukan Cheryl… batin Thalita pahit.  Dan tiba-tiba saja, seolah ada yang memutar tape recorder persis di telinganya, Thalita teringat kata-kata Darren di mobil dulu…  “Tha, kamu nggak ngerti… Ini sulit banget buat aku… Coba kamu bayangin ada di posisi aku. Saat kita pacaran, lalu… lalu seandainya Andra datang ke rumahmu dengan kondisi yang sehat, dan dia bilang dia masuk rehab demi kamu, dan dia sembuh, siapa yang akan kamu pilih?”  Seandainya dulu Andra rela masuk rehab demi Thalita… Seandainya dulu Andra sembuh… apa Thalita akan tetap memilih Darren?  Dan perasaan itu menghantamnya begitu kuat sampai rasanya dia nyaris tercekik.  Dia juga akan memilih Andra.  Sekarang dia mengerti. Dia mengerti apa yang dimaksud Darren waktu itu. Thalita dulu menerima Darren, karena Andra sudah nggak ada. Darren dulu memilih Thalita, karena Cheryl nggak ada. Mereka berdua sama-sama kehilangan orang yang mereka sayangi, dan di tengah kekosongan itu ada orang lain yang datang, menawarkan perhatian dan kasih sayang… lalu mereka mengira dengan begitu akan melupakan yang lama, tapi ternyata nggak…  Andra memang nggak mungkin kembali lagi karena dia sudah meninggal, tapi Cheryl…? Dia bisa kembali kapan saja, sadar benar bahwa Darren belum melupakan dia, lalu merebutnya kembali…  Thalita menarik napas dalam-dalam. Sekarang dia bnear-benar mengerti. Darren melakukan hal yang benar. Cowok itu nggak mau membohongi dirinya sendiri dengan pura-pura terus bersama Thalita, padahal ada Cheryl menunggunya. Dia nggak mau lebih menyakiti Thalita dengan membiarkannya “tergantung” di antara dirinya dan Cheryl. Darren memberi Thalita kebebasan untuk memilih. Dia membiarkan Thalita yang minta putus darinya…  Dan Thalita tahu, seharusnya dia nggak menyalahkan Darren karena itu. Seharusnya dia malah berterima kasih. Darren sudah berbuat sebisanya untuk Thalita setelah Andra meninggal, membuat Thalita melihat bahwa tanpa Andra pun dia masih
tetap bisa survive. Sekarang, Thalita harus membuktikan, tanpa Darren pun dia juga tetap bisa survive…  Pelan-pelan, Thalita menyalakan mesin dan menginjak gas, kembali menjalankan mobilnya. Untuk pertama kalinya sejak putus dari Darren, ia merasa hatinya ringan. 
* * * 
Darren celingak-celinguk di depan gerbang sekolah Cheryl. Jam pulang sekolahnya sudah lewat dari tadi, tapi Cheryl belum juga kelihatan batang hidungnya. Darren juga sudah coba telepon, tapi tersambung ke mailbox mulu.  Sekarang dia jadi kelihatan kayak orang bego karena ngejogrok di depan sekolah orang, bingung harus ngapain. Dia nggak kenal satu pun teman Cheryl di sekolah itu. Yang dikenalnya cuma teman-teman Cheryl di sekolahnya yang dulu. Itu pun kalau mereka masih bisa disebut “teman”, karena menurut cerita Cheryl, mereka langsung menjauhinya begitu tahu Cheryl masuk panti rehabilitasi narkoba. Mereka menjauhinya, bukan men-support-nya.  Darren nggak menyalahkan teman-teman Cheryl. Dia tahu, mereka juga berada dalam posisi yang nggak enak. Serbasalah. Kalau dekat-dekat, takut ikut terjerumus. Kalau menjauhi, nanti dibilang nggak setia kawan. See? Semua pilihan ada dampak negatifnya.  Karena itulah Darren benar-benar bersyukur Cheryl sudah sembuh sekarang. Cheryl akan bisa menata hidupnya lagi, bisa memulai dari awal lagi. Dan Darren akan membantunya. Dia nggak akan membiarkan Cheryl berjuang sendiri.  Darren berdiri dari jok motor yang didudukinya, dan berjalan mondar-mandir di depan gerbang. Cheryl masih belum nongol juga. Apa mungkin ada pelajaran tambahan ya? Dia kan sedang butuh menaikkan nilai-nilainya, jadi mungkin ada guru yang berbaik hati memberi pelajaran ekstra sepulang sekolah. Dan HP Cheryl mungkin low batt…  Sampai akhirnya sudah satu jam lebih Darren menunggu, tapi Cheryl belum juga muncul. Padahal sekolah sudah mulai sepi. Darren akhirnya mengambil inisiatif untuk masuk ke dalam, mencari Cheryl.  Darren mengunci sepeda motornya, lalu berjalan memasuki sekolah. Setelah lorong yang berbelok dua kali, dia sampai di bagian dalam. Lapangan basket menghampar di depannya, dikelilingi bangunan sekolah yang berbentuk huruf L. Panas terik dengan debu beterbangan, tapi masih ada beberapa cowok yang bermain basket di sana.
 Cowok-cowok itu mendongak dan jadi saling berbisik begitu menyadari keberadaan Darren. Karena ogah banget dianggap penyusup, Darren berinisiatif mendatangi mereka, dan langsung menanyakan Cheryl.  “Ehm, sori, gue lagi nyari Cheryl, anak sekolah ini. Kalian lihat dia nggak?”  “Cheryl? Yang ngobat itu?” tanya salah satu di antara para cowok itu, yang bertubuh paling gendut. Darren langsung merasa urat di bawah matanya berkedut, yang sering terjadi kalau dia akan marah besar.  Beberapa teman si gendut meliriknya dengan tajam, tapi ia cuma mengedikkan bahu dan kembali meneruskan main basketnya yang sempat tertunda gara-gara diajak bicara Darren tadi.  “Eh, sori, nggak usah dengerin dia, dia emang suka ngaco,” kata cowok jangkung yang berdiri persis di depan Darren. Darren tersenyum datar. “Cheryl yang anak pindahan itu kan maksud lo? Cheryl Davina?”  Darren mengangguk.  “Tadi sih pas bubaran sekolah gue lihat dia nyegat taksi di depan sekolah…”  Kening Darren langsung berkerut. “Nyegat taksi? Terus dia… pergi, gitu?”  “Kayaknya sih. Tapi gue nggak tahu ke mana. Pulang, kali. Buru-buru banget dia.”  Darren makin bingung. Masa sih Cheryl pulang duluan tanpa bilang-bilang dia dulu? Sekolah Cheryl memang bubarannya lebih cepat, tapi sebelum ini juga Cheryl selalu menunggu Darren datang menjemput. Nggak pernah dia pulang duluan kayak gini, apalagi tanpa bilang-bilang.  Mungkin Cheryl… sakit? Ya, kalau sakit pasti dia nggak bisa menunggu Darren. Dia pasti harus secepatnya pulang ke rumah dan istirahat. Kalau gitu, Darren harus cepat- cepat ke sana.  “Oh, gitu. Ya udah, thanks ya.”  Cowok jangkung itu tersenyum, dan Darren bergegas menuju gerbang sekolah tempat motornya diparkir tadi. 
* * * 
Tante Alena, mama Cheryl, yang membukakan pintu waktu Darren sampai di sana. Darren sudah lumayan akrab sama Tante Alena dan keluarganya. Mereka bahkan sayang banget sama Darren, karena Darren-lah satu-satunya yang masih mau berteman, bahkan pacaran, dengan Cheryl setelah Cheryl keluar dari panti rehabilitasi. Teman-teman Cheryl yang lain sudah ngibrit entah ke mana.  “Lho, Cheryl-nya mana, Darren?” tanya Tante Alena setelah Darren melepas helmnya.
 Darren melongo dengan sukses. “Lho? Cheryl nggak di rumah, Tante?”  “Hah? Nggak… Cheryl belum pulang sama sekali. Tante kira dia sama kamu…” Tante Alena jadi ikut bingung.  “Nggak… tadi saya ke sekolahnya, saya tungguin lama tapi dia nggak keluar- keluar. HP-nya juga mati. Saya tanya ke temen sekolahnya, katanya Cheryl nyegat taksi di depan sekolah begitu bubaran. Saya kira dia pulang…”  Tante Alena sekarang kelihatan gelisah. Cheryl memang bukan anak kecil lagi. Kalau nyasar dia pasti tahu jalan pulang. Tapi yang jadi masalah adalah kondisinya. Dia baru keluar dari panti rehabilitasi narkoba, kondisinya masih belum stabil. Dia masih sangat rawan untuk pergi ke mana-mana sendiri tanpa pengawasan. Gimana kalau dia ketemu dengan teman-teman sesama pemakainya dulu? Dengan bandar narkoba yang jelas masih mengincarnya dan pasti berusaha menjeratnya kembali?  Darren rupanya menyadari juga apa yang ada di pikiran Tante Alena. Dia harus mencari Cheryl sekarang, secepatnya.  “Biar saya cari Cheryl, Tante.” Darren menyalakan mesin motornya lagi, dan Tante Alena dengan terburu-buru membuka kembali pintu pagar yang nyaris ditutupnya.  “Tolong ya, Darren, tolong…”  “Iya, Tante, iya.”  Darren hampir saja memundurkan motornya keluar dari halaman rumah Cheryl, waktu dia mendengar ada yang bertanya di belakangnya.  “Lho? Ada apa ini?”  Darren menoleh, dan Cheryl berdiri persis di hadapannya, dengan wajah tanpa dosa.  “Cheryl! Kamu ke mana aja, Cher? Mama bingung sekali waktu Darren ke sini mencari kamu! Mama kira kamu lagi sama-sama Darren!” Tante Alena spontan memeluk Cheryl, seolah anaknya itu sudah hilang berhari-hari. Cheryl menatap Darrren dari atas bahu mamanya (yang memang lebih pendek dari dia), dengan ekspresi bertanya-tanya.  “Kamu nggak apa-apa kan, Cher? Kamu baik-baik aja?” tanya Tante Alena lagi, sambil meneliti Cheryl dari atas ke bawah dengan cemas.  “Iya, Ma, aku nggak kenapa-kenapa kok. Aku baik-baik aja. Nih lihat,” Cheryl mengembangkan tangannya sedikit, bermaksud untuk menggoda mamanya. Tapi baik mamanya maupun Darren sama sekali nggak menganggap itu lucu.  “Kamu dari mana, Cher?” tanya Darren, tepat sasaran.  “Aku, eh… aku dari toko buku.”
 “Toko buku?” Darren nggak tau harus ngomong apa mendengar jawaban ajaib itu. Sama seperti “belajar”, “toko buku” juga nggak akan cocok berada dalam satu kalimat dengan nama Cheryl.  “Kamu ngapain di toko buku?”  “Ya… ya beli buku!”  “Buku apa?” desak Darren. Tante Alena sekarang menatap Darren dan Cheryl bergantian, dengan tatapan bingung.  “Buat referensi tugas biologi aku…”  Darren terdiam. Kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya sekarang cuma satu: bingung! Cheryl ke toko buku untuk beli buku referensi tugas biologi?  Tapi Darren mendadak sadar, Cheryl kan sedang berusaha keras memperbaiki nilainya, jadi mungkin banget dia ke toko buku tadi. Dan Darren nggak mau sikapnya jadi menimbulkan kesan dia nggak percaya sama Cheryl. Dalam kondisi begini kan dia harusnya mendukung Cheryl, bukan malah meragukannya.  “Huff… kamu itu, kok nggak bilang-bilang dulu sih kalau mau ke toko buku? Kan bisa aku anterin? Lagian, aku bingung banget nunggu kamu di sekolah tadi. Aku tunggu satu jam lebih, kamu nggak keluar-keluar. Anak sekolahmu bilang dia lihat kamu nyegat taksi setelah bubaran. Aku kan jadi khawatir kamu kenapa-kenapa, Cher…” Darren menyentuh lengan Cheryl pelan.  “Iya, Cheryl, HP-mu juga nggak bisa dihubungi…,” tambah Tante Alena.  “Iya, sori… Aku buru-buru soalnya. Aku butuh buku ini buat tugas yang harus dikumpulin lusa. Aku kira aku bisa ke toko buku sebentar sambil nunggu kamu datang. Kan toko bukunya nggak terlalu jauh… tapi tadi taksiku kena macet. Pas aku nyampe di sekolah lagi, kamu udah nggak ada… Terus aku baru tahu ternyata HP-ku low batt. Udah mati di dalam tas.”  Darren menghela napas. Dia kasihan juga melihat Cheryl dimarah-marahi begini, padahal cewek itu pergi untuk cari buku bahan referensi, dan kebetulan saja HP-nya low batt, jadi dia nggak bisa ngasih kabar atau dihubungi.  “Ya udah, nggak papa. Tapi lain kali, kalau kamu mau pergi ke mana-mana habis pulang sekolah, jangan pergi sendirian ya? Tunggu aku aja. Biar kejadian kayak gini nggak keulang lagi.”  Cheryl kelihatannya sudah akan protes. Dia merasa diperlakukan kayak tahanan rumah, ke mana-mana harus lapor dulu. Dia kan bukan anak kecil lagi!  Tapi akhirnya Cheryl memilih mengiyakan saja apa yang diminta Darren. Daripada ribut. 
* * *
 Kejadian Cheryl pergi tanpa bilang-bilang dulu itu mau nggak mau bikin Darren kepikiran juga. Dia jadi makin berniat untuk pindah sekolah. Cheryl butuh bantuan untuk belajar, dan pasti lebih manjur kalau Darren selalu ada di dekatnya untuk membantu dia. Darren kan pintar. Dia bisa menjelaskan ke Cheryl kalau ada pelajaran yang nggak dimengerti cewek itu.  “Ren, Darren, sini deh!” Tatyana berteriak memanggil Darren dari ruang keluarga. Darren langsung menuju ke sana.  “Apaan?”  “Tuh… lihat deh.” Tatyana menuding ke arah TV, dan Darren berusaha melihat apa yang sedang ingin ditunjukkan Tatyana.  Channel TV yang disetel Tatyana entah sedang menayangkan apa. Kelihatannya sih berita…  Di TV terlihat seorang ibu setengah baya yang menggendong bayi yang kelihatannya baru berusia beberapa minggu. Yang membuat Darren melotot, bayi yang digendong ibu itu hanya punya satu kaki dan satu tangan.  Entah reporter entah presenter acara itu menanyakan beberapa hal kepada si ibu. Rupanya bayi yang digendong ibu itu adalah cucunya, putri dari putrinya. Si ibu menceritakan penyebab cucunya lahir cacat… karena putrinya, ibu dari bayi itu, dulu adalah pengguna narkoba.  Darren seperti mengejang.  Sang ibu di TV terus diwawancarai. Dia menceritakan, putrinya masih muda ketika mulai terjerat narkoba, masih SMA. Setelahi itu, putrinya yang alim mendadak berubah jadi liar. Yang tadinya selalu punya nilai bagus di sekolah jadi terancam nggak naik kelas. Kelakuannya pun mulai mencurigakan, sampai puncaknya dia kepergok mencuri uang simpanan milik ibunya, dan menggunakannya untuk beli narkoba.  Waktu semua itu terbongkar, ternyata sudah terlambat. Putri ibu itu sudah hamil dengan pacarnya yang juga sesama pecandu. Tentu saja, pacarnya nggak mau bertanggung jawab, dia kabur. Ironisnya lagi, ketika usia kehamilan putri ibu itu mencapai lima bulan, ia tiba-tiba jadi gila. Dokter yang memeriksa mendiagnosis adanya kerusakan pada otaknya, yang diakibatkan pemakaian obat-obatan terlarang dalam frekuensi dan dosis tinggi, bahkan pada masa kehamilannya. Dia juga sudah sering melakukan usaha bunuh diri, tapi selalu berhasil dicegah oleh keluarganya. Sampai akhirnya dia melahirkan, tapi ternyata bayinya cacat.  “Lo mau, bernasib kayak gitu?” tanya Tatyana.  Darren melotot. “Maksud lo apa, ngomong kayak gitu?”
 “Yah, katakanlah worst situation happen… Lo MUNGKIN nikah sama Cheryl, lalu kalian punya anak, siapa yang tahu bakal seperti apa anak itu nanti? Kita nggak tahu kan sudah seperti apa dampak kerusakan akibat semua drugsyang Cheryl pakai?”  “HEI! Berapa kali sih harus gue bilang, Cheryl udah bersih!” Darren emosi.  “Iya, kalau itu memang bener dia nggak ngobat lagi. Dan kalaupun bener, sudah seperti apa kerusakan di organ-organnya, kita nggak tau, kan? Gue bukannya mau nakut-nakutin, Ren, tapi ada kemungkinan Cheryl, bersama lo, punya anak kayak bayi tadi…”  Darren melongo, bener-bener nggak tau harus ngomong apa. Tatyana kok jadi ngaco gini sih?  “Ren, walaupun Cheryl bersih, dia tetap aja… bekas pecandu. Gue bukan mau semakin menjelek-jelekkan dia atau gimana, tapi kita sama-sama tahu seperti apa dia, kan? Dia bukan cuma nge-drugs, dia juga ngerokok, suka minum-minum, nongkrong di diskotek. Gimana dia bisa punya keturunan yang baik kalau di dalam tubuhnya sudah rusak begitu?”  “Alita…,” Darren tiba-tiba merasa mual mendengar semua itu.  “Lo memang nggak bakal merit sama dia dalam waktu dekat, tapi kalau lo berniat melakukan hal itu di masa depan pun, kondisinya masih akan tetap sama. Cheryl pernah pakai narkoba, itu nggak bisa lo sangkal. Tolonglah, Ren, gue nggak lagi mengada-ada. Lo lihat sendiri di TV tadi, risikonya akan terlalu besar kalau lo tetap memilih Cheryl…”  “Oh, jadi gue harus membuang dia gitu aja, itu maksud lo? Dan bikin dia putus asa? Dan mungkin tadinya dia sudah tobat dan bersih, tapi karena stres dia kembali lagi jadi pemakai, gitu?”  “Ren, gue ngomong gini demi kebaikan lo sendiri… Gue care sama masa dpean lo…” Tatyana memegang bahu Darren dan mengguncang-guncangnya. “Gue cuma kepengin lo melihat risiko apa yang bakal lo ambil di masa depan kalau lo tetap dengan pilihan lo sekarang…”  “Banyak anak yang cacat padahal orangtuanya bukan junkies… Dan nggak semua anak junkies itu cacat,” denial Darren keluar dengan sendirinya. Ia sendiri kaget mendengar nada tajam dalam suaranya.  “Ck!” Tatyana berdecak. “Memang, tapi harus gimaan gue membuka mata lo, kalau pecandu, atau bekas pecandu, punya kemungkinan yang lebih besar untuk itu, daripada mereka yang sama sekali nggak pernah pakai narkoba? Ayolah, Darren, lo bisa melihat itu semua. Jangan membutakan mata lo sendiri…”  Darren melepaskan tangan Tatyana yang mencengkeram bahunya, dan menurunkan tangan itu.
 “Gue nggak mau ngebahas itu lagi.”  Lalu ia pergi meninggalkan Tatyana di ruang keluarga. Tatyana hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Tadinya dia kira tayangan di TV itu bisa membantunya menyadarkan Darren tentang risiko yang bakal dihadapi abangnya itu jika masih bersama Cheryl di masa depan. Dan bukan, Tatyana bukan melakukan itu karena rasa bencinya pada Cheryl, atau karena ia kepengin lihat Darren balik sama Thalita, tapi semata-mata karena ia peduli pada darren.  Biar brengsek kayak apa pun, Darren kan tetap kakaknya. 
* * *  
Acha bingung setengah mati waktu melihat Thalita bersenandung riang siang itu.  “Tha? Lo kok… hepi?”  Thalita, yang sedang memasukkan baju-bajunya yang habis disetrika ke dalam lemari, menoleh dengan wajah bingung.  “Kenapa lo harus bingung lihat gue hepi?”  “Ng… yah, karena… belakangan ini lo selalu bermuram durja…”  Thalita nggak tahan untuk nggak ketawa. “Bermuram durja? Ya ampun Acha, lo habis baca novel-novel Harlequin? Pilihan bahasa lo aneh banget deh…”  Thalita memasukkan lagi baju-bajunya ke lemari, nggak memedulikan Acha yang sekarang sudah masuk ke kamarnya dan memandangnya penuh selidik.  “Apa?” tanya Thalita lagi, akhirnya merasa terganggu juga dilihatin kayak gitu.  “Lo lagi jatuh cinta, ya?”  “Hah? Nggak… gue nggak lagi jatuh cinta. Apaan sih? Dan tadi nanya aneh-aneh mulu. Udah sana! Gue masih banyak kerjaan nih. Mau bersih-bersih kamar habis ini.”  Ini juga aneh. Sejak diketahui putus dari Darren, dan (berasal keterangan dari Jennie yang dikorek Acha) itu karena Darren memilih kembali pada mantan pacarnya, Thalita selalu mengurung diri di kamar. Dia menjadikan kamar seperti “sarangnya”, melarang Bik Nah masuk dan membersihkannya. Sudah bisa diduga sendiri kan seperti apa kondisi kamar itu? Berantakan, penuh sampah, bau apek. Tapi sekarang Thalita mau bersih-bersih? What a surprise!  “Tha, Tha, jelasin ke gue… lo kenapa sih? Kenapa lo mendadak mau beresin kamar lo? Kenapa lo jadi nyanyi-nyanyi gini? Apa Darren… Darren balikan sama lo?”  Thalita diam sesaat, bikin Acha makin gemas kepengin tahu jawabannya. “Nggak, Darren nggak balikan sama gue.”  “Terus kenapa lo…? Aduh, sebelumnya sori ya, tapi lo jadi aneh kayak kemarin- kemarin kan gara-gara Darren… jadi kalau sekarang lo udah kembali…”
 “Cha, ini nggak ada hubungannya sama Darren. Yah, ada sih… tapi ini lebih ke gue- nya.”  “Maksud lo?”  “Yah, kelakuan childish gue yang kemarin itu kan… karena gue masih nggak bisa terima Darren gitu aja ninggalin gue, tapi sekarang gue udah bisa terima…”  “Kenapa tiba-tiba…?”  “Sorry, it‟s a lil bit private,” potong Thalita sambil nyengir.  “Ah, gaya lo!” Acha melempar salah satu boneka yang ada di atas ranjang Thalita pada pemiliknya, tapi Thalita dengan sukses mengelak. Boneka itu jatuh persis di atas tumpukan baju kotor Thalita di sudut kamar.  “Hehe… yang penting gue udah normal lagi, ya kan?”  “Iya sih… tapi, Tha, gue cuma berharap setelah ini lo lebih selektif lagi milih cowok, ya? Bukannya apa-apa, tapi lo dulu pernah bilang kalau gue bisa percaya pada seseorang untuk nggak membuat lo sakit hati, orang itu adalah Darren. Tapi nyatanya? Dia malah bikin lo lebih down daripada Andra dulu. Gue cuma nggak bisa ngeliat lo down untuk ketiga kalinya…”  Thalita bengong. Dia nggak menyangka adiknya yang usil dan bawel itu ternyata care banget sama dia.  “Cha?”  “Ya?” tanya Acha serius. Dia masih berharap Thalita mau cerita kenapa sekarang kakaknya itu sudah bisa menerima fakta bahwa Darren mencampakkannya.  “Kayaknya lo bener-bener nggak boleh baca Harlequin lagi deh…”  “Hah? Awas lo ya! Sialan! Kurang ajar!” Acha langsung meraih apa pun yang berada dalam jangkauannya dan melemparkannya pada Thalita. Thalita cuma bisa ngakak, kesenangan berhasil menjaili Acha lagi. 
* * * 
“Hei…”  “Thalita? How are you doing?” Jennie excited banget mendengar suara Thalita di telepon. Sudah lama banget Thalita nggak mengontaknya. Terakhir waktu Thalita curhat plus nangis bombai karena dicampakkan Darren. Jennie sempat berusaha mengontak Thalita beberapa kali lagi setelah itu, tapi Thalita seperti menutup diri. Bukan hanya dari dirinya, Jennie tahu, tapi dari orang-orang sekitarnya juga. Jennie kepengin menolong, tapi entah kenapa suara hatinya bilang untuk membiarkan Thalita sendiri dulu, seenggaknya sampai dia lebih tenang.  “Gue baik. Jen, nggg… gue udah nggak marah lagi sama Darren.”
 Jennie bengong. “Kok?”  Thalita lalu menceritakan kejadian itu, gimana dia melihat Darren dan Cheryl di depan gerbang sekolah Cheryl, dan gimana dia seolah tersadar dia pun akan mengambil keputusan yang sama seandainya ada pada posisi Darren. Darren nggak salah, cowok itu justru sudah mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya dan Thalita.  “Tha, gue salut sama lo…”  “Oya? Kenapa?”  “Lo udah bisa berpikir dewasa sekarang. Memang ini yang terbaik, Tha. Lo harus bisa maafin Darren. Jangan nyiksa diri lo sendiri dengan terus-terusan marah sama dia. Terus-terusan menutup diri lo… Lo harus bisa balik lagi seperti Thalita yang dulu. Tougher, kalau bisa.”  Thalita tersenyum, biarpun dia tahu Jennie nggak bisa melihatnya.  “Yes, I will.”                       
  
DUA BELAS   
“Bapak akan bagi kalian dalam kelompok… Satu kelompok dua orang. Tugas kali ini, temanya tentang Kasih Mula-Mula. Kalian bikin makalah dan presentasi tentang apa itu kasih mula-mula, dan bagaimana agar kita senantiasa memilikinya dan dapat mewujudkannya di dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai orang Kristen. Bapak juga mau kalian melakukan satu hal untuk mempraktikkan kasih mula-mula itu. Boleh kunjungan ke panti asuhan, melakukan kerja sosial, atau hal-hal lainnya. Nanti harus ada laporannya.”  Thalita, yang sedang memasukkan buku-bukunya ke tas karena jam pelajaran hampir berakhir, langsung mendongak begitu mendengar suara Pak Lukas, guru agamnya. Kelompok? Oh tidak… jangan-jangan…  “Atau sebaiknya kelompoknya sama aja dengan yang di kelas satu dulu, ya?” tawar Pak Lukas.  “Setuju!” Verina mengangkat tangan dengan bersemangat. Ya iyalah, kalau kelompoknya sama dengan yang dulu kan dia bisa sekelompok lagi dengan Andika, pacarnya. Bisa kerja kelompok sambil pacaran!  “Aduh, jangan deh, Pak,” rengek Rudy. Dia mengerling ke Gio yang duduk di arah jam lima dari bangkunya, dan bergulik sendiri. Dulu dia sekelompok dengan Menteri Penerangan alias biang gosip sekolah itu, dan benar-benar merepotkan! Amit-amit jabang baby deh kalau sekelompok lagi! “Diatur kelompok baru aja, Pak.”  Pak Lukas menoleh menatap jam yang terpasang di dinding kelas. “Waktunya nggak cukup untuk buat kelompok baru. Kelompoknya sama saja seperti yang dulu. Ini tugas kelompok untuk minggu depan, makalah dan presentasi. Temanya ada di bab tujuh belas, oke?”  Tepat setelah Pak Lukas bilang begitu, bel pulang berdentang. Semua anak di kelas itu langsung membereskan buku dan alat tulisnya, udah kebelet kepengin pulang. Hanya Thalita yang tercenung di bangkunya. Kalau kelompoknya sama kayak dulu, berarti dia satu kelompok dengan… Darren.  Kelas nyaris kosong, waktu Thalita akhirnya sadar dari lamunan, dan berdiri dari bangku. Yah, sudahlah, mau gimana lagi? Ini kan untuk tugas sekolah, dan dia kan
udah memaafkan Darren, jadi mungkin hanya akan terasa canggung nanti kalau mereka kerja kelompok. Nggak ada perasaan lainnya.  “Tha?”  Thalita menoleh. Tatyana ternyata belum ngabur dari kelas seperti yang lainnya. Sugeng juga. Dia pasti masih menunggu Tatyana.  “Ya?”  “Lo… nggak papa, kan? Sekelompok sama…” Tatyana terdiam, dia ingat, Thalita pernah memintanya untuk nggak menyebut-nyebut lagi nama Darren di depannya. It hurtsso bad, kata Thalita dulu.  “Darren?” Thalita membantu menyelesaikan kalimat Tatyana. “Nggak papa.”  “Oh… oke deh kalau gitu. Tadinya gue takut lo keberatan atau gimana, dan gue mau aja tukeran biar sekelompok sama lo, dan Sugeng sama Darren…”  “Nggak papa, Na. I‟m okay kok.”  “Nanti kalau Darren rese, nyebelin, atau nyakitin bilang ke gue ya? Biar gue jambak tu anak!”  “Hehehe, iya gampang. Ya udah, kita pulang yuk? Mau jalan bareng ke parkiran nggak?” 
* * * 
Meski Thalita udah maafin Darren, dia masih canggung juga untuk ngomong sama cowok itu, biarpun dalam rangka ngebahas tugas kelompok agama mereka. Dia bingung gimana harus memulai pembicaraan, dan takutnya dikira masih ngarep kalau ia menawarkan rumahnya untuk tempat kerja kelompok. Tapi kalau minta di rumah Darren, ntar juga dikira masih ngarep. Serbasalah banget deh pokoknya. Jadi Thalita cuek aja, membiarkan Darren yang inisiatif membahas duluan.  Untungnya, Darren menangkap gelagat itu, dan siang itu dia nyamperin Thalita yang lagi baca TeenLit terbaru di reading corner perpus sekolah mereka. Tempat yang sama saat mereka pertama mengobrol dulu.  “Hei…”  Thalita mendongak, agak kaget melihat Darren, tapi lalu dia ingat, Darren pasti berniat membahas tugas kelompok mereka.  “Hei. Ada apa?”  “Ng… gue mau ngebahas tugas kelompok kita.”  Tuh kan. Bener. “Oh iya. Boleh. Gimana, gimana?”  “Ng… mau kerja kelompoknya kapan? Di mana?”  “Terserah lo.” Thalita mengedikkan bahu.
 “Oh… gitu ya. Sabtu siang aja ya kalau gitu? Di rumah lo?”  Bagus, dia yang pilih tempat, jadi Thalita nggak perlu takut dianggap masih ngarep atau apa.  “Sounds good.”  “Lo… nggak ada acara kan, hari Sabtu?”  Thalita mengernyit. Apa maksudnya? Apa Darren bermaksud menyelidiki apa dia ada acara malam mingguan? Apa dia sudah punya pacar lagi, gitu maksudnya?”  “Bukannya gue yang seharusnya nanya gitu ke lo?” tanya Thalita.  Darren salting. “Ng… bukan gitu maksud gue, tapi… Ya udahlah, sampai ketemu hari Sabtu ya.”  Dan Darren pergi dari situ, mungkin sudah nggak tahan dengan suasana yang canggung. Thalita menghela napas. Hhh… kalau sekarang mengobrol lima menit begini aja mereka serba-salting, gimana besok Sabtu saat kerja kelompok, ya? 
* * * 
“Ngapain lo ke sini???”  Thalita nyaris terlompat dari kursinya gara-gara mendengar teriakan Acha barusan. Sialan Acha, geramnya dalam hati, ngapain sih siang bolong gini jerit-jerit?! Bikin kaget aja!  Thalita nyaris melanjutkan membaca buku yang tadi dibacanya sebelum terkaget- kaget karena teriakan Acha, waktu dia menyadari sesuatu. Jangan-jangan yang Acha teriakin tadi…  Thalita kontan melempar bukunya ke sofa, dan berlari menuju pintu depan. Dugaannya benar, di depan pagar Acha sedang berkacak pinggang dan memelototi Darren.  “Kok setelah yang lo lakuin ke Thalita, lo berani nongol lagi di sini?!” bentak Acha. “Mau cari mati ya lo?! Nggak tau malu! Kalau aja badan lo nggak lebih gede dari gue, udah gue banting lo!”  Thalita melongo, dan secepat kilat berlari ke pintu pagar.  “Chaaa, stop, Cha. Stoooop!” Thalita berdiri di antara Acha dan Darren, seolah sedang melerai perkelahian yang seru. “Jangan ribut-ribut gini ah. Nggak enak didenger tetangga.”  “Biarin aja! Biar semua orang tau, gimana brengseknya… cowok ini!” Acha menuding Darren dengan bernafsu. Thalita menoleh, berusaha mencari tahu ekspresi Darren. Cowok itu terlihat bingung, ada sedikit rasa pasrah yang terpancar di
wajahnya. Mungkin dia memang sudah menduga bakal mendapat kelakuan seperti ini kalau bertemu anggota keluarga Thalita.  Mungkin seharusnya kerja kelompoknya di rumah Darren, batin Thalita. At least Tatyana nggak bakal mendamprat gue di depan rumahnya kalau gue datang ke sana, seperti yang dilakukan Acha sekarang.  “Cha, udahlah… Darren dateng ke sini buat kerja kelompok…”  “Hah? Kerja kelompok? Lo masih mau, kerja kelompok sama dia?! Yang bener aja, Tha!”  “Bukan mau gue. Gurunya yang nentuin kelompok, puas? Udah, lo masuk aja sana deh.”  Acha diam di tempatnya, pasang tampang seperti anak kecil ngambek yang dilarang main keluar oleh ortunya karena harus tidur siang, tapi lalu dia masuk rumah dengan langkah kaki mengentak-entak kesal.  “Sori ya,” kata Thalita setelah Acha pergi. “Gue lupa bilangin Acha kalau lo mau datang. Ngg… tepatnya, gue lupa lo mau datang.”  “Nggak papa, Tha. Wajar dia marah kayak gitu. Setelah… apa yang gue perbuat sama lo.”  Thalita menggeleng kecil. “Masuk yuk.”  Darren mengangguk, dan memasukkan motornya ke carport rumah Thalita. Mereka lalu berjalan ke dalam rumah.  “Bentar ya, gue ambil laptop dulu. Lo duduk aja.” Thalita meninggalkan Darren di ruang tamu, dan beranjak ke kamar mengambil laptopnya.  “Kayak dulu aja, lo yang cari bahan, gue yang nyusun, gimana?” tawar Thalita setelah ia kembali sambil membawa laptop.  “Oke.”  Darren duduk di sofa dan menyalakan laptop, sementara Thalita ke dapur untuk mengambilkan minum. Udara gerah banget siang ini, Darren pasti haus…  Eh, kok gue jadi merhatiin dia? pikir Thalita gusar. Dia kan bukan pacar gue lagi… Yah, anggap aja gue melakukan ini karena gue tuan rumah yang baik. Masa tamu nggak dikasih minum?  Waktu Thalita kembali ke ruang tamu, Darren sudah asyik surfing bahan tugas di Internet. Thalita duduk di sebelah Darren, tapi sengaja menyisakan space di antara mereka. Dua menit pertama, dia memperhatikan aja apa web-web yang dibuka Darren. Dua menit berikutnya, dia sudah mulai gelisah, dan mengambil majalah Mama entah tahun berapa yang ada di rak di bawah meja tamu. Tapi baru sebentar membolak-balik halaman majalah itu, Thalita sudah bosan. Rasanya aneh banget, berada satu ruangan dengan mantan pacar, dengan kebisuan yang mencekik.
 “Ng… Tha?”  Untuk kedua kalinya hari ini, Thalita terlonjak dari sofa. “Ya?”  “Ini udah semua bahannya. Lo bisa mulai nyusun.”  “Oh. Iya iya…”  Darren bergeser dari tempatnya duduk, memberi tempat pada Thalita di depan laptop. Thalita membaca bahan-bahan itu sebentar, tapi waktu dia membuka new document di MS Word, Darren memanggilnya lagi.  “Tha?”  “Ya?”  “Gue bener-bener minta maaf…”  Jari-jari Thalita yang siap mengetik terhenti beberapa senti di atas keyboard, menggantung di udara. Dia tahu untuk apa Darren ingin minta maaf.  “Gue udah maafin lo kok.”  “Bener?” Darren terdengar kaget, jadi Thalita menoleh menatapnya. Cowok itu benar-benar kaget, ternyata.  “Kalau belum, nggak mungkin dong gue ngizinin lo menginjakkan kaki di rumah gue. Kalau belum, mungkin gue bakal langsung menolak begitu Pak Lukas bilang ingin pembagian kelompok tugas seperti yang dulu.”  Darren diam sesaat. “Ah… iya. Makasih ya, Tha. Gue bener-bener merasa bersalah sama lo, tapi… gue rasa ini lebih baik daripada kita tetep pacaran tapi gue selalu mikirin Cheryl, ya kan?”  “Yep. This is much much better.”  Lalu mereka duduk dalam diam lagi, sementara Thalita mulai mengetik makalah tugas. Sampai akhirnya HP Darren berbunyi. Ada telepon masuk.  “Halo?” Darren menjawab panggilan masuk itu. “Hah? Dia nggak bilang ke mana, Tante? Aduh… nggak, dia nggak bilang sama saya… Dia nggak lagi sama saya… Iya, Tante, saya cari dia sekarang… Iya, nanti saya kabari begitu ketemu… Makasih, Tante.”  Darren memutus sambungan telepon, wajahnya gelisah.  “Ada apa?” tanya Thalita penasaran.  “Cheryl… Cheryl pergi dari rumah…”  “Pergi dari rumah???” Thalita melotot. “Minggat, maksudnya?”  “Ng… bukan minggat. Dia nggak bawa baju atau apa, tapi dia pergi nggak bilang- bilang mau ke mana… Dan HP-nya nggak aktif…”  Thalita mengernyit. “Mungkin dia ke rumah temennya? Atau keluar sebentar, ada keperluan?”  Darren menggeleng sedih. “Tha, dia nggak punya temen lagi. Semua temennya menjauh setelah dia masuk rehab. Di sekolah yang baru juga dia dijauhi… Dan dia
seharusnya nggak boleh ke mana-mana tanpa ditemani. Kondisinya masih labil, dia rawan terjerat narkoba lagi…”  Thalita menelan ludah. Dia nggak menyangka kondisi Cheryl ternyata begitu buruk. Bahkan keluar rumah pun harus ditemani karena masih rawan terjerah narkoba lagi? Pantas Darren begitu ingin ada di dekat Cheryl. Melindunginya. Menjaganya.  “Sori, Tha, tapi… gue cabut sekarang nggak papa ya? Nyokapnya Cheryl minta tolong gue cari dia. Nyokapnya nggak bisa keluar rumah sekarang, siapa tahu Cheryl pulang saat dia nggak ada… Tugas kelompoknya, bisa kan…?”  “Iya, iya, nggak masalah. Lo pergi aja, nanti gue selesaikan tugasnya.”  “Makasih ya…”  Lalu Thalita mengantar Darren sampai ke depan rumah, dan menyaksikan Darren memacu motornya dengan kecepatan tinggi, membuktikan betapa khawatirnya dia pada Cheryl… 
* * * 
Darren memejamkan mata, dan menghela napas gelisah. Cheryl belum ketemu juga, dan HP-nya masih nggak aktif. Padahal Darren sudah mencarinya ke mana-mana, mulai dari lingkungan sekolahnya, kafe yang sering mereka datangi berdua, bahkan ke pub yang seingat Darren dulu jadi tempat dugem langganan Cheryl, tapi semuanya nihil. Pub itu bahkan masih tutup, karena jelas nggak ada orang yang dugem di siang hari.  Hampir tiga jam Darren mencari Cheryl ke sana kemari, tapi nggak ada sedikit pun tanda keberadaan cewek itu. Dia sudah dua kali menelepon ke rumah Cheryl, yang selalu dijawab dengan terburu-buru oleh Tante Alena yang cemas menunggu kabar, tapi ternyata Cheryl belum pulang juga.  Sampai akhirnya Darren memutuskan pulang dulu ke rumah, karena nggak tahu lagi harus mencari ke mana.  “Kamu ke mana, Cher…?” Darren mengusap wajahnya lagi, menenggelamkan diri di kursi teras. “Kenapa sih kamu menghilang kayak gini…”  Tiba-tiba HP Darren berbunyi nyaring. Caller ID-nya menunjukkan itu telepon dari rumah Cheryl. Darren mendesah. Pasti Tante Alena lagi, yang ingin menanyakan apakah Darren sudah berhasil menemukan Cheryl atau belum.  “Ya?”  “Darren? Cheryl sudah pulang!”  Punggung Darren langsung tegak. “Kapan, Tante? Dia bilang dari mana?”
 “Baru saja. Dia bilang dari rumah temannya, kerja kelompok… Ini, anaknya ada. Kamu mau bicara sama dia?”  “Iya, Tante, kalau boleh…”  Gagang telepon di seberang sana tampaknya berpindah tangan.  “Halo…”  “Halo, Cher? Kamu ke mana aja? Kamu baik-baik aja, kan?”  “Iya, Ren, aku baik-baik aja. Aku ke rumah temen, kerja kelompok…”  “Aduh, aku cemas banget mikirin kamu…” Darren menghela napas dalam-dalam lagi, tapi kali ini karena lega. Kalau menuruti kata hatinya, dia kepengin ngomel sama Cheryl, tapi dia nggak mau Cheryl jadi makin suntuk. Yang penting sekarang dia udah pulang. “Terus, HP kamu kok nggak bisa dihubungi?”  “Iya… ng… low batt…”  Alasan yang sama seperti waktu pertama kali Cheryl menghilang. Standar. Klise.  “Lain kali jangan lupa nge-charge baterainya ya? Aku susah banget kalau kamu nggak bisa dihubungi. Kamu juga nggak bilang ke mama kamu waktu mau pergi tadi…” Walaupun nggak puas dengan alasan Cheryl, Darren nggak mau jadi cerewet dengan mengomeli Cheryl.  “Aku udah bilang kok ke Mama waktu mau berangkat, tapi Mama aja yang nggak denger…”  Terdengar sedikit ribut-ribut, sepertinya Cheryl dan mamanya berdebat.  “Halo? Cheryl? Kamu masih di sana.”  “Mmm… iya.”  “Ya udah. Sekarang kamu istirahat aja ya. Kau pasti capek.”  “Oke.”  “Bye, hun…”  Cheryl menutup telepon tanpa membalas ucapan Darren. Tapi Darren maklum, pasti Cheryl masih suntuk karena habis berdebat dengan mamanya tadi. Dia juga pasti capek.  Nggak papa lah, yang penting Cheryl sudah pulang, dan dia baik-baik aja.  Tapi Darren masih merasa ada yang ganjil. Kenapa sih Cheryl sekarang suka menghilang dan nggak bisa dihubungi begini? Bukannya Darren nggak percaya sama semua alasan yang diajukan Cheryl, tapi feeling-nya merasakan ada yang nggak beres.  “Hoi! Kenapa lo?”  Darren menoleh. Tatyana sedang memandanginya dengan wajah bingung.  “Kenapa apanya?”  “Lo tuh jalan mondar-mandir terus dari tadi, nggak nyadar ya?”
 Kali ini ganti Darren yang bingung. Masa sih dia tanpa sadar udah jalan mondar- mandir sambil memikirkan Cheryl tadi?  “Lo ada masalah?” Tatyana berjalan mendekat dan menepuk bahu Darren pelan.  Darren menimbang-nimbang dalam hati, apa sebaiknya dia cerita ke Tatyana ya soal kelakuan aneh Cheryl belakangan ini? Mungkin Tatyana punya saran, atau bisa memberi Darren jalan keluar. Siapa tau Cheryl sedang menghadapi masalah yang hanya dimengerti cewek. Nah, Tatyana kan cewek, pasti dia lebih ngerti daripada Darren.  “Ngg… gini, Lit…”  “Ya?” alis Tatyana terangkat, kentara banget penasaran.  Darren nyaris membuka mulut, waktu dia ingat bagaimana bencinya Tatyana pada Cheryl. Bagaimana Tatyana selalu mengambil setiap kesempatan yang ada untuk membuktikan pada Darren betapa bejatnya Cheryl itu. Gimana nggak pantasnya Darren untuk kembali pada Cheryl.  Dan kata-kata Darren tertelan lagi.  “Itu, gue lagi pengin makan es krim, tapi lagi nggak punya duit. Lo beliin dong di supermarket depan,” katanya asal. Cuma itu tadi yang sempat melintas di otaknya.  “Hah? Lo mondar-mandir dari tadi itu cuma karena kepengin makan es krim tapi nggak punya duit??? Ya ampun, Darren, please deh! Nggak make sense banget gitu lho!”  Tatyana lalu menghilang lagi ke dalam rumah sambil geleng-geleng kepala. Darren cuma bisa menatap punggung adiknya itu.  Sori, Lit, gue belum bisa cerita ke lo, katanya dalam hati. Gue nggak bisa denger lo jelek-jelekin Cheryl lagi.              
  
TIGA BELAS   
“Cher?”  Cheryl tersentak dari lamunannya. “Ya?”  “Kamu ngelamun, ya?” tanya Darren, antara geli dan bingung.  “Mmm… iya, sori… tadi aku…” Cheryl terdiam sesaat. “Aku kepikiran ulangan kimia di sekolah…”  “Oya? Kenapa? Susah ngerjainnya?”  “Ng… nggak juga sih… Eh, tadi kamu bilang apa emangnya?”  “Oh. Aku nanya, gimana hasil kerja kelompokmu kemarin? Ada tugas apa emangnya?”  “Oh itu… itu… tugas mading! Iya, iya, tugas mading! Pelajaran bahasa Indonesia!”  Darren mengalihkan perhatian sesaat dari jalanan macet di depannya pada Cheryl, dan ternyata cewek itu sudah melamun lagi. Ditambah, Darren baru memerhatikan, wajah Cheryl pucat pasi… bibirnya pecah-pecah. Matanya juga merah, dan berulang kali dia meringis seolah menahan nyeri. Hari ini dia juga pakai jaket, nggak biasanya…  “Cher? Kamu sakit, ya?”  “Eh? Nggak, aku nggak papa.”  “Kamu pucat banget lho… terus, kamu kayak nahan sakit gitu.”  “Masa sih? Mungkin aku kurang zat besi aja. Aku… aku lagi datang bulan, soalnya… Terus perutku, kram.”  Demi mendengar kata-kata “datang bulan”, Darren nggak berkomentar lagi. Yang pernah dia dengar dari Tatyana adalah, kalau cewek lagi datang bulan, sebaiknya dia nggak digerecokin, karena salah-salah, cewek itu bisa jadi segalak macan! 
* * * 
Darren dan Thalita baru saja selesai mempresentasikan tugas agama mereka, dan dapat aplaus yang cukup meriah. Waktu Thalita duduk kembali di bangkunya, Nita menyikutnya keras-keras.  “Auw!” Thalita memelototi Nita. “Ada apa sih? Sakit, tau!”
 “Kok lo udah baikan gitu sih sama darren? Tadi akrab banget pas presentasi!” Nita merepet. “Apa jangan-jangan… kalian udah balikan, ya?”  “Sembarangan!” Thalita mendesis. “Gue cuma nggak kepengin marah terus-terusan aja, Nit… Kalaupun gue sama dia udah nggak pacaran lagi, dan dia pernah nyakitin gue, bukan berarti kami harus diem-dieman terus, kan?” Thalita memang belum cerita ke temen-temen sekolahnya bahwa dia udah maafin Darren, lagi males aja cerita. Yang tahu cuma Jennie.  Nita tercenung. “Oh… gitu ya? Tapi bener kan, ini bukan karena kalian balikan lagi?”  “Ya ampuuuun, udah dibilangin nggak. Kenapa sih? Kok kekeuh banget nanyanya?”  “Ya soalnya kalau balikan lagi kan gue kepengin majakin Sushi Tei…”  Thalita langsung menoyor kepala Nita. Dasar, sama aja kayak Acha. Kalau udah urusan perut, baru dia mau repot! 
* * * 
“Cher, ke dokter, ya?” Darren meraba kening Cheryl. Nggak panas, tapi cewek itu terlihat menggigil dan menahan sakit terus sedari tadi.  “Nggak, nggak usah…”  “Tapi kamu udah menggigil gini. Kayak nahan sakit. Kamu mau demam nih…”  Sudah satu minggu lebih sejak Darren memergoki Cheryl pucat dan Cheryl mengaku itu karena dia sedang datang bulan, tapi sekarang Cheryl menunjukkan gejala yang sama. Nggak mungkin dong Cheryl masih datang bulan? Biarpun Darren cowok, dia tahu cewek datang bulan nggak selama itu.  “Ke dokter yuk? Aku anterin…” Cheryl pasti beneran sakit, batin Darren.  “Nggak usah… ini karena aku kecapekan belajar aja. Sering begadang kalau mau ulangan…”  Darren menghela napas. Dia sedih tapi juga bangga melihat gimana kerasnya Cheryl berusaha memperbaiki nilai-nilainya. Sayang, keinginan Darren pindah ke sekolah Cheryl, untuk membantu cewek itu belajar, gagal karena ditentang papanya. Ribet dan mahal, katanya. Nanti harus membayar uang gedung lagi lah, ini lah, itu lah. Papa Darren memang orangnya nggak suka ribet, dan dia ogah banget membayangkan harus beribet ria mengurus tetek-bengek pindah sekolah hanya karena anak laki- lakinya kepingin satu sekolah dengan pacarnya. Kalau Cheryl memang kesulitan belajar, kata papa Darren, dia boleh datang ke rumah mereka kapan pun dia mau, supaya Darren bisa membantunya.
 Yeah, asal Tatyana lagi nggak ada di rumah aja, batin Darren. Kalau dia ada, boro- boro deh belajar, Cheryl pasti udah ditendang sebelum kakinya menginjak ubin teras mereka!  “Ren, Ren, puter balik, Ren!” Cheryl tiba-tiba berseru, membuat Darren kaget setengah mati. Mobil yang disetirnya jadi oleng sesaat.  “Aduh, Cher, kamu ngagetin aja! Ada apa sih?” Darren setengah mengomel setelah berhasil mengendalikan kemudinya.  “Puter balik, Ren, cepeeett…,” Cheryl setengah merengek, membuat kening Darren berkerut.  “Ada apa sih? Ada barang kamu yang ketinggalan di sekolah?”  “Nggak… itu… ada razia… Udah, cepetan puter balik….”  Darren memandang lagi ke depan, dan benar saja, di depan mereka sedang ada razia. Semua kendaraan yang lewat di jalan itu dihentikan dan minta menepi.  “Oh… razia biasa. Tenang, aku bawa SIM sama STNK kok…”  “Bukannya gitu, tapi…” Nggak tahu kenapa, Cheryl jadi blingsatan luar biasa, seolah yang ada di depan mereka sekarang bukan razia polisi, tapi rumah penjagalan. “Plis, Ren, puter balik…”  Tapi Darren nggak sempat menuruti permintaan Cheryl, atau bertanya lagi kenapa Cheryl segitu ngototnya, karena mobilnya keburu dihentikan seorang petugas polisi yang sedang melakukan razia.  “Selamat siang, Mbak, Mas,” sapa petugas itu ketika Darren menurunkan jendela di sisi Cheryl dengan power window.  “Selamat siang, Pak.”  “Maaf, mengganggu sebentar. Kami sedang mengadakan razia di daerah ini.”  “Oh, nggak apa-apa, Pak. Ini… SIM dan STNK saya…” Darren mengeluarkan SIM dan STNK dari dompet, dan menyerahkannya pada polisi itu.  “Baik, terima kasih.” Polisi itu mengembalikan kedua kartu yang dipegangnya pada Darren setelah selesai mengecek. “Tapi kami bukan hanya memeriksa kelengkapan surat pengendara. Kami juga sedang mengadakan razia NAZA. Boleh kami izin untuk memeriksa mobil Mas?”  Darren mengangguk. Razia NAZA, Narkotik dan Zat Adiktif, belakangan memang sedang marak, tapi baru kali ini Darren terjaring. Walaupun begitu, dia sama sekali nggak takut. Dia kan bersih.  “Bisa minta tolong turun sebentar dari mobil, Mas, Mbak?”  Darren mengangguk, dan mengajak Cheryl turun dari mobil. Aneh, Cheryl kelihatan takut, dan gelisah…
 Dua petugas polisi mengecek mobil Darren. Mereka mengintip ke bawah jok, memeriksa laci-laci yang ada pada dasbor, menyenteri celah-celah tersembunyi di dalam mobil, pokoknya nggak ada yang terlewatkan.  “Maaf, boleh sekarang kami memeriksa tas Mbak dan Mas?”  Darren mengangguk, dan salah satu petugas mengambil tas Darren yang ada di jok belakang mobil, lalu menggeledahnya. Setelah selesai, petugas itu memasukkan kembali buku-buku pelajaran Darren dengan rapi. Rupanya dia sangat profesional dalam melakukan razia, teliti tapi tetap membuat orang lain merasa nyaman.  “Maaf, Mbak, boleh kami periksa tasnya?” petugas polisi yang pertama tadi mengulurkan tangannya, meminta tas Cheryl. Cheryl diam kaku, seolah nggak mengerti apa yang dibicarakan petugas itu.  “Mbak, boleh kami periksa tasnya?” ulang petugas polisi itu. Cheryl mengerling ke Darren, dan Darren semakin bingung. Kok Cheryl bertingkah aneh begini? Apa dia membawa barang pribadi yang akan membuatnya malu jika diketahui orang lain? Pembalut, mungkin? Tapi itu kan biasa saja. Sangat normal kalau ada siswi SMA membawa-bawa pembalut dalam tasnya.  Benar-benar aneh. Jiwa Cheryl seperti nggak berada di situ, kayak melayang-layang entah di mana. Tapi dia diam saja waktu akhirnya petugas polisi yang berinisiatif mengambil tasnya.  Rasanya baru sepersekian detik berlalu, waktu Darren mendengar seruan menggelegar.  “ANGKAT TANGAN! MERAPAT KE MOBIL!”  Darren dan Cheryl didesak sampai menempel ke sisi kiri mobil Darren, tangan mereka terangkat ke atas.  “Lho? Lho? Ada apa ini, Pak?” tanya Darren bingung.  “Saudara kami tangkap karena kedapatan membawa narkotika!” Polisi yang tadi mengambil tas Cheryl berseru lantang. Tangan kanannya mengacungkan bungkusan plastik transparan. Di dalamnya, Darren dapat melihat dengan jelas, bubuk-bubuk putih yang memancarkan kilau memuakkan.  Sabu.  Seperti ada tornado yang menghantamnya, Darren menoleh secepat kilat pada Cheryl, tapi cewek itu sekarang menunduk dalam diam, sama sekali nggak berani menatapnya.  “Cher…,” desis Darren nggak percaya. “Kamu bilang, kamu udah bersih…”  Seperti ada yang meninju-ninju perut  Darren, rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuh. Nggak pernah Darren merasa dikecewakan dan sakit hati seperti ini seumur hidupnya. Mungkin dulu, waktu mamanya pergi meninggalkan dia, Tatyana, dan
Papa, demi selingkuhannya. Mungkin waktu Cheryl pertama menolaknya dulu, karena Darren nggak cukup “jantan”  untuk mencicipi narkoba. Tapi entah kenapa sekarang sakitnya terasa lebih hebat dari itu semua. Ia memercayai Cheryl, membelanya jika ada yang mengolok-olok, meninggalkan Thalita karena Cheryl kembali…  Darren sudah memberi Cheryl kesempatan kedua, tapi Cheryl menyia-nyiakannya begitu saja. 
* * * 
Darren menyandarkan punggungnya di kursi ruang tunggu Polda Metro Jaya. Ia dan Cheryl baru saja menjalani tes urine tadi, untuk mendeteksi kandungan narkotika dalam diri mereka. Darren bersih, tentu saja. Tapi tes urine Cheryl menunjukkan dia positif pemakai.  Seisi dunia serasa runtuh di atas kepala Darren, menghujaninya. Dia percaya pada Cheryl, hanya karena Cheryl tiba-tiba datang dan bilang ia sudah “bersih”. Dia percaya pada Cheryl, meskipun Cheryl begitu saja muncul setelah menyakitinya dulu. Dia mau menerima Cheryl lagi, melindunginya, menjaganya, menemaninya saat tak ada lagi yang mau menjadi temannya, tapi ternyata Cheryl belum berubah…  Darren masih nggak bisa percaya pada pengakuan Cheryl yang didengarnya di dalam tadi. 
* * * 
“Kamu udah bohongin aku, Cher,” desis Darren, perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, sedih, dan bingung.  “Sori, Ren. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu, hanya saja… aku nggak bisa mengendalikan tubuhku. Aku kesakitan kalau nggak nyabu, tubuhku nagih. Kamu nggak tahu gimana sakitnya. Kalau aku boleh mati setiap kali aku sakaw, tentu aku akan lebih memilih mati. Rehab yang pernah kuikuti memang membantu memulihkan untuk sementara, tapi belakangan ini tubuhku menagih sangat hebat…”  “Jadi selama ini… wajah pucatmu, ekspresimu yang sering menahan sakit itu…”  “Ya. Aku lagi sakaw waktu itu. Tapi aku berusaha menutupinya dari kamu. Aku nggak mau kamu tahu, dan akhirnya… akhirnya kamu ninggalin aku. Aku nggak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Ren. Akan jadi apa aku ini kalau kamu pergi?”  Darren menelah ludah. Kalau dalam kondisi normal dia mendengar kata-kata itu, pasti dia sudah menenangkan Cheryl. Tapi sekarang ia justru merasa muak.
 Darren bukan tipe bajingan yang akan menjauhi seorang cewek kalau ternyata cewek itu punya rahasia yang memalukan. Masalahnya sekarang adalah, Cheryl sudah membohonginya. Dan dia nggak tahu apa dia masih bisa memaafkan Cheryl lagi setelah ini.  “Terus… kalau kamu sering menghilang belakangan ini, itu ada hubungannya…?”  “Ya. Ada.” Cheryl menghela napas dalam-dalam. “Aku kerja pada bandarku. Jadi kurir. Mengantarkan barang pesanan orang.”  Barang, pikir Darren. Sabu. Saat-saat Cheryl pergi dari rumah tanpa kabar dan HP-nya nggak aktif, dia mengantarkan sabu pada junkies lainnya. Mendistribusikan narkoba. Menyebarkan racun pada manusia-manusia lainnya.  “Kenapa…?”  “Bukannya udah cukup jelas?” tanya Cheryl pahit. “Aku nggak bisa lepas dari sabu, biarpun aku sudah direhab. Tubuhku terus menagih, dan aku bisa apa selain memenuhinya? Tapi sabu bukan barang murah yang gampang didapat. Harganya selangit, sementara aku nggak punya uang. Nggak mungkin mengandalkan uang saku dari ortuku…” Cheryl tertawa miris. “Imbalanku dari mengantar barang bukan uang, tapi barang juga…”  Ini benar-benar seperti mimpi buruk yang paling buruk dalam hidup Darren. Kenapa dia selama ini nggak menyadari semua itu? Nggak bisa mereka-reka semua itu? Dia sudah merasakan ada sesuatu yang ganjil, tapi bagian dalam dirinya selalu bilang itu perasaannya saja. Darren terlalu takut menghadapi kemungkinan bahwa Cheryl nggak semanis yang dijanjikannya ketika kembali dulu. Darren ingin semuanya baik-baik saja, dan mendorong otaknya agar menciptakan sugesti serupa, padahal kenyataannya nggak begitu.  Dan kini Cheryl akan menghadapi hari-hari yang sangat panjang di balik jeruji penjara. 
* * * 
“Ren! Darren!”  Darren merasa ada yang mengguncang-guncang bahunya, dan ia menoleh. Tatyana menatapnya dengan mata sembap. Di belakangnya ada Papa, Sugeng, dan… Thalita.  “Lit…,” Darren memanggil Tatyana.  “Lo nggak papa? Ya Tuhan, gue cemas banget! Gue nyaris pingsan berdiri waktu ada polisi yang menelepon ke rumah dan bilang lo ditahan karena kedapatan membawa narkoba!”  “Bukan gue yang bawa narkoba, Lit…”  “Jadi? Mereka salah tangkap?” Darren menggeleng. “Maksud lo… Astaga… yang bawa narkoba itu… Cheryl?”  “Ya.”
 Darren menunggu Tatyana mengeluarkan sejuta makian dari bibirnya untuk Cheryl, tapi ternyata adiknya itu nggak berkomentar lagi. Dia hanya menatap Papa, Sugeng, dan Thalita bergantian, dengan mulut yang masih menganga lebar.  “Sekarang gue baru sadar, dia sudah bohongin gue selama ini. Dia menyia-nyiakan kesempatan yang gue kasih gitu aja. Dia nggak mau berusaha, nggak mau berjuang, seperti yang udah gue lakukan demi dia…”  Dan tanpa bisa dicegahnya, Darren menangis. Ia marah, kecewa, malu, putus asa, dan sedih pada saat yang sama. Kenapa dia bisa begitu bodoh? Kenapa dia mau saja menerima Cheryl tanpa mempertimbangkannya masak-masak lebih dulu? Kenapa dia bisa begitu saja tertipu mulut manis dan janji-janji Cheryl?  “Gue bego banget… tolol… bodoh…” Darren menghujani kepalanya sendiri dengan tinju.  “Ren, udah, Ren…” Tatyana berusaha menahan tangan Darren agar cowok itu berhenti menyakiti dirinya sendiri, tapi gagal. Tenaganya kalah jauh dari Darren.  “Seharusnya gue dengerin semua kata-kata lo, Lit… Seharusnya gue percaya semua yang lo bilang dulu…” Darren makin keras memukuli dirinya, seolah dengan begitu dia bisa menebus kebodohan yang telah dilakukannya.  “Pa, Sugeng… tolong dong…,” Tatyana masih berusaha memegangi tangan Darren. Dia sendiri sekarang berlinang air mata. Dia nggak menyangka kondisi Darren akan sehancur ini.  Tapi Thalita sudah bertindak sebelum papa Tatyana atau Sugeng maju dan ikut memegangi lengan Darren. Dia mencengkeram lengan Darren kuat-kuat, membuat Tatyana ternganga di sela tangisnya.  “Ren, cukup,” desis Thalita tajam.  Entah Darren kaget setengah mati lalu kehilangan tenaganya, atau cengkeram Thalita yang memang sangat kuat, Darren berhenti memukuli kepalanya sendiri.  “Gue dulu juga kacau waktu Andra meninggal. Gue merasa nggak berguna, nggak bisa menolong dia. Tapi waktu itu lo ada buat gue, dan lo yang bantu gue melewati masa-masa sulit itu, memulihkan lagi kepercayaan diri gue. Di mana Darren yang gue kenal waktu itu?”  “Tha, gue…”  “Ingat nggak, lo udah ninggalin gue demi cewek bernama Cheryl ini? Lo kenal Cheryl, lo tahu persis seperti apa dia, tapi lo tetap berani mengambil risiko. Sekarang, gue pengin lihat lo berani juga menghadapi risiko ini. This was your choice, Darren!”  Tatyana makin bengong. Dia nggak menyangka Thalita bakal sevokal ini. Tadi kebetulan Thalita sedang ada di rumah Tatyana untuk mengembalikan catatan agama, ketika ada telepon dari Polda. Mendengar Darren terjerat razia narkoba dan sekarang
ada di kantor polisi, Thalita memaksa ikut. Tatyana sama sekali nggak mengira, cewek inilah yang berhasil mengontrol keadaan.  “Tapi gue harus gimana…?” Darren bertanya dengan suara lemah.  “Harus gimana???” Thalita mendelik marah. “Lo harus terima kenyataan! Dan menghadapinya sebagai seorang cowok, bukan duduk dan nangis bombai di sini, menyesali pilihan yang lo ambil. Itu nggak akan mengubah apa-apa, tau!”  Sekarang semuanya terdiam, seolah Thalita adalah sekjen PBB yang sedang berpidato, dan seisi ruangan hening demi mendengar pidatonya.  “Gue akan bantu lo melalui semua ini,” kata Thalita. “Asal lo janji, lo juga akan berusaha.” 
* * * 
Begitu Tatyana, Darren, dan papa mereka menghilang ke dalam rumah, Thalita langsung terbirit-birit masuk ke mobilnya. Di dalam sana, ia memaki-maki dirinya sendiri.  “Ya ampuuuuuunnn, ngomong apa gue di kantor polisi tadi??? Kenapa gue jadi marah-marahin Darren? Apa gue udah gila??? Orang lagi emosi gitu gue marah- marahin! Untung dia nggak gebukin gue! Aduh, Tuhan, kok aku jadi gila begini???” Thalita menjambaki rambutnya sendiri, lalu ia menyalakan mesin mobil.  “Bilang semua ini risiko yang Darren pilih sendiri, dan dia harus berani menghadapinya, dan gue bakal bantu dia… what was I talking about?! Bisa-bisanya gue nyerocos tanpa pikir panjang dulu… Stupid stupid stupid!!! Mampus, habis ini gue nggak akan pernah berani muncul di depan Darren lagi, malu bangeeeettt!”  Lalu Thalita menjalankan mobilnya, berusaha menjauh dari rumah Darren secepatnya. Mungkin itu bisa membantu melupakan kata-kata tolol dan asal bunyi yang diucapkannya sewaktu di kantor polisi tadi. 
* * * 
“Tha, Tha, beneran Cheryl ditahan di kantor polisi???” Gio langsung menghambur ke arah Thalita, padahal Thalita baru saja keluar dari mobil. “Gimana ceritanya? Darren gimana? Dia nggak masuk hari ini?” serbu Gio.  “Yo, udahlah… Gue nggak pengin ngomongin itu…”  Thalita mengambil tasnya dari jok belakang mobil, lalu, tanpa memedulikan Gio lagi, berjalan menuju kelas. Dia bisa merasakan tatapan-tatapan yang menghunjam padanya.
 Mereka, orang-orang itu, batin Thalita, nggak bisa merasakan gimana sakit hatinya Darren. Orang yang dia pilih, yang dia bela mati-matian, justru membohonginya. Membodohinya…  Entah bagaimana, berita tertangkapnya Cheryl bisa menyebar di sekolah. Thalita sendiri bingung. Iya kalau Cheryl selebriti, mungkin warga sekolah ini tahu dari siaran infotainment. Nah ini, mereka tahu dari mana, coba? Tapi sekali lagi Thalita memutuskan untuk mengabaikannya. Nggak ada gunanya juga dia susah-susah mencari tahu siapa informan berita itu, walau kali ini Thalita menyesali fakta bahwa Darren termasuk cowok populer di sekolah. Tentu saja banyak die-hard fans-nya yang dengan sukarela mengorek info tentang dia, bahkan dalam momen seburuk ini sekalipun. 
* * * 
Thalita nyaris nggak bisa memercayai matanya saat melihat kondisi Darren sore itu.  “Dia nggak mau makan dari pagi, Tha…,” bisik Tatyana pahit. “Seharian dia ngurung diri terus di kamar.”  Thalita menghela napas. Dia nggak pernah membayangkan dampak ditangkapnya Cheryl akan jadi sedahsyat ini. Yang ada di hadapan Thalita sekarang adalah Darren yang pucat, lemas, dan terbaring hampa di atas ranjang, seperti orang yang kehilangan harapan. Padahal Thalita kira, bentakan-bentakannya kemarin itu bakal sedikit menyadarkan Darren.  Darren dan Tatyana hari ini  nggak masuk sekolah. Thalita berasumsi, itu karena mereka nggak mau diberondong pertanyaan oleh teman-teman sekolah jika mereka muncul. Lama-lama, Thalita jadi merasa ini tabiat Darren dan Tatyana, nggak masuk sekolah ketika ada masalah. Dulu, ketika Cheryl muncul, mereka nggak masuk sekolah beberapa hari. Sekarang ketika Cheryl ditangkap, mereka juga nggak masuk sekolah. Darren jelas masih terlalu shock untuk sekolah lagi, dan Tatyana—sebagai orang terdekat Darren—tentu saja ogah masuk sekolah sendirian dan berpotensi untuk dicecar oleh para bigos sotoy atau para fans Darren yang ingin mencari info tentang idolanya.  “Keadaan di sekolah gimana, Tha?”  Thalita mengusap wajahnya. “Yah… begitulah. Gio sudah menerjang gue dengan pertanyaan begitu gue keluar dari mobil tadi pagi.”  “Ck, Gio,” Tatyana berdecak. “Gue rasa di masa depan dia mungkin banget jadi wartawan infotainment, nafsu mencari beritanya gede banget!”
 Kedua cewek itu tertawa kecil, tapi Darren yang masih nggak bereaksi membuat mereka sadar, ini bukan saat yang tepat untuk bercanda.  “Ren?” panggil Thalita lembut. “Lo makan dulu, ya? Gue temenin?”  “Gue nggak laper, Tha… Gue nggak mau makan…”  “Ayolah… Lo bukan anak kecil yang harus dipaksa-paksa lagi, kan? Lo nggak makan pun nggak akan mengeluarkan Cheryl dari penjara…”  “Gue nggak kepengin mengeluarkan dia dari penjara! Gue cuma kepengin memutar balik waktu, supaya gue nggak perlu melakukan kebodohan dengan percaya sama semua kata-katanya lagi! Dasar penipu!” seru Darren emosi.  Tatyana memandang Thalita dengan kekhawatiran yang tersirat jelas. Seolah dia mengatakan, begini-inilah-Darren-sekarang, dan-gue-nggak-bisa-melakukan-apa-apa- dan-karena-itu-lo-harus-bantuin-gue.  “Tapi kalau lo nggak ngalamin kejadian kayak gini, lo bakal tetap mencintai Cheryl dalam hati, kan? Lo bakal tetap mungkin meninggalkan gue sewaktu-waktu jika Cheryl kembali, kan?”  Thalita bisa melihat rahang Darren mengeras. Cowok itu menatap Thalita tajam.  “Jadi menurut lo, ada baiknya gue mengalami semua ini?”  “Ya,” jawab Thalita pasti. “Sama seperti ada baiknya bagi gue Andra meninggal, karena gue akhirnya paham dia nggak cukup menyayangi gue untuk bersedia masuk rehab. Ada baiknya Andra meninggal, karena dengan begitu gue jadi tahu ada cowok yang jauh lebih baik segalanya daripada Andra, yang selama ini gue abaikan.”  Thalita menelan ludah, nyaris nggak percaya semua kalimat barusan terlontar dari mulutnya. Kenapa dia jadi agak-agak flirting begini? Jadi pintar bicara dan menyusun kata? Sebelumnya kan dia nggak pernah menang lomba pidato!  “Tapi lo selalu kepengin Andra kembali, kan?” desak Darren. “Walaupun lo menyadari ada kemungkinan dia membohongi lo?”  Sabar, sabar…, Thalita menenangkan dirinya sendiri dalam hati. Darren sekarang ini sangat labil. Dia cenderung sinis dan menentang omongan semua orang. Kebohongan Cheryl telah mengubahnya menjadi getir.  “Dulu iya. Sekarang, entahlah. Gue belajar bahwa Tuhan selalu kasih kita yang terbaik, Ren. Lo nggak ingat kata Pak Lukas minggu lalu? Tuhan nggak akan menguji kita di luar kemampuan kita. Dia tahu di mana batas kemampuan kita. Seorang guru SD nggak mungkin memberi murid-muridnya soal ujian anak SMP, karena dia tahu mereka nggak akan mampu. Kalau guru SD aja tahu di mana batas kemampuan muridnya, apalagi Tuhan!”  “Mungkin lo mengalami semua ini supaya lo tahu bahwa Thalita-lah cewek yang pantas buat lo, bukannya Cheryl,” Tatyana tiba-tiba menyela. Darren langsung
memelototinya, dan Thalita menyayangkan kata-kata Tatyana yang keluar pada waktu yang nggak tepat. Biarpun Darren sudah sakit hati banget sama Cheryl, Thalita tahu bahwa Darren masih bersikap protektif terhadap cewek itu. Dia tetap nggak suka Cheryl dijelek-jelekkan, kecuali dia sendiri yang melakukannya, dengan tujuan melindungi harga dirinya sendiri.  “Keluar dari kamar gue deh, Lit,” kata Darren pelan, tapi dengan nada yang menusuk.  Tatyana melongo sesaat, lalu keluar dengan sakit hati. Thalita menyusul di belakangnya.  “Na, sabar ya. Dia lagi emosi,” hibur Thalita.  “Tapi dia nggak pernah sekali pun ngusir gue dari kamarnya, Tha… Nggak pernah sekali pun…” Tatyana kelihatan bakal menangis, dan Thalita jadi merasa makin payah.  “Udah, udah… jangan lo masukin hati. Lo kan tahu, walaupun sakit hati, Darren nggak mungkin begitu saja bisa membenci Cheryl. Dia masih akan memprotes kalau kita menjelek-jelekkannya…”  “Tapi dia sendiri…,” Tatyana memprotes.  “Iya, iya, gue ngerti. Itu cuma upaya Darren untuk menyelamatkan gengsinya. Dia cowok, dan lo tahu sendiri kan, gimana tingginya gengsi seorang cowok?”  Tatyana diam, tapi untungnya nggak menunjukkan tanda-tanda bakal banjir air mata lagi. Thalita menghela napas dalam-dalam.  “Kita nggak bisa berharap Darren bisa langsung terima kenyataan ini, Na. Dia perlu waktu, sama seperti gue dulu perlu waktu untuk recover setelah dia ninggalin gue untuk kembali sama Cheryl. Yang bisa kita lakukan sekarang cuma membantu supaya proses recovery itu lebih cepat. Lo ngerti kan, apa maksud gue?”  Tatyana mengangguk. “Makasih ya, Tha? Gue nggak tahu deh harus ngapain kalau nggak ada lo. Sekarang gue ngerti, kenapa dulu gue kepengin banget lo bisa dekat sama Darren, sampai gue maksa-maksa lo untuk coba deketin Darren segala. Ternyata intuisi gue sudah memilih orang yang tepat dari dulu.”  Thalita cuma bisa nyengir nggak jelas mendengar puja-puji Tatyana. 
* * * 
Proses recovery Darren ternyata berjalan jauh lebih lambat dari perkiraan Thalita. Cheryl benar-benar sudah menyakiti cowok itu, mengubahnya jadi sosok yang getir dan pahit. Thalita merasakan banget perubahan itu. Sering kali dia harus menghadapi Darren yang kasar, bukan seperti Darren yang dikenalnya dulu. Mungkin, kalau bukan karena Thalita adalah cewek yang dikenalnya sebagai cewek baik-baik (setelah mamanya yang
meninggalkan keluarga mereka dan Cheryl yang dua kali menyakitinya), Darren juga akan antipati sama Thalita. Bisa dibilang, sekarang Thalita-lah satu-satunya cewek yang dipercayai Darren. Dia lebih memercayai Thalita daripada Tatyana, adiknya sendiri.  Perubahan dalam diri Darren ternyata bukan hanya pada perangainya. Nilai- nilainya di sekolah juga banyak yang menurun, karena dia banyak bengong saat jam pelajaran. Seolah keadaan masih kurang parah, Darren juga nggak dipercayai lagi untuk menjabat kiper utama tim sepak bola sekolahnya. Pelatihnya sering melihat Darren nggak konsen berlatih, karena itu menganggap Darren nggak lagi punya keinginan membawa timnya menang. Apa jadinya sebuah kesebelasan kalau kipernya sendiri nggak niat melindungi gawangnya? Yep, hujan gol saat pertandingan persahabatan melawan SMA lain. SMA yang salah pula, karena itu SMA tempat Cheryl sekolah dulu. Jelas Darren makin nggak konsen saat pertandingan.  Akhir ceritanya sudah jelas, Darren dicopot dari jabatan kiper utama kesebelasan sekolahnya, dan beberapa anggota tim jadi kesal padanya sekarang. Mereka merasa Darren-lah penyebab kekalahan memalukan yang mereka derita. Sampai ada yang terang-terangan bilang Darren pasti sudah ikut-ikutan jadi junkies seperti mantan pacarnya yang sekarang dipenjara, makanya dia jadi suka bengong dan nggak konsen karena lagi fly. Orang itu Paul, salah satu pemain inti kesebelasan.  Thalita bener-bener ngamuk mendengar semua ocehan itu. Dia sampai nekat melabrak cowok asbun itu suatu siang sepulang sekolah. Paul dan teman-teman satu kesebelasannya yang lain sedang mengobrol di koridor sekolah, di depan deretan loker.  “Heh, lo jangan nyebarin info nggak bener ya tentang Darren!” bentak Thalita pada Paul, penyerang kesebelasan sekolah mereka. Thalita yakin banget, dari dulu Paul kepengin merebut posisi Darren sebagai kapten tim.  “Wah, Tha, gue bingung… Lo bukannya dicampakkan Darren ya gara-gara cewek junkies itu? Harusnya lo sakit hati dong sekarang, dan bersenang-senang karena Darren udah kena batunya akibat perlakuan dia ke lo dulu. Eh… kok lo sekarang malah belain dia?” cibir Paul.  Thalita tertegun. Paul benar, Thalita bisa saja bersikap jahat jika dia mau. Darren kan udah nyakitin dia, kenapa sekarang dia mau bersusah payah membantu Darren untuk pulih, bahkan berani melabrak orang-orang yang menghina cowok itu? Harusnya dia senang dong, karena Darren terbukti telah melakukan kesalahan tolol dengan meninggalkannya demi Cheryl.  “Iya ya, mestinya gue nggak usah ngebelain dia, ya?” tanya Thalita pada Paul, berusaha minta penegasan.  “Yoi, Tha. Seharusnya lo seneng karena dia sekarang udah kena karmanya.” Paul menyeringai puas.
 “Iya…” Thalita terdiam. “Iya, kalau gue jenis orang picik-nggak-tahu-malu-dan- penjilat kayak lo!” Thalita menuding Paul dengan marah. Berani-beraninya Paul bilang kayak gitu tentang Darren! Dia nggak tahu gimana dulu Darren selalu ada untuk Thalita saat Andra nggak melakukan hal yang sama! Paul nggak tahu gimana dulu Darren berusaha menyadarkan Thalita, menolongnya agar nggak terpuruk semakin dalam. Semua orang hanya tahu Darren mencampakkan Thalita, mereka nggak tahu Darren-lah yang dulu menyelamatkannya…  “Eh, apa maksud lo?!” Paul, yang tadinya shock karena nggak menyangka bakal dibentak begitu, sekarang jadi emosi. Thalita sudah mempermalukan dia di depan teman-temannya! Mau ditaruh di mana mukanya?  “Bukannya udah jelas? Gue nggak suka lo ngomongin yang jelek-jelek tentang Darren! Lo ngelakuin itu karena lo kepingin Darren makin dibenci anak-anak tim lainnya, kan? Biar lo yang kepilih jadi kapten kesebelasan menggantikan dia?”  Paul menegang, sementara teman-temannya menatap Paul dengan bingung. Bukan rahasia umum bahwa Paul berambisi jadi kapten kesebelasan mereka, tapi kalau ada orang yang mengatakan, ng… meneriakkannya secara blakblakan begini sih…  “Watch your mouth,” desis Paul geram, tapi Thalita sama sekali nggak berhasil digertak. Kalau dulu Darren menjadi tameng baginya, sekarang ia juga akan melakukan hal yang sama! Bodo amat kalau dia pernah dicampakkan cowok itu!  “Chicken,” balas Thalita nggak kalah tajam, dan mulai berkotek menirukan hewan petelur itu. Wajah Paul langsung merah seperti kepiting rebus, beberapa anggota timnya berusaha menahan tawa di balik punggungnya.  “Lo… berani-beraninya…” Karena terprovokasi gengsinya yang dihancurleburkan di hadapan teman-temannya, Paul mencengkeram kerah seragam Thalita, dan berusaha mengangkatnya tinggi-tinggi. Thalita nyaris nggak bisa bernapas. Bukan karena tercekik, tapi saking takutnya. Dia nggak menyangka Paul bakal seemosi ini. Dan kok dia bisa lupa Paul itu cowok bertinggi 184 sentimeter dan bertubuh kekar? Dia bisa membanting Thalita dengan mudah kalau dia mau!  Thalita memejamkan mata. Sebentar lagi dia bakal dibanting ke lantai koridor sekolah. Mungkin tulang-tulangnya bakal patah semua…  Thalita memang terbanting ke lantai, tapi nggak sekeras yang dibayangkannya. Justru orang yang jatuh di sebelahnyalah yang terlihat seolah diempaskan dari lantai dua puluh. Cowok itu terbanting ke lantai dengan suara berdebum keras.  Thalita membuka matanya perlahan, dan melihat di sebelahnya, Paul mengerang kesakitan di lantai.  “Lain kali kalau mau mengkritik, ngomong di depan gue langsung, jangan di belakang!” bentak sosok yang berdiri menjulang di atas Thalita dan Paul.
 Darren membantu Thalita berdiri, dan membersihkan debu yang menempel di seragam cewek itu. “Lo nggak apa-apa, Tha?”  Thalita mengangguk gugup. Jadi… dalam sepersekian detik yang cepat tadi, Darren meninju Paul, dan menumbangkan cowok itu ke lantai, sebelum Paul sendiri sempat melakukannya pada Thalita?  “Asal lo tahu aja, gue nggak akan ngebiarin cowok pengecut kayak lo jadi kapten kesebelasan gue. This team deserves a better leader!”  Paul berusaha duduk dengan susah payah, menyusut darah yang menitik di sudut bibirnya, lalu pergi dari situ. Tak satu pun teman satu timnya yang menyusulnya. Entah karena mereka semua takut dibanting juga oleh Darren seperti tadi atau apa. 
* * * 
“Sori ya, Tha, gara-gara gue, lo jadi harus dapat perlakuan kasar kayak gini,” kata Darren. Dia membelai rambut Thalita dengan sayang, perlakuan yang sudah beberapa bulan ini nggak diterima Thalita, akibat kembalinya Cheryl.  “Nggak papa kok, Ren. Gue juga bego, nekat ngelabrak Paul, lupa badan dan tenaganya kayak gajah…” Thalita memijit-mijit siku kirinya yang masih terasa sakit akibat membentur tembok tadi. Biarpun tingkat benturannya telah diminimalisir oleh Darren saat cowok itu menonjok Paul, tetap aja siku Thalita terasa sakit.  “Tangan lo sakit, ya? Gara-gara jatuh tadi?” Darren berusaha meraih tangan Thalita, ingin memeriksanya.  “Eh… iya. Sedikit. Nggak papa kok, beneran…”  Darren menatap Thalita dan mengangguk pelan. “Ng… Tha, makasih ya, lo udah ngebelain gue sampe segitunya. Kebetulan tadi gue mau ke loker, dan gue denger lo marah-marah sama Paul kaerna dia udah nyebarin gosip gue ini junkies. Dan waktu lo bilang Paul pasti melakukan itu untuk bikin image gue jelek, agar dia yang terpilih jadi kapten kesebelasan…”  “Mukanya merah banget pas gue ngomong gitu tadi,” celetuk Thalita.  Darren tertawa kecil. “I know. Kelihatan kok, meski dari tempat ngumpet gue tadi. Mmm… sori ya, seharusnya gue tadi nggak usah pakai ngumpet segala. Seharusnya gue langsung aja menghajar dia begitu dia mulai ngomong kasar sama lo, tapi…”  “Lo penasaran, sejauh apa gue bakal ngebelain lo?” potong Thalita.  Darren langsung salting. “Ng… itu… jadi… yah…”  “Ren, gue tetap, dan akan selalu ngebelain lo, nggak peduli siapa yang harus gue lawan. Bukan cuma sebagai tanda terima kasih gue karena lo dulu yang membuat gue punya semangat hidup lagi, tapi juga karena…”
 Thalita diam. Tadinya dia nyaris keceplosan bilang bahwa itu karena jauh di dalam lubuk hatinya dia masih menyayangi Darren, dan dia nggak bisa terima ada orang yang menjelek-jelekkan cowok yang disukainya itu, tapi kata-katanya terhenti dalam perjalanan menuju bibir.  “Karena apa?” tanya Darren.  “Karena… karena Paul itu cowok yang brengsek, jadi nggak ada salahnya dia dapat sedikit semprotan dari gue!” sambar Thalita. Untunglah ide itu melintas dengan cepat di otaknya.  “Oh,” gumam Darren. “Tapi tetap aja… makasih ya? Setelah perlakuan gue ke lo, rasanya gue nggak pantas menerima pembelaan kayak gini…”  Thalita hanya tersenyum kecil mendengarnya. 
* * * 
Ide itu mendadak muncul di kepala Thalita saat ia nonton TV (atau mungkin lebih tepatnya, saat Thalita DITONTON TV, karena ia melamun terus di depan TV, nggak menyimak acara apa yang sedang disiarkan). Dia ingin ketemu Cheryl… Dia nggak pernah ketemu dan bicara langsung pada cewek itu, dan ada hal yang mendesak yang harus dikatakannya pada Cheryl sekarang. Ini nggak bisa ditunda lagi.  Tatyana pernah memberitahukan di mana Cheryl ditahan pada Thalita. Thalita menelepon penerangan, menanyakan nomor telepon LP itu, lalu menelepon ke sana untuk menanyakan jam dan waktu berkunjung. Petugas yang menjawab teleponnya memberitahu bahwa waktu kunjungan adalah setiap hari Sabtu, pukul tiga sampai empat sore.  Hari ini hari Jumat, jadi Thalita baru bisa melaksanakan rencananya besok.  Besok, pikir Thalita. Besok gue bakal menyelesaikan semuanya. 
* * * 
Jam dua siang keesokan harinya, Thalita memacu mobilnya ke LP wanita tempat Cheryl ditahan. Ia sampai di sana sepuluh menit sebelum jam kunjungan dimulai.  Setelah melalui proses pemeriksaan yang ribet, Thalita akhirnya bisa menunggu juga di ruang tunggu LP, sementara Cheryl dibawa dari selnya menuju ruangan itu.  Begitu Cheryl muncul di pintu ruang tunggu, Thalita sudah bisa menebak, inilah orang yang dicarinya. Tapi, karena belum pernah ketemu dan kenal sama Thalita, Cheryl menatapnya dengan wajah bingung.  “Sori… Katanya, Mbak cari saya?” tanya Cheryl.
 “Mmmh… iya. Cheryl, gue… Thalita.”  Demi mendengar nama itu, Cheryl melonjak dari kursi plastik yang didudukinya.  “Ngapain lo ke sini?!” tanyanya galak. “Mau ngetawain gue, ya? Mau nyukur- nyukurin gue, hah?!”  Petugas polisi yang melihat perubahan tingkah Cheryl yang drastis langsung berniat menenangkan cewek itu, tapi Thalita menahannya. Petugas itu akhirnya mundur kembali ke dinding, tempatnya mengawasi Cheryl tadi. Cheryl kembali duduk, karena petugas itu memelototinya dengan galak.  “Gue sama sekali nggak punya niat untuk ngetawain atau nyukur-nyukurin lo,” kata Thalita.  “Oh,” Cheryl berlagak meludah. “Nggak usah pura-pura deh. Lo pasti seneng kan, sekarang gue nggak bisa merebut Darren lagi dari lo? Darren pasti benci banget sama gue sekarang. Dia nggak pernah sekali pun datang menjenguk gue sejak gue ditahan…” Cheryl terdiam sesaat setelah mengatakan itu, mungkin sadar ia sudah keceplosan mengungkap sesuatu yang, menurutnya, akan membuat Thalita makin bersorak gembira.  “Ya, dia benci sama lo,” kata Thalita lagi, hanya bermaksud untuk memberitahukan fakta itu pada Cheryl, bukan memojokkannya. “Gue nggak suka ngeliat dia kayak gitu, Cher…”  “Hah? Nggak salah?” tanya Cheryl dengan nada meledek. “Lo nggak suka ngeliat Darren benci sama gue?”  “Ya, gue nggak suka, karena itu akan membuat dia memendam kebencian itu pada lo seumur hidupnya. Kebencian itu akan menggerogotinya dari dalam. Gue nggak mau Darren jadi rusak begitu gara-gara lo. Lo nggak cukup berharga.”  Cheryl terlongo. Thalita memang nggak datang untuk menertawainya, tapi semua yang baru dikatakan cewek itu seolah membuat lidah Cheryl terpaku ke langit-langit mulutnya. Speechless.  “Darren itu orang yang peka, Cher. Dia memendam sakit hati karena nyokapnya ninggalin dia dan keluarganya demi laki-laki lain saat dia kecil dulu. Dia jadi dingin, nggak percaya lagi sama perempuan. Tapi saat lo datang, dia mencari, dia menjadikan lo pengecualian dari kebenciannya, dan berusaha setengah mati untuk mendapatkan lo. Sayang, lo menolak dia mentah-mentah.” Thalita menghela napas dalam-dalam. “Saat gue pertama kali ketemu dia, dia masih tetap dingin, tapi entah kenapa dia jadi baik banget, peduli dan melindungi gue saat mantan gue meninggal akibat overdosis…”  Cheryl terdiam, tapi Thalita bisa melihat cewek itu mulai mendengarkannya dengan saksama.
 “Ya, mantan gue memang meninggal akibat overdosis narkoba yang sering lo konsumsi itu. Gue dan Darren merasa senasib, kehilangan cowok dan cewek yang kami sayangi karena narkoba. Cowok gue, karena meninggal, dan lo, karena narkobalah jurang yang nggak ingin Darren lompati demi lo. Darren membuat gue merasa lengkap, dan punya semangat hidup lagi. We were happy, until you were back…”  Thalita merasa tenggorokannya sakit karena bicara terlalu banyak, tapi ia tahu, ia harus meneruskan semua perkataannya, sampai ke maksud sesungguhnya ia datang ke sini.  “Darren hancur lagi, lebih parah dari yang sudah-sudah. Dan gue nggak bisa… gue nggak bisa melihat dia hancur kayak gitu… Walaupun dia pernah mencampakkan gue demi lo, walaupun dia udah nyakitin hati gue…”  Cheryl menggigit bibir. Air mukanya bercampur antara tegang dan… sedihkan ia?  “Gue datang ke sini untuk memohon sama lo, Cher. Kalau nanti lo keluar dari sini, gue mohon… jangan temui Darren lagi. Bukan karena gue takut lo akan merebut dia lagi, tapi karena gue nggak akan sanggup melihat dia hancur lagi lebih dari yang sekarang…”  “Seandainya… seandainya gue kembali tapi nggak menghancurkan dia lagi?” tanya Cheryl, Thalita menangkap harapan dari suaranya.  “Nggak. Gue tetep berharap lo nggak kembali lagi. Kehadiran lo bakal membuat dia teringat luka lamanya, dan itu akan membuat segala usaha gue untuk membuatnya memaafkan lo jadi sia-sia.” Thalita menatap Cheryl lurus-lurus di matanya, dan melihat cewek di hadapannya itu kini menelan kekecewaan. “Kalau Darren memang nggak digariskan untuk gue, gue yakin dengan atau tanpa kehadiran lo sekalipun, suatu saat kami akan terpisah. Tapi walau gue nggak berstatus sebagai pacar Darren lagi, gue tetap ingin dia bahagia menjalani hidupnya.”  “Jadi…”  “Jangan kembali lagi, Cheryl. Lo masih muda, lo bisa menata hidup lo lagi sekeluarnya lo dari sini. Tapi gue mohon… jangan libatkan Darren di dalamnya.”  Cheryl nggak bereaksi, tapi Thalita yakin banget semua kata-katanya sudah meresap ke dalam diri cewek itu. Dan karena semua tujuannya datang ke tempat ini telah terlaksana, Thalita nggak melihat ada gunanya lagi ia tetap di situ.  Ia bangun, dan melangkah pergi meninggalkan ruang tunggu LP wanita itu, dan Cheryl.    
  
EMPAT BELAS   
DUA tahun kemudian… 
“Ren, lo udah dapet pembicara buat penyuluhan di SMA 44 minggu depan?”  “Udah dong, Darreeeenn!” Darren menepuk dadanya sendiri dengan bangga, sementara Thalita meleletkan lidah padanya.  “Sugeng jadi ikut kan ntar?”  “Harus! Dia kan magnet utamanya. Acara kita bakal berantakan kalau dia nggak ada. Tapi tenang, Sugeng kan nggak mungkin mau diomelin Alita satu jam penuh karena dia nggak datang, hehe…”  Thalita nyengir, dan merapikan kembali brosur-brosur yang baru diterimanya dari percetakan pagi ini. Brosur itu bergambar ilustrasi-ilustrasi keren yang menghimbau para remaja untuk menjauhi narkoba. Dan bukan hanya berani mengatakan “TIDAK” pada narkoba, tapi juga menolong jika ada orang yang dikenalnya memakai narkoba, agar terlepas dari lingkaran setan itu.  Ya, Darren dan Thalita sekarang aktif dan tergabung dalam WHD atau We Hate Drugs, sebuah lembaga sosial yang mengimbau kaum muda untuk menolak narkoba. Sudah satu tahun mereka bergabung, dan banyak seminar yang lembaga mereka prakarsai berlangsung sukses. Mereka bekerja sama juga dengan beberapa lembaga rehabilitasi narkoba, yang menyediakan layanan konseling dan rehab bagi para pemakai yang berniat untuk bersih kembali.  Sejak Thalita dan Darren bergabung dalam lembaga itu, mata mereka makin terbuka akan fakta banyaknya remaja yang kehilangan orang-orang yang mereka sayangi,e ntah adik, kakak, pacar, atau malah orangtua, akibat narkoba. Dan mungkin karena melihat Thalita dan Darren yang masih muda, banyak pelajar SMP atau SMA yang datang dan curhat bahwa ada beberapa orang yang mereka kenal yang tersangkut narkoba. Thalita dan Darren menerima dengan baik setiap curhatan itu, dan meneruskannya pada para konselor dan terapis dari lembaga rehabilitasi yang mereka kenal. Banyak junkies yang akhirnya mau dibujuk, atau punya kesadaran sendiri untuk ikut terapi setelah diberikan sesi konsultasi dengan para konselor dan terapis itu.
 Thalita dan Darren senang, puas karena mereka akhirnya bisa melakukan sesuatu agar nggak banyak lagi orang-orang yang bernasib seperti mereka, kehilangan orang yang disayangi karena narkoba. Mereka juga berhasil menyelamatkan banyak remaja yang tadinya sempat tergoda untuk menjadi pemakai, bahkan beberapa di antara remaja itu sekarang ikut bergabung jadi aktivis juga di WHD. Mereka tergerak untuk melakukan sesuatu bagi remaja-remaja lainnya. Thalita dan Darren juga banyak menjaring kenalan-kenalan mereka untuk ikut bergabung dalam WHD, termasuk Acha, Nita, dan Jennie.  Salah satu kunci dari berhasilnya seminar-seminar dan penyuluhan yang diprakarsai Thalita dan Darren sebenarnya adalah Sugeng. Lulus SMA, Sugeng melanjutkan kuliah di fakultas ilmu komunikasi, mendalami bidang broadcast dan penyiaran, hingga sekarang bisa jadi presenter terkenal meskipun masih kuliah. Tentu saja, oleh manajemennya Sugeng dilarang memakai nama depannya. Ia sekarang dikenal dengan nama James McArthur, nama tengah dan belakangnya, tapi ia meminta orang-orang terdekatnya seperti Darren dan Thalita untuk tetap memanggilnya Sugeng. Katanya, kalau di dunia kerja kan ia menjual image, dan mungkin masyarakat belum bisa menerima ada presenter beken yang bernama Sugeng. Ya sudahlah, ia mengalah… Tapi ia masih tetap ingin jadi Sugeng di lingkup orang-orang terdekatnya. James McArthur cuma ada di acara TV.  Nah, Thalita dan Darren sering meminta Sugeng jadi moderator sekaligus MC untuk seminar-seminar mereka. Tentu saja, jumlah peserta jadi membludak. Sebagian mungkin memang ingin mendengar penyuluhan tentang narkoba, tapi nggak bisa dimungkiri juga, lebih banyak yang datang hanya untuk melihat Sugeng yang londo ganteng itu.  Jelas, Sugeng memberikan special fee untuk WHD, karena ia teman Thalita dan Darren, sekaligus masih menjabat sebagai pacar Tatyana. Sering juga kalau habis terima honor, Sugeng mentraktir tiga orang terdekatnya itu makan-makan di Poke Sushi. Thalita yang paling hepi, karena selain karena setiap seminar yang dimoderatori Sugeng sukses, semakin sering ia dan WHD mengundang Sugeng kan berarti semakin sering juga ia ditraktir Poke Sushi, hehehe.  Mengenai Cheryl, sepertinya cewek itu mendengarkan kata-kata Thalita. Ia nggak pernah muncul lagi, nggak pernah terdengar kabarnya lagi. Thalita bersyukur, karena setelah setiap usaha kerasnya untuk memulihkan Darren dan membuatnya jadi orang yang positif lagi seperti sekarang. Cheryl adalah orang terakhir yang diharapkannya untuk muncul dan mengacaukan segalanya.  “Tha?”
 “Hmm?” Thalita masih asyik merapikan brosur-brosur tadi. Ia terkagum-kagum melihat ilustrasi yang dibuat oleh perusahaan advertising yang menjadi rekanan mereka. Ilustrasi-ilustrasinya terkesan muda, nggak menggurui, tapi pesannya kena banget deh!  “Nanti malem jadi, kan?”  “Ke bukit Mang Ujang?” tanya Thalita. Sudah lama mereka nggak datang ke bukit tempat mereka melihat bintang dulu itu, dan Darren sudah berjanji mengajaknya ke sana malam ini.  “Iyaaa… jadi, kan?”  “Jadi. Tapi kamu yang bawa makanannya, ya?”  “Yee, dasar nggak mau rugi!”  Untuk kedua kalinya hari ini, Thalita meleletkan lidahnya pada Darren, lalu membawa setumpuk brosur keluar dari ruang sekretariat WHD menuju ruang pimpinan lembaga itu. Kak Isabel, yang masih muda tapi semangatnya benar-benar menginspirasi Thalita untuk semakin memerangi narkoba, adalah ketua WHD. Kak Isabel juga kehilangan pacarnya saat kuliah gara-gara narkoba, tapi ia berhasil bangkit dari situasi itu.  Well, Thalita dan Darren sampai saat ini memang masih berstatus teman. Setahun sebelumnya Thalita disibukkan dengan usaha untuk memulihkan Darren pasca insiden Cheryl, nggak ada waktu untuk cinta-cintaan. Setahun berikutnya, mereka sibuk bareng di WHD, dan masih nggak ada waktu untuk cinta-cintaan. Gimana mau ngomongin cinta? Setiap mereka berduaan, yang dibahas selalu heroin, putaw, sabu, dan lain sebagainya itu! Nggak mungkin dong disambung-sambungin ke masalah cinta?  Mungkin nanti malam, pikir Thalita sambil senyam-senyum sendiri. Darren nggak akan tiba-tiba mengajaknya ke bukit Mang Ujang itu kalau bukan karena dia punya maksud tersembunyi.  Ditambah lagi, beberapa hari lalu Thalita dapat bocoran dari Tatyana yang keceplosan (dan langsung memohon-mohon supaya Thalita nggak membocorkan soal keceplosannya itu pada Darren karena ia nggak mau diomeli habis-habisan gara-gara membuat apa pun yang tengah disiapkan Darren jadi nggak surprise lagi), bahwa Darren memesan lusinan bunga untuk dikirim ke lokasi bukit Mang Ujang tanggal 27 Oktober, yang adalah hari ini, jam tujuh malam.  Entah apa artinya lagi itu, kalau bukan seperti apa yang ada dalam bayangan Thalita sekarang.
 Senyum Thalita makin lebar, walaupun ia tahu ada kemungkinan besok bakal bangkrut karena harus membayar pajak jadian pada Acha, Nita, Jennie, Sugeng, dan Tatyana di Poke Sushi atau Sushi Tei.  Kecuali, Darren take over the bill, seperti dulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar