Kamis, 23 Oktober 2014

“Senja Terakhir”



A Short story by Ayu Lestari
“Senja Terakhir”
Entah mengapa senja adalah waktu yang seolah menyihirku. Sepenuhnya. Setiap hari di waktu yang juga sama aku selalu berdiri disini untuk menikmati pesona senja. 5.20.. seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk membeli pengganjal perut, namun aku sudah tak menghiraukan rasa lapar lagi. Toh nanti juga rengekan-rengekan itu akan berhenti dengan sendirinya. Ada saja hal yang menarik untuk direnungi setiap kali senja menjelang.. entah itu rasa kangen kampung halaman yang menggebu, tentang hatiku yang separuh telah hilang bersama dia, atau hanya fikiran-fikiran tentang hal-hal tak penting yang tidak sengaja nimbrung. Semua itu terasa sangat membahagiakan. Langit, selalu memberi pemandangan terindah yang tak bisa aku lukis dengan kata-kata. Penggal-penggal kisahku seolah semuanya lebur dalam pesona yang kian menguning di bawah kaki horisonmu. Terlupakan. Entah dimana akan kulabuhkan kisah ini? Seperti tiada ujungnya saja. Ah sudahlah. Langit. Kuceritakan dengan sangat detail pun kau tak akan pernah tau, tidak akan.
                      *    *   *
Langit, Aku telah berjanji untuk tidak memanggil namanya. Kusapa dia dengan langit. Indah bukan?. Ibarat dalam sebuah narasi langit adalah objek gambaran yang selalu saja digambarkan dengan semua keindahannya. Begitupun nuansa yang kulukis dalam diary ku sore ini. Tentang langit. Sosok yang telah mencuri semua hatiku dan membawanya pergi. Entah seperti apapun yang ingin aku sampaikan tentangmu, aku sudah kehabisan kata untuk mendefenisikan perasaan bodoh ini. Aku tak punya alasan apa-apa mencintaimu.
Sempurna kututup diary itu, sudah tak berselera lagi melanjutkan kata-kata. Matahari tampat redup dan ingin segera rehat, sesekali debu diterbangkan angin dengan sangat kencang. Sore sedikit membosankan.
                                          *   *   *
Aku memejamkan mata, mencoba mengingat kisah yang sempurna seperti dalam sebuah narasi.  Aku banyak berubah semenjak pertama kali melihatmu. Aku bersalah karena telah membiarkan hatiku melangkah menuju sampai di titik yang begitu jauh, mencintai tanpa kesepakatan. Dan kisah itu terulang seperti kaset yang diputar ulang.
*   *   *
Pertemuan pertama, 08.30 a.m. Aku yakin ini bukan ilusi.
“ Duduk.. Berdiri…! suara-suara yang memekakkan telinga terdengar memenuhi semua pendengaranku, entah suara mana yang harus didengarkan. Bingung. Hari ini, hari pertama orientasi akademik di fakultas baruku. Hebat sekali, sekarang aku tercatat sebagai MahaSiswa. Muka-muka polos itu hanya terdiam mendengarkan bentakan-bentakan tak jelas. Kania, yang baru saja kukenal kemarin sore menyenggol lenganku.
“Mana cocard mu ra??”
“Oh.. Aku tiba-tiba menyentuh leherku yang tanpa dikalungi apapun.” Aku lupa membawanya.
“ Nanti kamu dihukum loh.” Imbuhnya lagi
Ah. itu tak terlalu penting, aku membatin. Aku meletakkan buku tulis di depan dada, sedikit takut sebenarnya. Tapi, seorang Sakura selalu saja punya ide gila. “Semoga tak ketahuan Nia” bisikku padanya. Ia mengangguk pelan.
Benar saja.. tak ada yang begitu memperhatikanku, semuanya hanya focus pada teriakan-teriakan tak berguna itu. Aku menarik nafas pelan, dua puluh menit telah sempurna berlalu menghilangkan teriakan-teriakan itu. Mataku berputar menjamah halaman kampus yang tidak begitu luas, dan tiba-tiba tertuju pada sosok yang mematung di barisan paling ujung, ah tepatnya terpisah dari panitia yang lain. Berbeda, sedikit elegan, pikiranku mencoba menebak kriteria sosok itu. Mungkin.
                                                           *   *   *
Aku menatap langit yang semakin menua, 5.40. Hatiku membujuk agar aku tetap berdiri disini. Masih ingin bercerita bersama senja.
                                                          *   *    *
Pertemuan Kedua, Aku akhirnya mengerti scenario Tuhan.
Oh.. Tuhan memang selalu berbaik hati, Hari ini, aku tak akan menyebutkan hari apa, acara apa dan dimana. Pastinya aku sudah berada di sebuah ruangan. Riuh suara seperti memenuhi semua ruang pendengaranku, hingga saat Pembawa acara mengetuk-ngetuk microfon semua suara perlahan hilang. Suara Pembawa acara yang renyah, setidaknya memberiku alasan untuk tetap stay focus pada semua rangkaian acara. 10 menit, 30 menit, 47 menit yang begitu hebat. Saat nama salah satu pemotivator tiba-tiba disebut, aku terperanjat. Nama yang sepertinya tidak asing, seperti aku pernah mendengarnya namun lupa kapan dan dimana? Seolah seperti slide yang diputar ulang dalam event  dan replica yang hampir sama. Aku memandang sosok itu lama. Oh Tuhan…iya, dia benar-benar pernah aku jumpai sebelum ini. Dan semoga asa membawa semua mimpi.
*   *   *
Aku mengagumi sosok itu. Sangat. Sosok yang umurnya bertaut tiga tahun dengan umurku, elegan, dan sumber motivasiku terhitung dari pertemuan kedua. Entah apa yang terjadi dengan hatiku, tiba-tiba saja rasa kagum itu berubah dengan sangat pesat, tidak lagi bertahta sebagai rasa kagum namun berubah menjadi sebuah rasa aneh yang membingungkan. Dia tidak lagi kukagumi, namun rasa yang totally different. Aku menyayanginya. Ia, sekali lagi kukatakan aku menyayanginya. Tanpa alasan dan tiba-tiba, aku tak tau apa yang sedang terjadi pada diriku. Membuatku rajin belajar, membuatku rajin beribadah. Oh tuhan, rasa apakah ini?
Aku tergeragap, 5.45. oh.. lima menit baru saja terlewatkan tanpa aku sadari, entah kenapa setiap senja terlewati begitu saja, aku selalu menaruh asaku disana, pada mimpi yang tak tau entah kapan akan menemui ujungnya, dan berlabuh pada satu titik.
*    *   *
Pertemuan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.    
“Entah itu disengaja atau tidak, aku selalu bisa bertemu denganmu. Di depan kampus, hingga dalam mimpiku. Dan semua membuatku selalu jatuh cinta padamu. I’m always fall in love with you. Every time and every day”.   
*   *   *
6.00 tepat saat gema adzan telah sempurna selesai. Ah lima menit saja lagi, aku ingin berada disini. Menunggu hingga langit sempurna gelap. Menceritakan padanya bagaimana semua perasaanku selama ini. Dalam lembar narasiku sendiri.
“ Lihatlah, betapa kau adalah sumber bahagia untukku. Di saat aku memilih untuk melupakanmu pun aku merasa bahwa kau tiba-tiba saja datang dalam bayangan yang jelas sekali. Membuatku goyah untuk mengambil tindakan, mengurungkan semua niatku. Kau memberiku sejarah, iya, sejarah yang tak pernah kupahami alurnya. Terkadang ada banyak hal yang membuatku gigih ingin terus mencintaimu, namun disisi lain aku sudah tak mampu lagi bertarung dengan hatiku. Aku juga tak bisa mendobrak pintu hatimu dan bernegoisasi dengan hatimu.
Biarlah semuanya menjadi indah dalam rahasia. Semua itu menjadi pertanyaan yang akan dijawab oleh Tuhan. Pertanyaan yang tidak akan kuajukan kepada selain engkau. Aku tau semua tak harus dimiliki karena mungkin dengan memilikinya aku malah akan kehilangan semuanya. Seperti kata tere liye.
“Aku memang menyukai malam dengan bintangnya, gemerlap indah sempurna dengan purnama. namun aku tak akan membawanya pulang ke rumah. Apalah arti langit tanpa mereka. Aku memang menyukai horizon senja dikaki langit, namun andaikatapun ia bisa kugapai, aku tak akan merenggut megah merahnya untuk kujadikan hiasan dikamar tidurku”. Begitulah, aku memang mencintai anda, namun aku tidak akan pernah bisa mengatakan, aku takut jika dengan mengatakan itu aku malah akan kehilangan segalanya. Biarlah kucintai engkau dengan alasanku sendiri. Titik.
Mencintaimu dalam rahasia memang cukup sakit, namun cukup membahagiakan.
                                                          *   *   *
5 Menit yang ajaib…6.05
Gelap sempurna menutupi langit kota ini, kota bunga katanya. Aku melangkah gontai masuk ke dalam kamarku. Hari ini satu senja telah terlewati lagi. Mungkin besok juga akan sama seperti ini. Iya, ceritaku tak pernah habis rasanya. Aku ingin terus bercerita bahwa aku juga punya perasaan yang sama. Seperti gadis remaja lainnya. Aku tersenyum kecut jika mengingat tindakan bodohku yang mencintai orang −yang bahkan tahu aku pun tidak−. Rasanya miris sekali. Tapi perasaan tetaplah perasaan, jangan dipangkas saat ia hendak menjadi tunas. Biar , biar ia tumbuh sesukanya, jika memang tidak ditakdirkan menjadi bunga pun, dia akan layu dan mati dengan sendirinya.
                                                        *   *   *
            Usai sholat maghrib, aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Tarikan nafas kukira cukup mewakilkan semuanya bahwa hari ini aku begitu lelah. Lelah dan penat dengan semuanya, jadwal kuliah yang padat, tugas kampus yang menumpuk, serta perasaan bersalah pada diri sendiri karena mencintai Langit. Lagi-lagi topic pembicaraan tidak akan jauh dari langit, seperti seluruh duniaku telah dipenuhi olehnya saja. Ah…. Entahlah, seperti apa semuanya harus di deskripsikan??
*   *   *
6 month later, 6 bulan yang menjenuhkan.
            Ternyata aku tidak hanya jatuh cinta pada pribadimu saja, tapi juga pada syair-syair dan puisi-puisimu. Terlalu indah untuk ku deklamasikan dalam sunyi malamku. Terlalu menyentuh perasaan. Polesan sastra yang tak bisa ku mengerti maknanya. Terlalu dalam engkau menggoreskan pena-penamu disana. Selamat! Karena engkau selalu menjadi peran utama dalam drama narasiku. Lelah rasanya untuk terus berfikir tentangmu, namun terlalu naïf jika aku bilang bahwa aku tak merindukanmu.
            Kututup sempurna diary itu, sempurna berada di lembar terakhir. Besok lusa aku sudah harus membeli diary yang baru. Semuanya berisi tentangmu selama 6 bulan sejak pertemuan itu.

*   *   *
1 Tahun yang begitu hebat.
Pagi di bulan Mei
            Lihatlah ruangan itu sesak oleh orang-orang yang raut wajah bahagianya tak bisa dilukiskan. Terlalu dihujani oleh rasa bangga dan bahagia. Puluhan bahkan ratusan kilatan cahaya memenuhi ruangan, hari ini satu impian telah berada dalam genggaman, satu parade perjuangan telah sempurna selesai. Dan Langit, langit berada disana bersama orang-orang bahagia itu, entahlah ada dimana?
            Aku membayangkan dia dengan baju kebesaran berwarna orange hitam, toga wisuda, dia adalah wisudawan terbaik tahun ini, mukanya sangat bahagia. Untuk beberapa saat aku terdiam, tidak, semua mungkin lebih kompleks dari apa yang aku bayangkan.
Aku ikut berjejalan diantara orang-orang yang memegang bunga untuk diberikan kepada yang tercinta. Ah..aku tak punya satu keberanian pun untuk melakukan itu. Bahkan dia mengenalku pun tidak . aku menarik nafas pelan, pintu utama ruangan masih belum dibuka. Aku mengambil langkah menjauh dan pergi, kuputuskan untuk tidak melihatnya. Aku takut semua tingkahku akan merusak rahasia yang sudah kusimpan setahun ini, menghancurkan semua mimpiku. Tuhan aku sudah terlalu malu untuk terus mengadu tentang hatiku. Biarkan semuanya usai Tuhan, ayolah, aku sudah terlalu lelah untuk bertahan Tuhan.
                                                                *   *   *
Aku menggoreskan pena pada lembar kertas dengan lesu. Tidak berselera untuk menulis sebenarnya. Namun fikiranku tetap memaksa untuk mencurahkan semua apa yang ada di hati.
Setahun sudah aku mengagumi sekaligus menaruh begitu saja hatiku padamu. Setahun itu juga aku harus menikam hatiku setiap kali rasa rindu datang, sakit sekali rasanya, dan rasaku itu tak pernah sekalipun berbalas. Aku merasa tak pantas memiliki rasa ini untukmu Langit.Aku terlambat tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa, aku juga terlambat lahir untuk menyamai usiamu. Aku bermimpi jika suatu saat aku bisa memeluk hatimu. Namun kurasa itu mustahil terjadi. Tidak, aku hanyalah gadis dengan wajah yang pas-pasan. Aku sering sekali mematut diriku di depan cermin.. memastikan apakah aku cukup cantik dan pantas untuk bermimpi menjadi bagian dari hidupmu. Kurasa kau adalah lelaki sempurna dan tentunya impian para wanita, tidak hanya aku. Kau bahkan hampir memiliki kata perfect itu, jika aku disuruh memberi nilai dalam persentasi, maka untukmu akan kuberi 98% , kau memiliki wajah yang begitu meneduhkan, aku yakin tak hanya aku yang jatuh hati padamu, Aku yang selama ini hanyalah gadis yang tidak pernah menempati hati lelaki manapun, Apakah terlalu berlebihan jika aku kali ini jatuh hati padamu??? Apakah salah jika aku memiliki perasaan ini padamu??? Terlalu lancangkah aku dan perasaanku ini??? Aku yang selama ini hanya manyimpan semua tentang perasaanku padamu dalam Diary harianku, dalam tiap sujud panjangku di akhir sholat fardhuku, kusapa engkau dalam tiap do’aku. Apakah itu menurutmu itu berlebihan???
Jika semua temanku ‘Galau ‘ karena bingung dan dihadapkan dengan banyak pilihan, maka aku hanya menunggu adakah seorang yang ingin dengan sangat tulus mencintaiku.
Dan kali ini aku jatuh cinta pada orang sesempurna dirimu, pada orang yang benar-benar luar biasa, yang kusapa dengan ”Langit” dalam narasiku, entah tak tau karena apa, Mencintaimu seperti ini saja sudah membuat aku lelah, Aku sudah menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menulis tentangmu saja. Mengapa??? Karena aku merasa engkau berharga, seperti yang telah kubilang bahwa kau adalah “Langit” dalam tiap narasiku, mengapa harus langit, kau tau??? Karena langit akan tetap indah dalam tiap suasana apapun, langit itu indah dengan  sunrisenya ketika pagi beranjak bangun, langit itu indah dengan birunya saat siang menantang, langit itu indah  dan berani dengan matahari teriknya, langit itu indah dengan sunsetnya ketika malam akan menjemput ke peristirahatan, Bahkan langit itu akan indah dengan malamnya yang bertaburan bintang, dan saat gelap pun langit terlihat sangat elegan, saat hujan apalagi, seperti ada kisah tersendiri yang ia berikan. Dan aku menemukan itu dalam pesonamu, dalam dirimu yang begitu sederhana. Keindahan yang tidak aku temukan dalam sosok lain.
Huh…sempurna sudah semuanya, Aku kembali menutup diary itu, Kita lihat saja seberapa lama aku bisa bertahan.
                                                      *   *   *
2 Tahun yang masih hebat…
            Selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam.. bagiku semuanya sama saja. Ternyata waktu setahun melesat begitu saja, cepat tanpa terasa. Dan aku masih dalam rasa yang sama. Mencintai orang yang tak pernah mengetahuiku. Langit.
Semua masih tentangmu, aku tak tau entah kapan aku bisa melupakanmu. Ah.. melegakan sekali saat aku tak sengaja melihat sosokmu di depan fakultas kita tercinta. Kau tak berubah, begitu pula rasaku. Stagnant. Ah.. 2 tahun ini tak banyak yang berubah, walaupuna aku sudah berusaha mengubur rasa itu dalam-dalam aku masih belum bisa. Kufikir setelah wisudamu tahun kemarin, aku akan berhenti dan menyerah, tapi ternyata tidak. Aku salah, urusan perasaan ternyata tidak semudah menghapus tulisan pensil, namun sulit, lebih sulit daripada operasi perhitungan Matematika, lebih sulit dijabarkan bahkan melebihi Aljabar sekalipun.Aku masih belum bisa melupakanmu. 2 tahun ini aku berada dalam peperangan dengan perasaanku sendiri dan aku selalu saja kalah. Sepertinya kamu adalah actor utama dalam narasi-narasiku. Narasiku sendiri maksudnya. Ah biarlah.. kukira diam adalah cara terbaik mencintaimu.
*   *   *
3 tahun yang hebat, dan perasaan itu masih belum berubah namun kuputuskan melupakannya.
Senja terakhir di pertengahan Oktober
                    Hari ini, aku telah menunaikan satu mimpiku, di 22 tahun usiaku, kugenggam engkau wahai potongan impianku. Menjadi seorang sarjana sastra. Hah.. terimakasih untuk ayah bunda, kalian adalah malaikat terhebat dalam hidupku, dan seseorang yang tak bisa aku sebutkan namanya, nama yang selalu membuat hatiku bergetar hebat, nama yang telah menghadirkan aku kehidupan baru, nama yang aku tak bisa lukiskan karena ia seperti sya’ir-sya’irnya, nama yang mampu membuat semua tulangku membeku. Untukmu salam ta’zim dan hormatku. Terima kasih untuk semuanya yaa. Engkau adalah kenangan terindah di  penggal kehidupanku parade kali ini.
            Oh ya.. selamat ulang tahun, walaupun ucapan ini tak pernah sampai padamu, tak pernah kau dengar, namun aku selalu berharap kau selalu seperti harapanku. I wish.
Bagiku ini adalah senja terakhir.
Hari ini semua telah sempurna, mengeja senja dibalik langit yang kian membiru.. ah bukan biru tepatnya, tetapi kuning tersepuh.. Aku memilih mengakhirinya, potongan kisah yang harus dibuang jauh.. 3 Tahun aku mencintaimu dan aku cukup bahagia, walaupun cinta itu tak pernah berbicara.  Itu adalah masa yang cukup untuk membaca tanda yang Tuhan berikan, masa yang lebih dari sedikit untuk mengeja setiap keajaiban Tuhan, Tuhan telah membahagiakan aku, dan aku juga harus membahagiakan hatiku, aku menghargai sebuah proses, dan itu akan aku jalani terhitung saat ini, di waktu yang masih sama, tempat yang juga sama, aku akan mengambil keputusan terbesar dalam hidupku, aku telah membebaskan seluruh hatiku dari belenggu perasaan bersalah itu. Aku memilih untuk pergi dari perasaanku sendiri. ‘cinta dalam diamku’ itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap diam… Iyaa… biarkan. Semoga guliran waktu yang akan menghapusnya. Itu akan jadi memory tersendiri untukku, kutitipkan ia kepada Tuhan kita.
Kuputuskan untuk melupakanmu. Titik tanpa koma. Selamat jauh Langit.

                                                          *   *   *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar