A Short story by Ayu Lestari
“Senja Terakhir”
Entah
mengapa senja adalah waktu yang seolah menyihirku. Sepenuhnya. Setiap hari di
waktu yang juga sama aku selalu berdiri disini untuk menikmati pesona senja.
5.20.. seharusnya sekarang adalah waktu yang tepat untuk membeli pengganjal
perut, namun aku sudah tak menghiraukan rasa lapar lagi. Toh nanti juga
rengekan-rengekan itu akan berhenti dengan sendirinya. Ada saja hal yang
menarik untuk direnungi setiap kali senja menjelang.. entah itu rasa kangen
kampung halaman yang menggebu, tentang hatiku yang separuh telah hilang bersama
dia, atau hanya fikiran-fikiran tentang hal-hal tak penting yang tidak sengaja nimbrung.
Semua itu terasa sangat membahagiakan. Langit, selalu memberi pemandangan
terindah yang tak bisa aku lukis dengan kata-kata. Penggal-penggal kisahku
seolah semuanya lebur dalam pesona yang kian menguning di bawah kaki horisonmu.
Terlupakan. Entah dimana akan kulabuhkan kisah ini? Seperti tiada ujungnya saja.
Ah sudahlah. Langit. Kuceritakan dengan sangat detail pun kau tak akan pernah
tau, tidak akan.
* * *
Langit,
Aku telah berjanji untuk tidak memanggil namanya. Kusapa dia dengan langit. Indah
bukan?. Ibarat dalam sebuah narasi langit adalah objek gambaran yang selalu
saja digambarkan dengan semua keindahannya. Begitupun nuansa yang kulukis dalam
diary ku sore ini. Tentang langit. Sosok yang telah mencuri semua hatiku dan
membawanya pergi. Entah seperti apapun yang ingin aku sampaikan tentangmu,
aku sudah kehabisan kata untuk mendefenisikan perasaan bodoh ini. Aku tak punya
alasan apa-apa mencintaimu.
Sempurna
kututup diary itu, sudah tak berselera lagi melanjutkan kata-kata. Matahari tampat
redup dan ingin segera rehat, sesekali debu diterbangkan angin dengan sangat
kencang. Sore sedikit membosankan.
* * *
Aku
memejamkan mata, mencoba mengingat kisah yang sempurna seperti dalam sebuah
narasi. Aku banyak berubah semenjak
pertama kali melihatmu. Aku bersalah karena telah membiarkan hatiku melangkah
menuju sampai di titik yang begitu jauh, mencintai tanpa kesepakatan. Dan kisah
itu terulang seperti kaset yang diputar ulang.
* * *
Pertemuan pertama, 08.30
a.m. Aku yakin ini bukan ilusi.
“
Duduk.. Berdiri…! suara-suara yang memekakkan telinga terdengar memenuhi semua
pendengaranku, entah suara mana yang harus didengarkan. Bingung. Hari ini, hari
pertama orientasi akademik di fakultas baruku. Hebat sekali, sekarang aku
tercatat sebagai MahaSiswa. Muka-muka polos itu hanya terdiam mendengarkan
bentakan-bentakan tak jelas. Kania, yang baru saja kukenal kemarin sore
menyenggol lenganku.
“Mana
cocard mu ra??”
“Oh..
Aku tiba-tiba menyentuh leherku yang tanpa dikalungi apapun.” Aku lupa
membawanya.
“
Nanti kamu dihukum loh.” Imbuhnya lagi
Ah.
itu tak terlalu penting, aku membatin. Aku meletakkan buku tulis di depan dada,
sedikit takut sebenarnya. Tapi, seorang Sakura selalu saja punya ide gila.
“Semoga tak ketahuan Nia” bisikku padanya. Ia mengangguk pelan.
Benar
saja.. tak ada yang begitu memperhatikanku, semuanya hanya focus pada
teriakan-teriakan tak berguna itu. Aku menarik nafas pelan, dua puluh menit
telah sempurna berlalu menghilangkan teriakan-teriakan itu. Mataku berputar
menjamah halaman kampus yang tidak begitu luas, dan tiba-tiba tertuju pada
sosok yang mematung di barisan paling ujung, ah tepatnya terpisah dari panitia
yang lain. Berbeda, sedikit elegan, pikiranku mencoba menebak kriteria sosok
itu. Mungkin.
* * *
Aku
menatap langit yang semakin menua, 5.40. Hatiku membujuk agar aku tetap berdiri
disini. Masih ingin bercerita bersama senja.
* * *
Pertemuan
Kedua, Aku akhirnya mengerti scenario Tuhan.
Oh..
Tuhan memang selalu berbaik hati, Hari ini, aku tak akan menyebutkan hari apa,
acara apa dan dimana. Pastinya aku sudah berada di sebuah ruangan. Riuh suara
seperti memenuhi semua ruang pendengaranku, hingga saat Pembawa acara
mengetuk-ngetuk microfon semua suara perlahan hilang. Suara Pembawa acara yang
renyah, setidaknya memberiku alasan untuk tetap stay focus pada semua
rangkaian acara. 10 menit, 30 menit, 47 menit yang begitu hebat. Saat nama
salah satu pemotivator tiba-tiba disebut, aku terperanjat. Nama yang sepertinya
tidak asing, seperti aku pernah mendengarnya namun lupa kapan dan dimana?
Seolah seperti slide yang diputar ulang dalam event dan replica yang hampir sama. Aku memandang
sosok itu lama. Oh Tuhan…iya, dia benar-benar pernah aku jumpai sebelum ini. Dan
semoga asa membawa semua mimpi.
* * *
Aku
mengagumi sosok itu. Sangat. Sosok yang umurnya bertaut tiga tahun dengan
umurku, elegan, dan sumber motivasiku terhitung dari pertemuan kedua. Entah apa
yang terjadi dengan hatiku, tiba-tiba saja rasa kagum itu berubah dengan sangat
pesat, tidak lagi bertahta sebagai rasa kagum namun berubah menjadi sebuah rasa
aneh yang membingungkan. Dia tidak lagi kukagumi, namun rasa yang totally
different. Aku menyayanginya. Ia, sekali lagi kukatakan aku menyayanginya.
Tanpa alasan dan tiba-tiba, aku tak tau apa yang sedang terjadi pada diriku.
Membuatku rajin belajar, membuatku rajin beribadah. Oh tuhan, rasa apakah ini?
Aku
tergeragap, 5.45. oh.. lima menit baru saja terlewatkan tanpa aku sadari, entah
kenapa setiap senja terlewati begitu saja, aku selalu menaruh asaku disana,
pada mimpi yang tak tau entah kapan akan menemui ujungnya, dan berlabuh pada
satu titik.
* * *
Pertemuan
ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
“Entah
itu disengaja atau tidak, aku selalu bisa bertemu denganmu. Di depan kampus,
hingga dalam mimpiku. Dan semua membuatku selalu jatuh cinta padamu. I’m always
fall in love with you. Every time and every day”.
* * *
6.00
tepat saat gema adzan telah sempurna selesai. Ah lima menit saja lagi, aku
ingin berada disini. Menunggu hingga langit sempurna gelap. Menceritakan
padanya bagaimana semua perasaanku selama ini. Dalam lembar narasiku
sendiri.
“
Lihatlah, betapa kau adalah sumber bahagia untukku. Di saat aku memilih untuk
melupakanmu pun aku merasa bahwa kau tiba-tiba saja datang dalam bayangan yang
jelas sekali. Membuatku goyah untuk mengambil tindakan, mengurungkan semua
niatku. Kau memberiku sejarah, iya, sejarah yang tak pernah kupahami alurnya. Terkadang
ada banyak hal yang membuatku gigih ingin terus mencintaimu, namun disisi lain
aku sudah tak mampu lagi bertarung dengan hatiku. Aku juga tak bisa mendobrak
pintu hatimu dan bernegoisasi dengan hatimu.
Biarlah
semuanya menjadi indah dalam rahasia. Semua itu menjadi pertanyaan yang akan
dijawab oleh Tuhan. Pertanyaan yang tidak akan kuajukan kepada selain engkau.
Aku tau semua tak harus dimiliki karena mungkin dengan memilikinya aku malah
akan kehilangan semuanya. Seperti kata tere liye.
“Aku
memang menyukai malam dengan bintangnya, gemerlap indah sempurna dengan
purnama. namun aku tak akan membawanya pulang ke rumah. Apalah arti langit
tanpa mereka. Aku memang menyukai horizon senja dikaki langit, namun
andaikatapun ia bisa kugapai, aku tak akan merenggut megah merahnya untuk
kujadikan hiasan dikamar tidurku”. Begitulah, aku memang mencintai anda, namun
aku tidak akan pernah bisa mengatakan, aku takut jika dengan mengatakan itu aku
malah akan kehilangan segalanya. Biarlah kucintai engkau dengan alasanku
sendiri. Titik.
Mencintaimu
dalam rahasia memang cukup sakit, namun cukup membahagiakan.
*
* *
5 Menit yang ajaib…6.05
Gelap sempurna menutupi
langit kota ini, kota bunga katanya. Aku melangkah gontai masuk ke dalam
kamarku. Hari ini satu senja telah terlewati lagi. Mungkin besok juga akan sama
seperti ini. Iya, ceritaku tak pernah habis rasanya. Aku ingin terus bercerita
bahwa aku juga punya perasaan yang sama. Seperti gadis remaja lainnya. Aku
tersenyum kecut jika mengingat tindakan bodohku yang mencintai orang −yang bahkan
tahu aku pun tidak−. Rasanya miris sekali. Tapi perasaan tetaplah perasaan,
jangan dipangkas saat ia hendak menjadi tunas. Biar , biar ia tumbuh sesukanya,
jika memang tidak ditakdirkan menjadi bunga pun, dia akan layu dan mati dengan
sendirinya.
* * *
Usai
sholat maghrib, aku merebahkan tubuhku ke tempat tidur. Tarikan nafas kukira
cukup mewakilkan semuanya bahwa hari ini aku begitu lelah. Lelah dan penat
dengan semuanya, jadwal kuliah yang padat, tugas kampus yang menumpuk, serta
perasaan bersalah pada diri sendiri karena mencintai Langit. Lagi-lagi topic
pembicaraan tidak akan jauh dari langit, seperti seluruh duniaku telah dipenuhi
olehnya saja. Ah…. Entahlah, seperti apa semuanya harus di deskripsikan??
*
* *
6 month later, 6 bulan yang menjenuhkan.
Ternyata
aku tidak hanya jatuh cinta pada pribadimu saja, tapi juga pada syair-syair dan
puisi-puisimu. Terlalu indah untuk ku deklamasikan dalam sunyi malamku. Terlalu
menyentuh perasaan. Polesan sastra yang tak bisa ku mengerti maknanya. Terlalu
dalam engkau menggoreskan pena-penamu disana. Selamat! Karena engkau selalu
menjadi peran utama dalam drama narasiku. Lelah rasanya untuk terus berfikir
tentangmu, namun terlalu naïf jika aku bilang bahwa aku tak merindukanmu.
Kututup
sempurna diary itu, sempurna berada di lembar terakhir. Besok lusa aku sudah
harus membeli diary yang baru. Semuanya berisi tentangmu selama 6 bulan sejak
pertemuan itu.
* * *
1
Tahun yang begitu hebat.
Pagi
di bulan Mei
Lihatlah
ruangan itu sesak oleh orang-orang yang raut wajah bahagianya tak bisa
dilukiskan. Terlalu dihujani oleh rasa bangga dan bahagia. Puluhan bahkan
ratusan kilatan cahaya memenuhi ruangan, hari ini satu impian telah berada dalam
genggaman, satu parade perjuangan telah sempurna selesai. Dan Langit, langit
berada disana bersama orang-orang bahagia itu, entahlah ada dimana?
Aku
membayangkan dia dengan baju kebesaran berwarna orange hitam, toga wisuda, dia
adalah wisudawan terbaik tahun ini, mukanya sangat bahagia. Untuk beberapa saat
aku terdiam, tidak, semua mungkin lebih kompleks dari apa yang aku bayangkan.
Aku ikut berjejalan diantara orang-orang
yang memegang bunga untuk diberikan kepada yang tercinta. Ah..aku tak punya
satu keberanian pun untuk melakukan itu. Bahkan dia mengenalku pun tidak .
aku menarik nafas pelan, pintu utama ruangan masih belum dibuka. Aku mengambil
langkah menjauh dan pergi, kuputuskan untuk tidak melihatnya. Aku takut semua
tingkahku akan merusak rahasia yang sudah kusimpan setahun ini, menghancurkan
semua mimpiku. Tuhan aku sudah terlalu malu untuk terus mengadu tentang
hatiku. Biarkan semuanya usai Tuhan, ayolah, aku sudah terlalu lelah
untuk bertahan Tuhan.
*
* *
Aku menggoreskan pena
pada lembar kertas dengan lesu. Tidak berselera untuk menulis sebenarnya. Namun
fikiranku tetap memaksa untuk mencurahkan semua apa yang ada di hati.
Setahun sudah aku mengagumi sekaligus menaruh
begitu saja hatiku padamu. Setahun itu juga aku harus menikam hatiku setiap
kali rasa rindu datang, sakit sekali rasanya, dan rasaku itu tak pernah
sekalipun berbalas. Aku merasa tak pantas memiliki rasa ini untukmu Langit.Aku
terlambat tumbuh menjadi gadis yang cantik dan dewasa, aku juga terlambat lahir
untuk menyamai usiamu. Aku bermimpi
jika suatu saat aku bisa memeluk hatimu. Namun kurasa itu mustahil terjadi.
Tidak, aku hanyalah gadis dengan wajah yang pas-pasan. Aku sering sekali
mematut diriku di depan cermin.. memastikan apakah aku cukup cantik dan pantas
untuk bermimpi menjadi bagian dari hidupmu. Kurasa kau adalah lelaki sempurna
dan tentunya impian para wanita, tidak hanya aku. Kau bahkan hampir memiliki
kata perfect itu, jika aku disuruh memberi nilai dalam persentasi, maka untukmu
akan kuberi 98% , kau memiliki wajah yang begitu meneduhkan, aku yakin tak
hanya aku yang jatuh hati padamu, Aku yang selama ini hanyalah gadis yang tidak
pernah menempati hati lelaki manapun, Apakah terlalu berlebihan jika aku kali
ini jatuh hati padamu??? Apakah salah jika aku memiliki perasaan ini padamu???
Terlalu lancangkah aku dan perasaanku ini??? Aku yang selama ini hanya
manyimpan semua tentang perasaanku padamu dalam Diary harianku, dalam tiap sujud
panjangku di akhir sholat fardhuku, kusapa engkau dalam tiap do’aku. Apakah itu
menurutmu itu berlebihan???
Jika semua temanku ‘Galau ‘ karena bingung dan dihadapkan dengan
banyak pilihan, maka aku hanya menunggu adakah seorang yang ingin dengan sangat
tulus mencintaiku.
Dan kali ini
aku jatuh cinta pada orang sesempurna dirimu, pada orang yang benar-benar luar
biasa, yang kusapa dengan ”Langit” dalam narasiku, entah tak tau karena apa,
Mencintaimu seperti ini saja sudah membuat aku lelah, Aku sudah menghabiskan
berlembar-lembar kertas untuk menulis tentangmu saja. Mengapa??? Karena aku
merasa engkau berharga, seperti yang telah kubilang bahwa kau adalah “Langit”
dalam tiap narasiku, mengapa harus langit, kau tau??? Karena langit akan tetap
indah dalam tiap suasana apapun, langit itu indah dengan sunrisenya ketika pagi beranjak bangun,
langit itu indah dengan birunya saat siang menantang, langit itu indah dan berani dengan matahari teriknya, langit
itu indah dengan sunsetnya ketika malam akan menjemput ke peristirahatan,
Bahkan langit itu akan indah dengan malamnya yang bertaburan bintang, dan saat
gelap pun langit terlihat sangat elegan, saat hujan apalagi, seperti ada kisah
tersendiri yang ia berikan. Dan aku menemukan itu dalam pesonamu, dalam dirimu
yang begitu sederhana. Keindahan yang tidak aku temukan dalam sosok lain.
Huh…sempurna
sudah semuanya, Aku kembali menutup diary itu, Kita lihat saja seberapa lama
aku bisa bertahan.
* * *
2 Tahun yang
masih hebat…
Selamat pagi, selamat siang, dan
selamat malam.. bagiku semuanya sama saja. Ternyata waktu setahun melesat
begitu saja, cepat tanpa terasa. Dan aku masih dalam rasa yang sama. Mencintai
orang yang tak pernah mengetahuiku. Langit.
Semua masih
tentangmu, aku tak tau entah kapan aku bisa melupakanmu. Ah.. melegakan sekali
saat aku tak sengaja melihat sosokmu di depan fakultas kita tercinta. Kau tak
berubah, begitu pula rasaku. Stagnant. Ah.. 2 tahun ini tak banyak yang
berubah, walaupuna aku sudah berusaha mengubur rasa itu dalam-dalam aku masih
belum bisa. Kufikir setelah wisudamu tahun kemarin, aku akan berhenti dan
menyerah, tapi ternyata tidak. Aku salah, urusan perasaan ternyata tidak
semudah menghapus tulisan pensil, namun sulit, lebih sulit daripada operasi
perhitungan Matematika, lebih sulit dijabarkan bahkan melebihi Aljabar
sekalipun.Aku masih belum bisa melupakanmu. 2 tahun ini aku berada dalam
peperangan dengan perasaanku sendiri dan aku selalu saja kalah. Sepertinya kamu
adalah actor utama dalam narasi-narasiku. Narasiku sendiri maksudnya. Ah
biarlah.. kukira diam adalah cara terbaik mencintaimu.
* * *
3
tahun yang hebat, dan perasaan itu masih belum berubah namun kuputuskan
melupakannya.
Senja
terakhir di pertengahan Oktober
Hari
ini, aku telah menunaikan satu mimpiku, di 22 tahun usiaku, kugenggam engkau
wahai potongan impianku. Menjadi seorang sarjana sastra. Hah.. terimakasih
untuk ayah bunda, kalian adalah malaikat terhebat dalam hidupku, dan seseorang
yang tak bisa aku sebutkan namanya, nama yang selalu membuat hatiku bergetar
hebat, nama yang telah menghadirkan aku kehidupan baru, nama yang aku tak bisa
lukiskan karena ia seperti sya’ir-sya’irnya, nama yang mampu membuat semua
tulangku membeku. Untukmu salam ta’zim dan hormatku. Terima kasih untuk
semuanya yaa. Engkau adalah kenangan terindah di penggal kehidupanku parade kali ini.
Oh ya.. selamat ulang tahun, walaupun
ucapan ini tak pernah sampai padamu, tak pernah kau dengar, namun aku selalu
berharap kau selalu seperti harapanku. I wish.
Bagiku ini adalah senja terakhir.
Hari ini semua telah sempurna, mengeja senja dibalik langit yang
kian membiru.. ah bukan biru tepatnya, tetapi kuning tersepuh.. Aku memilih
mengakhirinya, potongan kisah yang harus dibuang jauh.. 3 Tahun aku mencintaimu
dan aku cukup bahagia, walaupun cinta itu tak pernah berbicara. Itu adalah masa yang cukup untuk membaca
tanda yang Tuhan berikan, masa yang lebih dari sedikit untuk mengeja setiap
keajaiban Tuhan, Tuhan telah membahagiakan aku, dan aku juga harus
membahagiakan hatiku, aku menghargai sebuah proses, dan itu akan aku jalani
terhitung saat ini, di waktu yang masih sama, tempat yang juga sama, aku akan
mengambil keputusan terbesar dalam hidupku, aku telah membebaskan seluruh
hatiku dari belenggu perasaan bersalah itu. Aku memilih untuk pergi dari
perasaanku sendiri. ‘cinta dalam diamku’
itu tak memiliki kesempatan untuk berbicara di dunia nyata, biarkan ia tetap
diam… Iyaa… biarkan. Semoga guliran waktu yang akan menghapusnya. Itu akan jadi
memory tersendiri untukku, kutitipkan ia kepada Tuhan kita.
Kuputuskan
untuk melupakanmu. Titik tanpa koma. Selamat jauh Langit.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar