Jum’at 18 September 2015
Sore telah merangkak pergi, cahaya mega
merah telah hilang dari pandangan. Aku baru saja beranjak meninggalkan teras
rumah. Selesai sudah parade sore kali ini, aku telah melihat sekawanan burung
layang-layang terbang rendah di atas atap rumah, lenguhannya seolah memberikan
isyarat pada rombongan untuk segera pulang bersama. Terbayang ibu, terbayang
rumah dan kampung halaman, terbayang teman-teman SD, terbayang keruhnya air
sungai Batanghari, apalagi saat musim hujan seperti ini, sungai pasti meluap
dan naik hingga pangkal batang Pauh yang berada di tebing dekat rumah.
Aku
melangkah masuk rumah, bukan rumah tepatnya. Tapi kamar kontrakan yang tidak
begitu luas. Hanya menampung dua orang. Aku dan Mbak Tania, yang hingga saat
ini belum pulang dan belum ngampus tentunya. Padahal, janjinya untuk pulang
sudah lewat seminggu. Aku membuka buku catatan-catatanku, apalagi kalau bukan
ber-curhat ria. Saat ini tak punya teman untuk membuang sampah-sampah perasaan galau
dan dilemma.
Belum
sempat menulis apa-apa, hapeku berdering, 1 missed call, Nama mbak Tania
tertera di layar HP ku. Selang beberapa menit, hapeku berdering lagi. Mbak
Tania. Aku buru-buru menyambarnya tanpa ba-bi-bu lagi. Suara serak dan berat
itu bukan suara mbak Tania, benar. Telingaku sudah terlampau akrab dengan suara
renyahnya mbak Tania, dimanapun itu aku bisa mengenalinya. Tapi.. suara ini
asing, itu bukan suara mbak Tania.
“Halo.. mbak Tan!” aku memulai
percakapan..
“Ini Morin kan? Suara itu berat dan
serak..
“Iya, ini Morinda, ini siapa?” Ucapku
menyelidiki
“Ini Fania, kakaknya Tania, bisa minta
tolong Rin? Suara beratnya tiba-tiba menjadi lebih serius.
“Minta tolong apa yah mbak?”
“Tolong kemasi barang-barang Tania yah,
senin ini langsung kita ambil.”
Aku bingung, antara percaya atau tidak,
mbak Tania tidak pulang ke Surabaya lagikah? Kecamuk hati itu tak sempat ke
keluarkan. Hape diseberang sana sudah dimatikan. Tak ada lagi suara.
Meninggalkan Tanda Tanya dihatiku. Mbak Tania tak bilang apa-apa ketika pulang,
dia bilang akan kembali lagi, kesini, ke rumah kontrakan sempit kami.
Minggu, 27 September 2015.
Mbak Tania selalu membuatku bingung.
Selalu sukses. Setelah seminggu tak memberiku kabar via telephon melalui
kakaknya. Sekarang yang datang malah surat undangan pernikahan. Geram sekali
rasanya hatiku. Aku memencet tombol panggil, nada sambung terdengar tanpa
jawaban, hingga 5 kali aku memanggil, tapi tetaplah taka da jawaban. Aku
mendengus sebal. Barang-barang yang sudah ku kemasipun belum diambil. Aku
menghempaskan tubuhkau ke ranjang, menarik dan mengatus nafas, shock sekali
rasanya. Mbak Tania tak pernah cerita tetang kekasih atau apapun, tiba-tiba
menikah. Kan tidak lucu, aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Berburuk sangka
dan menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Malamnya aku kembali duduk di depan
teras rumah kontrakan kami, memandangi langit penuh gemintang, menikmati udara
dingi di musim hujan, mendengarkan senandung suara katak yang bersahut-sahutan
berdo’a memohon agar malam ini hujan kembai menggguyur Surabaya. Aku memencet
tombol panggil, Ibu. Rindu sekali mendengar suara sendunya menasehatiku,
memberikan instruksi untuk makan dan tidur tepat waktu, bercerita tentang sawah
tadah hujan kami yang padinya mulai menguning, atau tentang adikku yang pulang
maghrib karena bermain air di sungai Batanghari .
“Ada apa anak ibu?” suara khas ibu
selalu begitu, bertanya selalu dengan embel-embel ‘anak ibu’. Aku bahkan
pernah usil bertanya, kenapa harus selalu ada embel-embel ‘anak ibu nya’. Itu
bukti kalau ibu sangat sayang pada Morin lebih dari apa pun. Pernyataan yang
sudah tidak bisa kubantah lagi.
“Rindu Bu!” ucapku lirih. Aku
benar-benar rindu ibu”
“Sudah dido’akan? Ibu kembali bercanda..
“Setiap sembahyang Morin selalu
mendoakan keluarga Bu” Aku pias. Dua minggu tidak mendengar suara ibu rasanya
hatiku seperti kekurangan suplemen.
“Bagaimana kuliahnya nak?” kalau
pertanyaan satu ini, ibu tak pernah lupa menanyakan.
“Alhamdulillah, lancar Bu” itu selalu
jawabanku, entah itu aku bolos kuliah, entah nilai jelek dari dosen, entah itu
tugas kuliah yang super menumpuk. Bilang ‘lancar’ adalah solusi terbaik.
“Keluarga sehat semua Bu?”
“Alhamdulillah sehat Nak”
“Teman sekamar Morin mau menikah minggu
ini Bu” Ucapku getir, membayangkan bagaiman aku sendiri di dalam ruangan kamar
kecil kami. Tak ada teman untuk sekedar curhat atau mengeluhkan betapa capeknya
hari ini.
“Teman yang sering Morin ceritakan itu?”
ibu bertanya ingin tau
“Iya Bu, mbak Tania, kakak angkatan satu
tahun di atas Morin”
“Yah.. mungkin sudah waktunya. lagian
kalau jodoh tak bisa diusir Rin” kalimat terakhir ibu terdengar menggantung.
Hingga akhirnya, ibu menceritakan kejadian yang membuatku tambah shock.
Si Mia, teman sekelasmu dulu malah menikah tanpa pamit orangtua. Suara ibu
terdengar lemah. Lelaki yang membawa nya juga ‘pakai ilmu’ kata Sok Yati mu.
Aku tertegun, mendengarkan cerita ibu
hingga akhir. Mia, adalah teman sekelasku ketika duduk di sekolah dasar.
Sebenarnya dia juga saudara karena nenek kami adalah kakak-adik kandung. Usianya
lebih tua setahun dariku, dia terhitung anak yang pendiam dan tak banyak omong.
Selepas SMA nya, dia langsung pulang kampung, membantu pekerjaan Sok Yati di
kebun sawit milik mereka. Ibu bilang dia tak pernah punya pacar, tapi Ono
-seorang Bujang kampung yang setiap hari datang ke rumahnya. Rajin membawakan
makanan, terkadang memberikan uang. Ketika malam pun tak pernah telat menelpon pek
Mia. Yah dari situ ternyata telephon genggamnya itu adalah milik si Ono
yang sengaja dipinjamkan, tanpa Mia sadari Bujang sudah menaruh ‘Bacaan’ yang
membuat mia mau disuruh apa saja. Termasuk ‘kawin lari’ tanpa persetujuan
orangtuanya.
“lantas sekarang?” otakku sudah penuh
pertanyaan rasanya.
“Yah.. Sok Hata mu marah besar, dan
mengusirnya dari rumah, Si Ono membawanya ke rumah orangtuanya.
Aku tertegun, seminggu ini ada banyak
sekali hal yang mengganggu pikiranku. Mulai dari mbak Tania yang menikah
tiba-tiba, Pek Mia yang kawin lari hanya karena Handphone pinjaman,
entahlah..apa lagi yang akan terjadi. Aku terpekur. Telephon ibu masih belum
ditutup. Belum ada nasehat yang mengalir. Entah apa yang akan ibu samapaikan
kali ini.
“Rin? Sudah tidur? Ibu memastikan.
“Ndak bu..” biasanya di tengah-tengah
telephon berlangsung, aku lebih sering ter-nina bobokkan oleh suara ibu.
“Kalau belajar yang sungguh-sungguh Rin,
siapa tahu masa depanmu lebih beruntung dari ibu dan Ayah, mungkin punya
kesempatan sekolah keluar negeri, punya kehidupan yang lebih mapan, dan
tentunya tidak kembali bergelut dengan tanah lumpur dan pacul, tidak kembali ke
sawah, hidup lebih layak nak” kalimatnya menyentuh sekali. Genangan air di
pelupuk mataku tinggal menunggu satu kedipan saja, maka tumpah ruahlah ia.
“Iya Bu, semoga adik-adik dan Morin juga
menjadi manusia yang kelak bisa memberikan kebahagiaan yang lebih kepada Ibu
dan Ayah, “ ucapku lemah
“Iya, sudah kau tidur sana, ibu juga
sudah mengantuk. Ucap ibu pada Akhirnya..
Klik!! Telephon ditutup. Dalam
benakku ada banyak sekali tanda Tanya. Mbak Tania, apakah dia baik-baik saja,
aku ingin tau cerita sebenarnya, tapi telephonku tak pernah diangkat sekalipun,
pek Mia, semoga amarah Sok Yati dan Sok Hata segera reda.
Malam ini, aku lelah. Ingin sekali
rebah dan menyaksikan pesona sunrise esok. Semoga hilang semua yang
mengganjal di hati dan pikiran. Lelaplah wahai jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar