Aku
tidak pernah gila, tapi apakah kalian tahu bahwa dokter jiwa saya ternyata
‘Gila’ (Wanita dalam RSJ)
####
Aku terkejut bukan kepalang, nyaris saja telepon genggam yang masih
dalam panggilan lepas begitu saja dari tanganku. Suaraku tercekat, tak sepatah
katapun bisa aku keluarkan untuk bertanya kepada Mbak Eka yang berada di
seberang. Pipiku sudah basah saat Mbak Eka menyebutkan kalimat pertamanya.
Benar benar tak pernah terfikirkan, benar-benar tak menyangka dengan semua kronologi
yang ku dengar.
“Mil, ternyata Syifa mengalami depresi berat, sekarang sudah di
Rumah Sakit.” Mbak Eka berbicara patah-patah.
“Rumah Sakit?, Mbak Eka serius kan?” Aku memastikan.
“Iya, kemarin sore, Berlian, adiknya yang dari Jakarta datang buat ngajak
dia pulang ke Sabang, tapi Syifa ngga bisa mengenali adiknya. Alternatif
terakhir ya itu, Syifa terpaksa dilarikan ke RS, ibunya di telepon agar segera
ke Jogja buat nyambangi.” Suara Mbak Eka terdengar parau. Runtutan
cerita selanjutnya pun membuatku terus mengelus dada tak percaya.
“Ya sudah Mbak, mungkin nanti Mila bisa ke Jogja setelah urusan
kampus disini beres.” Ucapku lemah. Klik. Telepon ditutup.
####
Terjawab sudah rasa penasaranku
selama tiga hari terakhir ini, pantas saja status di BBM nya terlihat seperti
bukan Syifa yang kukenal. Aku masih terpekur memikirkan kembali
ketidakmungkinan yang terjadi pada Syifa. Bukankah baru lima hari lalu kami
berbicara di telepon, bercerita tentang sibuknya menjadi mahasiswa semester
akhir, tugas laporan yang menumpuk, semuanya menunggu untuk diselesaikan. Syifa
baik-baik saja, tak mengeluhkan apapun, pun tak ada tanda-tanda kalau ia punya
masalah besar yang tak bisa diselesaikan. Kok sekarang malah dia dikabarkan
masuk rumah sakit. Benar-benar tak masuk akal.
“Kita ke Jogja ya Zit, lihat Syifa.”
Rengekku usai bercerita panjang lebar pada Zita.
“Terus disana kita bisa bantu apa
Mila? Udah banyak yang jagain kali Mil, disana udah ada Mbak Eka, Mas
Shaqy, ada Berlian Juga.” Suara Zita berat
“Iyaa Zit, tapi tetap saja kita
harus jenguk, Syifa sudah seperti saudara buat kita Zit. Lagian Malang-Jogja paling
juga Cuma 9 jam.” Kilahku
“Berdua?”
“He-em.” Anggukku
“Berapa Hari?”
Aku
mengacungkan 4 jari di depan muka. Tersenyum garing, berharap Zita akan setuju.
“Oke, demi Syifa dan kamu Mil.”
Imbuhnya
Yes!, hatiku berlonjak girang. Semoga saja usahaku dan Zita tak
sia-sia, aku membatin. Semoga kedatanganku bisa melihat Syifa sadar, setidaknya
mengenaliku dan Zita.
####
Jogja memberikan sambutan hangat kepadaku dan Zita, matahari hampir
tumbang saat kakiku menjejak turun dari Kereta yang mengantarku ke Kota ini,
mungkin inilah alasan Syifa bercerita mengapa jogja selalu istimewa.
Benar-benar hiruk pikuk yang tidak aku temukan di kota bernama Malang. Aku
menekan keypad handphone, mencari nama Mbak Eka.
“Mau dijemput dimana Mil?” Suara mbak Eka serak
“Mila sama Zita udah di Stasiun Lempuyangan mbak, dulu kata Syifa
kos-kosannya dekat stasiun ini?, bisa jalan kaki?, kira-kira berapa puluh menit
mbak?” Aku menodongnya dengan banyak pertanyaan
“Pertanyaannya ngga bisa satu-satu Mil?” Zita mulai sewot
Aku
nyengir lebar. “Biar ringkas Zit, hemat pulsa ucapku.”
“Tunggu di sana deh Mil, Mbak
kesana.” Klik. Suara diseberang langsung menutup percakapan.
“Mbak Eka yang jemput kita Zit.”
Ucapku. Itu berarti kita tak perlu sewa angkot atau jalan kaki. Tumpangan
gratis akan menghampiri.
####
“Kamar Mbak kecil, maklumin yah
kalau ntar tidurnya susun sarden.”
“Tempat tinggal gratis sudah
Alhmdulillah mbak, lagian kita juga ke Jogja tanpa rencana, kalau gak Mila yang
maksa pergi.” Celoteh Zita.
Aku melotot kearahnya. Memberi isyarat agar ia tak melanjutkan
mengeluarkan kalimat-kalimat tak penting lainnya. Lagian apa ruginya sesekali
berkorban demi sahabat. Toh jarak atau isi dompet tidak terlalu jadi masalah,
pikirku.
“Rumah sakitnya dimana Mbak?” Aku bersuara.
“Dekat kok, sepuluh menit dari sini, jalan kaki juga bisa.” Mbak
Eka asyik menyusun buku yang terserak di atas dipannya.
“Besok langsung bisa jenguk mbak?”
“Bisa, aku dan Shaqy juga sudah janjian besok mau bertemu di Rumah
sakit.” Sambar Mbak Eka.
Zita mengangguk-angguk paham. Sebenarnya aku, Zita, dan Syifa sudah
bersahabat sejak SMP, kemana-mana selalu bertiga, bahkan ada yang sampai
manggil kita kembar tiga –saking sering bersama-. Secara kita sama-sama bermata
empat, tinggi hamper sejajar, hanya saja Zita memang lebih pendiam dan cuek.
Mbak Eka dan Mas Shaqy adalah kakak tingkat satu sekolah. Kita sering bertemu
saat upacara bendera. Nama merekapun selalu di tingkat atas sebagai murid
paling top satu sekolah.
“Mbak tak tau apa yang terjadi pada Syifa, hanya saja mbak
menangkap gelagat tak beres ketika dia tiba-tiba nangis di depan kamar Mbak,
bilang kalau asam lambungnya kambuh, minta ditemanin ke Rumah Sakit, tapi
setelah di rumah sakit ia malah bawa hasil rontgen yang dimasukin ke
map, Mbak mau tanya tapi sungkan. Sorenya Mbak terkejut saat mendapati dia
menjerit, melempar boneka beruang besar yang baru saja diajaknya berbicara,
kamarnya berantakan, jangan kalian tanya pakaiannya, ia membuang semuanya di
depan kolam depan.” Mbak Eka menunjuk kolam kecil tak jauh dari pintu utama
kos.
Aku miris mendengarnya, ada perasaan bersalah saat mengingat lima
hari lalu sempat mengejeknya dengan sebutan “gadis penggoda” saat ia menelponku
“Terus mbak?” Zita baru kelihatan antusias mendengar cerita Mbak
Eka.
“Dia terus meracau tak karuan, menumpahkan segalon air kelantai
sampai kamarnya banjir, terus.. ada yang aneh, dia terus bilang soal pangeran
akan datang, pangeran ingkar janji. Apa dia pernah punya pacar, atau lagi
berhungan sama seseorang Zit?” Ekspresi wajah Mbak Eka berubah menjadi sangat
serius. Zita menggeleng lemah.
“Sama Irwan mbak, teman SMA dulu. Tapi sudah putus 6 bulan lalu.”
Ucapku
“Ada orang lain mungkin?” Selidik Mbak Eka
Aku berfikir sejenak, merenung.
“Itu loh Mil, siapa? Yang kamu bilang Aa’ Bandung. Kan dia pernah
ngajak Syifa jadian.”
“Iya, namanya Andra, apa Andre yah Zit? tapi Syifa nolak kok. Orang
kenalnya aja ga jelas darimana.” Sergahku
“Tapi dia sempat ke jogja beberapa waktu lalu kan. Syifa sempat SMS
aku kayak gitu sih.”
“Aku juga pernah diceritain lewat BBM Zit, dikirimin beberapa
potong dialognya sama Aa’ Bandung itu, katanya sih dikenalin sama teman SD nya
yang juga kuliah di Bandung, tapi namanya aja aku udah lupa.” Aku berjingkat
mengambil hape diatas lemari kayu Mbak Eka.
“Kamu mah bukan lupa, tapi pikun.” Ucapan Zita yang memang berniat
mengejekku. Aku manyun tak setuju.
“Besok kalian mau jenguk pukul berapa?” Mbak Eka meletakkan
setoples biscuit dihadapanku.
“Tergantung jam besuk Mbak. Kalau bisa agak siangan, kita mau beli
oleh-oleh buat Syifa.” Mata Zita tak lepas dari buku sejarah yang memang
sengaja dibawa sebagai teman perjalanan.
“Ya sudah nanti Mbak SMS kan Shaqy dulu, biar sekalian nanti
diantar ya. Oh iya, Mbak ada janji sama teman, mungkin pulangnya jam 9 an, kalian
istirahat aja. Anggap kamar sendiri.” Mbak Eka tersenyum sambil keluar kamar.
Yeay.. time to take a rest.
####
Aku berjalan paling belakang, menyusuri koridor rumah sakit
Muhammad Husen, entah kapan terakhir kali mataku menatap ruangan berdinding
putih ini, mencium bau khas setiap lokal ruangnya. Langkah kami terhenti di
depan ruangan 217, ayah dan ibu Syifa sudah ada disana. Mungkin debar jantung
mereka berpacu lebih cepat dibanding kami, menunggu tubuh layu itu sadar dan
berbicara.
“Bapak, Ibu..!” Mas Shaqy menciumi tangan orangtua Syifa, diikuti
oleh kami bertiga.
“Ibu datang duluan?” Aku berbasa-basi menyapa
“Iya, ibu dan Ayah Syifa menginap di Mess kampus. Jaraknya lebih
dekat dibanding dari kos Syifa.” Terlihat sekali gurat sedih seorang ibu, aku
sempurna memahaminya, aku mengenalnya karena beberapa kali Syifa mengajakku ke
rumahnya. “Terimakasih kalian sudah mau repot jenguk Syifa, dari Malang kan?”
imbuhnya. Aku dan Zita mengangguk.
“Kita sudah bersahabat lama bu, jadi sudah seperti saudara.” Akuku
Dia tersenyum. Sedikit memaksa. “Semoga Syifa segera sadar.” Doa
itu pasti kemutlakan yang selalu terluncur, apalagi dari seorang ibu.
Lima menit berlalu. Seorang dokter tampan memasuki ruangan dimana
Syifa tergolek layu. Terhitung sangat muda untuk ukuran seorang dokter, terlihat
berkharisma dan, senyum terus menggelayuti bibirnya. Perawakannya tinggi, tatapan
matanya sayu tapi tajam.
“Saya Dokter yang menangani Syifa, ruangan saya ada di paling ujung
rumah sakit ini” ucapnya sambil tersenyum ramah.
“Terimakasih dok, kami titip Syifa kepada anda.” Mbak Eka yang dari
tadi diam kini mulai angkat suara.
Setelah memeriksa kondisi Syifa, dia
bilang Syifa baik-baik saja. Dokter itu berlalu, aku menyesal tak sempat
menanyakan siapa namanya. Ah. Aku memang selalu melupakan hal yang seharusnya
penting untuk ditanyakan.
####
Hingga menjelang kepulanganku, hari terakhir berada di kota Gudeg,
aku belum melihat Syifa membuka mata, namun kabar yang lebih mengejutkan
membuat aku dan Zita urung pulang ke Malang.
“Syifa dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Nak,dokternya bilang Jiwanya
terganggu, ia ‘Gila’.” Ibunya tersedu pagi itu, saat aku dan Zita bersiap
menuju stasiun.
“Aku, Zita, Mbak Eka, Mas Shaqy, semua terkejut bukan kepalang.
Gila? Bayangkan saja seperti apa orang gila? Syifa gila? Mustahil. Aku membatin
Pagi itu juga aku bergegas ke Rumah Sakit Jiwa, bersama ibu dan
ayahnya. Ak melihat Syifa yang meringkuk di pojok ruangan sempit berbau tak
karuan. Campur baur, persis seperti pikiranku saat ini. Aku melihat lingkaran
hitam di bawah matanya, tatapannya menerawang. Kosong. Ia meringis, pipinya
basah seperti orang yang baru saja menangis. Apakah dia benar-benar gila?
“Syif! Kau mengenal kami kan? Ini Mila dan Zita.” aku menunjuk dada.
Dia tergugu, menjerit keras, lalu menangis. Aku memeluk Zita erat,
menumpahkan tangisku di bahunya. “Syifa tidak mungkin gila Mil, percaya aku.”
Zita mengelus pundakku.
Syifa mendekati kami, tergugu dan memberikan secarik kertas lusuh.
“Aku direbut keperawanannya, Andreas Dinata Pramudya, Aku tidak gila tapi
dokter jiwa itu gila.”
Aku terperanjat, seperti bangun dari lamunan panjang. Aku ingat
sebuah nama yang pernah Syifa ceritakan padaku. Iya, nama itu. Andreas Dinata
Pramudya. Aku tak salah. Itu nama yang ia sebut dengan Aa’ Bandung. Aku tak
mungkin salah. Aku menyeret Zita menuju meja receptionist, bertanya apakah ada
dokter jiwa yang bernama Andreas, receptionis itu menggeleng, bilang kalau
hampir semua dokter jiwa disini adalah perempuan. Aku mendesak Zita pergi ke
Rumah Sakit Muhammad Husen. Benar, seorang perawat menunjuki sebuah
ruangan yang berada di paling ujung rumah sakit. Kakiku gemetar, bukannya
dokter tampan yang menangani Syifa bilang kalau ruangannya juga berada di
paling ujung rumah sakit ini? Lantas? Pikiranku buntu. Langkahku terseok menuju
ruangan itu. Ruangan itu sudah kosong, tak ada barang-barang tersisa kecuali
beberapa peralatan medis. Aku terduduk sempurna saat melihat pigora besar
tergantung di dinding ruangan, iya. Dokter itu adalah dokter tampan berkharisma
nan ramah yang menangani Syifa. Aku melihat Zita yang mulai meleleh air matanya.
“Zit, Syifa tidak gila.” Suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kau lihat itu!” tanganku menunjuk plang nama yang tergeletak di
atas meja kecil, terserak bersama botol obat dan jarum suntik. Dr. Andreas
Dinata Pramudya.
“Syifa tidak gila, dokter jiwanya yang sudah gila.” Zita tergugu
####
Malang, 21 September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar