Selasa, 27 September 2016

SUATU HARI, DI SEBUAH RSJ






Aku tidak pernah gila, tapi apakah kalian tahu bahwa dokter jiwa saya ternyata ‘Gila’ (Wanita dalam RSJ)
####

Aku terkejut bukan kepalang, nyaris saja telepon genggam yang masih dalam panggilan lepas begitu saja dari tanganku. Suaraku tercekat, tak sepatah katapun bisa aku keluarkan untuk bertanya kepada Mbak Eka yang berada di seberang. Pipiku sudah basah saat Mbak Eka menyebutkan kalimat pertamanya. Benar benar tak pernah terfikirkan, benar-benar tak menyangka dengan semua kronologi yang ku dengar.
“Mil, ternyata Syifa mengalami depresi berat, sekarang sudah di Rumah Sakit.” Mbak Eka berbicara patah-patah.
“Rumah Sakit?, Mbak Eka serius kan?” Aku memastikan.
“Iya, kemarin sore, Berlian, adiknya yang dari Jakarta datang buat ngajak dia pulang ke Sabang, tapi Syifa ngga bisa mengenali adiknya. Alternatif terakhir ya itu, Syifa terpaksa dilarikan ke RS, ibunya di telepon agar segera ke Jogja buat nyambangi.” Suara Mbak Eka terdengar parau. Runtutan cerita selanjutnya pun membuatku terus mengelus dada tak percaya.
“Ya sudah Mbak, mungkin nanti Mila bisa ke Jogja setelah urusan kampus disini beres.” Ucapku lemah. Klik. Telepon ditutup.
####
            Terjawab sudah rasa penasaranku selama tiga hari terakhir ini, pantas saja status di BBM nya terlihat seperti bukan Syifa yang kukenal. Aku masih terpekur memikirkan kembali ketidakmungkinan yang terjadi pada Syifa. Bukankah baru lima hari lalu kami berbicara di telepon, bercerita tentang sibuknya menjadi mahasiswa semester akhir, tugas laporan yang menumpuk, semuanya menunggu untuk diselesaikan. Syifa baik-baik saja, tak mengeluhkan apapun, pun tak ada tanda-tanda kalau ia punya masalah besar yang tak bisa diselesaikan. Kok sekarang malah dia dikabarkan masuk rumah sakit. Benar-benar tak masuk akal.
            “Kita ke Jogja ya Zit, lihat Syifa.” Rengekku usai bercerita panjang lebar pada Zita.
            “Terus disana kita bisa bantu apa Mila? Udah banyak yang jagain kali Mil, disana udah ada Mbak Eka, Mas Shaqy, ada Berlian Juga.” Suara Zita berat
            “Iyaa Zit, tapi tetap saja kita harus jenguk, Syifa sudah seperti saudara buat kita Zit. Lagian Malang-Jogja paling juga Cuma 9 jam.” Kilahku
            “Berdua?”
            “He-em.” Anggukku
            “Berapa Hari?”
Aku mengacungkan 4 jari di depan muka. Tersenyum garing, berharap Zita akan setuju.
            “Oke, demi Syifa dan kamu Mil.” Imbuhnya
Yes!, hatiku berlonjak girang. Semoga saja usahaku dan Zita tak sia-sia, aku membatin. Semoga kedatanganku bisa melihat Syifa sadar, setidaknya mengenaliku dan Zita.
####
Jogja memberikan sambutan hangat kepadaku dan Zita, matahari hampir tumbang saat kakiku menjejak turun dari Kereta yang mengantarku ke Kota ini, mungkin inilah alasan Syifa bercerita mengapa jogja selalu istimewa. Benar-benar hiruk pikuk yang tidak aku temukan di kota bernama Malang. Aku menekan keypad handphone, mencari nama Mbak Eka.
“Mau dijemput dimana Mil?” Suara mbak Eka serak
“Mila sama Zita udah di Stasiun Lempuyangan mbak, dulu kata Syifa kos-kosannya dekat stasiun ini?, bisa jalan kaki?, kira-kira berapa puluh menit mbak?” Aku menodongnya dengan banyak pertanyaan
“Pertanyaannya ngga bisa satu-satu Mil?” Zita mulai sewot
Aku nyengir lebar. “Biar ringkas Zit, hemat pulsa ucapku.”
            “Tunggu di sana deh Mil, Mbak kesana.” Klik. Suara diseberang langsung menutup percakapan.
            “Mbak Eka yang jemput kita Zit.” Ucapku. Itu berarti kita tak perlu sewa angkot atau jalan kaki. Tumpangan gratis akan menghampiri.
####
            “Kamar Mbak kecil, maklumin yah kalau ntar tidurnya susun sarden.”
            “Tempat tinggal gratis sudah Alhmdulillah mbak, lagian kita juga ke Jogja tanpa rencana, kalau gak Mila yang maksa pergi.” Celoteh Zita.
Aku melotot kearahnya. Memberi isyarat agar ia tak melanjutkan mengeluarkan kalimat-kalimat tak penting lainnya. Lagian apa ruginya sesekali berkorban demi sahabat. Toh jarak atau isi dompet tidak terlalu jadi masalah, pikirku.
“Rumah sakitnya dimana Mbak?” Aku bersuara.
“Dekat kok, sepuluh menit dari sini, jalan kaki juga bisa.” Mbak Eka asyik menyusun buku yang terserak di atas dipannya.
“Besok langsung bisa jenguk mbak?”
“Bisa, aku dan Shaqy juga sudah janjian besok mau bertemu di Rumah sakit.” Sambar Mbak Eka.
Zita mengangguk-angguk paham. Sebenarnya aku, Zita, dan Syifa sudah bersahabat sejak SMP, kemana-mana selalu bertiga, bahkan ada yang sampai manggil kita kembar tiga –saking sering bersama-. Secara kita sama-sama bermata empat, tinggi hamper sejajar, hanya saja Zita memang lebih pendiam dan cuek. Mbak Eka dan Mas Shaqy adalah kakak tingkat satu sekolah. Kita sering bertemu saat upacara bendera. Nama merekapun selalu di tingkat atas sebagai murid paling top satu sekolah.
“Mbak tak tau apa yang terjadi pada Syifa, hanya saja mbak menangkap gelagat tak beres ketika dia tiba-tiba nangis di depan kamar Mbak, bilang kalau asam lambungnya kambuh, minta ditemanin ke Rumah Sakit, tapi setelah di rumah sakit ia malah bawa hasil rontgen yang dimasukin ke map, Mbak mau tanya tapi sungkan. Sorenya Mbak terkejut saat mendapati dia menjerit, melempar boneka beruang besar yang baru saja diajaknya berbicara, kamarnya berantakan, jangan kalian tanya pakaiannya, ia membuang semuanya di depan kolam depan.” Mbak Eka menunjuk kolam kecil tak jauh dari pintu utama kos.
Aku miris mendengarnya, ada perasaan bersalah saat mengingat lima hari lalu sempat mengejeknya dengan sebutan “gadis penggoda” saat ia menelponku
“Terus mbak?” Zita baru kelihatan antusias mendengar cerita Mbak Eka.
“Dia terus meracau tak karuan, menumpahkan segalon air kelantai sampai kamarnya banjir, terus.. ada yang aneh, dia terus bilang soal pangeran akan datang, pangeran ingkar janji. Apa dia pernah punya pacar, atau lagi berhungan sama seseorang Zit?” Ekspresi wajah Mbak Eka berubah menjadi sangat serius. Zita menggeleng lemah.
“Sama Irwan mbak, teman SMA dulu. Tapi sudah putus 6 bulan lalu.” Ucapku
“Ada orang lain mungkin?” Selidik Mbak Eka
Aku berfikir sejenak, merenung.
“Itu loh Mil, siapa? Yang kamu bilang Aa’ Bandung. Kan dia pernah ngajak Syifa jadian.”
“Iya, namanya Andra, apa Andre yah Zit? tapi Syifa nolak kok. Orang kenalnya aja ga jelas darimana.” Sergahku
“Tapi dia sempat ke jogja beberapa waktu lalu kan. Syifa sempat SMS aku kayak gitu sih.”
“Aku juga pernah diceritain lewat BBM Zit, dikirimin beberapa potong dialognya sama Aa’ Bandung itu, katanya sih dikenalin sama teman SD nya yang juga kuliah di Bandung, tapi namanya aja aku udah lupa.” Aku berjingkat mengambil hape diatas lemari kayu Mbak Eka.
“Kamu mah bukan lupa, tapi pikun.” Ucapan Zita yang memang berniat mengejekku. Aku manyun tak setuju.
“Besok kalian mau jenguk pukul berapa?” Mbak Eka meletakkan setoples biscuit dihadapanku.
“Tergantung jam besuk Mbak. Kalau bisa agak siangan, kita mau beli oleh-oleh buat Syifa.” Mata Zita tak lepas dari buku sejarah yang memang sengaja dibawa sebagai teman perjalanan.
“Ya sudah nanti Mbak SMS kan Shaqy dulu, biar sekalian nanti diantar ya. Oh iya, Mbak ada janji sama teman, mungkin pulangnya jam 9 an, kalian istirahat aja. Anggap kamar sendiri.” Mbak Eka tersenyum sambil keluar kamar.
Yeay.. time to take a rest.
####
Aku berjalan paling belakang, menyusuri koridor rumah sakit Muhammad Husen, entah kapan terakhir kali mataku menatap ruangan berdinding putih ini, mencium bau khas setiap lokal ruangnya. Langkah kami terhenti di depan ruangan 217, ayah dan ibu Syifa sudah ada disana. Mungkin debar jantung mereka berpacu lebih cepat dibanding kami, menunggu tubuh layu itu sadar dan berbicara.
“Bapak, Ibu..!” Mas Shaqy menciumi tangan orangtua Syifa, diikuti oleh kami bertiga.
“Ibu datang duluan?” Aku berbasa-basi menyapa
“Iya, ibu dan Ayah Syifa menginap di Mess kampus. Jaraknya lebih dekat dibanding dari kos Syifa.” Terlihat sekali gurat sedih seorang ibu, aku sempurna memahaminya, aku mengenalnya karena beberapa kali Syifa mengajakku ke rumahnya. “Terimakasih kalian sudah mau repot jenguk Syifa, dari Malang kan?” imbuhnya. Aku dan Zita mengangguk.
“Kita sudah bersahabat lama bu, jadi sudah seperti saudara.” Akuku
Dia tersenyum. Sedikit memaksa. “Semoga Syifa segera sadar.” Doa itu pasti kemutlakan yang selalu terluncur, apalagi dari seorang ibu.
Lima menit berlalu. Seorang dokter tampan memasuki ruangan dimana Syifa tergolek layu. Terhitung sangat muda untuk ukuran seorang dokter, terlihat berkharisma dan, senyum terus menggelayuti bibirnya. Perawakannya tinggi, tatapan matanya sayu tapi tajam. 
“Saya Dokter yang menangani Syifa, ruangan saya ada di paling ujung rumah sakit ini” ucapnya sambil tersenyum ramah.
“Terimakasih dok, kami titip Syifa kepada anda.” Mbak Eka yang dari tadi diam kini mulai angkat suara.
            Setelah memeriksa kondisi Syifa, dia bilang Syifa baik-baik saja. Dokter itu berlalu, aku menyesal tak sempat menanyakan siapa namanya. Ah. Aku memang selalu melupakan hal yang seharusnya penting untuk ditanyakan.
####
Hingga menjelang kepulanganku, hari terakhir berada di kota Gudeg, aku belum melihat Syifa membuka mata, namun kabar yang lebih mengejutkan membuat aku dan Zita urung pulang ke Malang.
“Syifa dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Nak,dokternya bilang Jiwanya terganggu, ia ‘Gila’.” Ibunya tersedu pagi itu, saat aku dan Zita bersiap menuju stasiun.
“Aku, Zita, Mbak Eka, Mas Shaqy, semua terkejut bukan kepalang. Gila? Bayangkan saja seperti apa orang gila? Syifa gila? Mustahil. Aku membatin
Pagi itu juga aku bergegas ke Rumah Sakit Jiwa, bersama ibu dan ayahnya. Ak melihat Syifa yang meringkuk di pojok ruangan sempit berbau tak karuan. Campur baur, persis seperti pikiranku saat ini. Aku melihat lingkaran hitam di bawah matanya, tatapannya menerawang. Kosong. Ia meringis, pipinya basah seperti orang yang baru saja menangis. Apakah dia benar-benar gila?
“Syif! Kau mengenal kami kan? Ini Mila dan Zita.” aku menunjuk dada.
Dia tergugu, menjerit keras, lalu menangis. Aku memeluk Zita erat, menumpahkan tangisku di bahunya. “Syifa tidak mungkin gila Mil, percaya aku.” Zita mengelus pundakku.
Syifa mendekati kami, tergugu dan memberikan secarik kertas lusuh. “Aku direbut keperawanannya, Andreas Dinata Pramudya, Aku tidak gila tapi dokter jiwa itu gila.”
Aku terperanjat, seperti bangun dari lamunan panjang. Aku ingat sebuah nama yang pernah Syifa ceritakan padaku. Iya, nama itu. Andreas Dinata Pramudya. Aku tak salah. Itu nama yang ia sebut dengan Aa’ Bandung. Aku tak mungkin salah. Aku menyeret Zita menuju meja receptionist, bertanya apakah ada dokter jiwa yang bernama Andreas, receptionis itu menggeleng, bilang kalau hampir semua dokter jiwa disini adalah perempuan. Aku mendesak Zita pergi ke Rumah Sakit Muhammad Husen. Benar, seorang perawat menunjuki sebuah ruangan yang berada di paling ujung rumah sakit. Kakiku gemetar, bukannya dokter tampan yang menangani Syifa bilang kalau ruangannya juga berada di paling ujung rumah sakit ini? Lantas? Pikiranku buntu. Langkahku terseok menuju ruangan itu. Ruangan itu sudah kosong, tak ada barang-barang tersisa kecuali beberapa peralatan medis. Aku terduduk sempurna saat melihat pigora besar tergantung di dinding ruangan, iya. Dokter itu adalah dokter tampan berkharisma nan ramah yang menangani Syifa. Aku melihat Zita yang mulai meleleh air matanya.
“Zit, Syifa tidak gila.” Suaraku tercekat di tenggorokan.
“Kau lihat itu!” tanganku menunjuk plang nama yang tergeletak di atas meja kecil, terserak bersama botol obat dan jarum suntik. Dr. Andreas Dinata Pramudya.
“Syifa tidak gila, dokter jiwanya yang sudah gila.” Zita tergugu

####
Malang, 21 September 2016






Tidak ada komentar:

Posting Komentar